Senin, 14 November 2011

Politik Lokal di Negara Kesatuan: Upaya Mewujudkan Otonomi Daerah di Bidang Politik (M.Rifqinizamy Karsayuda )

Disarikan oleh : Sahruddin Selama tiga puluh dua tahun berada di bawah rezim orde baru, Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Karl D. Jason sebagai bereucratic politic (politik birokrasi), yaitu suatu keadaan politik yang menempatkan negara pada kedudukan sangat dominan. Pada era ini, kekuasaan dalam pembuatan keputusan didominir para penguasa, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Keadaan demikian dalam teori korporatisme sebagaimana pernah ditulis oleh Mahfud MD, negara dipandang sebagai suatu organ yang mempunyai kemauan dan kepentingan sendiri yang dapat melakukan campur tangan dalam kehidupan masyarakatnya. Kerangka berfikir demikianlah ternyata yang menjadi pandangan penguasa orde baru. Kerangka berfikir tersebut dilatar belakangi oleh keyakinan bahwa stabilitas politik adalah kunci utama dalam mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, terutama untuk memulai pertumbuhan ekonomi dengan cepat. Setelah reformasi bergulir yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, dilakukan berbagai ikhtiar perbaikan bangsa. Salah satu ikhtiar ketatanegaraan yang dilakukan adalah dengan melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sejak tahun 1998 hingga 2001, terdapat empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen tersebut menyentuh beberapa persoalan fundamental ketatanegaraan, salah satunya tentang pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat (cetral government) dengan pemerintah daerah (local government). Dalam konteks itu, amandemen UUD 1945 melahirkan konsep otonomi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 18 ayat (1), (2) dan (4) UUD 1945 setelah amandemen sebagai berikut : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi kepada daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi pula kepada kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (4) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Secara lebih terperinci, pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah melalui aturan otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dengan beberapa perubahannya di kemudian hari. Dalam pasal 1 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004 tersebut dijelaskan makna otonomi daerah, yaitu : “otonomi daerah adalah hak, kekuasaan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam rangka menjalankan otonomi daerah tersebut, setiap daerah memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang, kecuali yang menjadi kekuasaan pemerintah pusat. Kekuasaan pemerintah pusat tersebut ditegaskan dalam pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004, yaitu meliputi kekuasaan dalam bidang : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan,. moneter dan fiskal, dan agama Berdasarkan aturan di atas, otonomi daerah jelas memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada setiap daerah. Menurut Jimly Asshiddiqie, otonomi daerah di Indonesia dilihat dari pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tidak jauh berbeda dengan di negara yang menganut bentuk federal. Hal ini dilandaskan pada teori kekuasaan residu (sisa) atau residual power di suatu negara. Di negara-negara federal umumnya, kekuasaan sisa berada di pemerintahan federal (pusat), sementara kekuasaan yang proporsinya lebih banyak justru berada di negara-negara bagian. Berdasarkan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 di atas, maka salah satu otonomi yang dimiliki daerah ialah otonomi dalam bidang politik. Ikhtiar untuk mewujudkan otonomi di bidang politik tersebut dilakukan dengan memberi pengaturan baru tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, termasuk pengaturan tentang mekanisme pemilihan Anggota Legislatif, seperti DPRD (Provinsi, Kabupaten/Kota) dan DPD yang lebih mendekatkan pemilih dengan si calon yang merupakan wakil dari daerahnya. Dua mekanisme rekrutmen kepemimpinan daerah diatas secara simbolik menggambarkan telah hadirnya otonomi di bidang politik, karena dipilih langsung oleh penduduk daerah setempat. Akan tetapi, otonomi politik itu sesungguhnya belum terwujud, sebab masih terbukanya kemungkinan pintu campur tangan terhadap otonomi politik di daerah oleh pusat. Campur tangan itu hadir seiring dengan masihnya diterapkan sistem kepartaian yang bersifat nasional. Akibatnya, partai politik di tingkat nasional sering mengintervensi partai-partai politik di daerah dalam dua mekanisme pemilihan tadi. Hal inilah yang memunculkan gagasan untuk membentuk Partai politik lokal di setiap daerah, selain terdapat beberapa alasan lain yang relevan dikemukakan dalam rangka mendukung gagasan pembentukan Partai politik lokal ini, seperti adanya pengalaman historis bangsa ini pada tahun 1955. Partai politik lokal pernah diperkenankan dan mengikuti pemilihan umum pada tahun itu. Gagasan ini juga dilatarbelakangi oleh diperkenankannya pembentukan Partai politik lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD) yang diberikan otonomi khusus (special autonomy policy) sebagaimana diperuntukkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pembentukan partai politik lokal di Aceh ini secara emosional mendorong daerah-daerah lain juga menuntut agar dapat membentuk partai-partai politik lokal. Dalam konteks yuridis, pembentukan partai politik lokal di Indonesia masih terhalang oleh aturan-aturan yang terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. UU tersebut memuat beberapa peraturan yang belum memungkinkannya dibentuk Partai-Partai politik lokal, dimana salah satu syarat pembentukan Partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf d UU No.2 Tahun 2008 adalah; “kepengurusan (partai politik-penulis) paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan” Aturan lain terdapat dalam Pasal 17 UU No.2 Tahun 2008 tersebut, yang menegaskan : (1) Organisasi Partai Politik terdiri atas: organisasi tingkat pusat; organisasi tingkat provinsi; dan organisasi tingkat kabupaten/kota. (2) Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain. (3) Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan kerja yang bersifat hierarkis. Aturan serupa juga berlaku bagi partai politik yang hendak mengikuti Pemilihan Umum sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pasal 8 ayat (1) huruf b dan c UU No.10 Tahun 2008 menegaskan :“Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;” Pada masa mendatang, gagasan mengenai pembentukan partai politik lokal di Indonesia sebagai konsekwensi dilaksanakannya otonomi daerah merupakan hal yang perlu dipersiapkan sejak awal secara akademik. Tulisan ini bermaksud untuk melakukan analisis akademik terhadap dua hal. Pertama : kemungkinan lahirnya partai politik lokal di Indonesia. Kedua : bagaimana konsep dasar partai politik lokal tersebut jika diimplementasikan dalam negara Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan. Konsep Dasar Partai Politik Lokal Untuk Indonesia Selain adanya landasan teoritikal berupa federalisme ideologis yang diserap Indonesia pasca otonomi daerah, alasan lain dari perspektif hukum tata negara yang dapat dijadikan dasar ide pembentukan partai politik lokal ini ialah adanya pertentangan antara pengaturan dalam beberapa UU terkait sebagaimana disinggung dalam pendahuluan tulisan ini. Pertentangan tersebut dapat dilihat dari perbedaan substansi pengaturan dalam UU No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik jo UU No.10 tahun 2008 Tentang Pemilu yang mensyaratkan Partai Politik bersifat nasional dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan adanya otonomi politik bagi daerah. Pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan memenuhi amanah UU No.32 Tahun 2004 terkait dengan otonomi politik tadi. Pembentukan partai politik lokal sebagai antitesa dari sistem kepartaian yang bersifat nasional sekarang ini dapat menjadi satu rujukan ke arah itu. Dalam tulisan ini, akan dikemukakan tiga hal mendasar terkait pembentukan partai politik lokal tersebut di Indonesia, yaitu : Pertama : Kedudukan partai politik lokal terkait kewenangan otonomi daerah, kedua : Hubungan partai politik lokal, partai politik nasional dan pemilu, serta yang ketiga ; hubungan antar partai politik lokal ke depan. Partai Politik Lokal dan Otonomi Daerah Persoalan paling dasar dalam pembentukan konsep tentang partai politik lokal hubungannya dengan otonomi ialah dimanakah partai politik lokal itu diletakkan dalam struktur pemerintahan daerah di Indonesia. Apakah ia diletakkan di tingkat provinsi atau di tingkat kabupaten/kota? Berdasarkan ketentuan terkait kewenangan provinsi, kabupaten/kota dalam UU No.32 Tahun 2004, kedudukan provinsi dalam struktur pemerintahan mempunyai kewenangan untuk melakukan koordinasi, mengawasi dan membina pemerintahan kabupeten/kota di wilayahnya. Dalam konteks kewenangan otonomi itu, pemerintahan provinsi juga mempunyai kewenangan untuk menangani pelbagai urusan yang berkaitan dengan urusan lintas kabupaten/kota. Berdasarkan hal itulah, konsep partai politik lokal k edepan akan lebih efektif jika diletakkan di provinsi. Adapun partai-partai yang ada di kabupaten/kota merupakan cabang dari partai yang berpusat di provinsi tersebut. Hal ini dibuat agar, partai-partai di kabupaten/kota yang akan menempatkan kadernya pada institusi legislatif dan eksekutif di kabupaten/kota dapat dimonitor oleh partai pusatnya di provinsi dan dapat menjalankan urusan otonomi secara selaras. Partai Politik Lokal, Partai Politik Nasional dan Pemilu Secara yuridis ketatanegaraan, sesugguhnya telah terjadi pemisahan antara partai politik lokal dan partai politik nasional dalam konteks hak dan kewajiban yang mereka lakukan dalam beberapa hal, seperti Pertama ; dalam hal mengajukan calon anggota parlemen (DPR/DPRD) dalam Pemilu sebagaimana diatur dalam pasal 52 UU No.2 Tahun 2008. Kedua : dalam konteks pengawasan terhadap anggota DPR/D juga terdapat pemisahan kewenangan antara keduanya sebagaimana ditegaskan dalam UU No.22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya dalam hal pemecatan anggota DPR/D dimaksud melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW). Selain dua hal itu, hal yang ketiga ialah kewenangan partai untuk memberhentikan Ketua DPR/D yang berasal dari partainya. Berdasarkan konstruksi hubungan antara partai politik di tingkat pusat dengan partai politik di daerah sekarang ini, maka konsep partai politik lokal ke depan hendaknya mempertegas pemisahan kewenangan yang sudah ada dalam pelbagai peraturan perundang-undangan tersebut. Konsep partai politik lokal kedepan hendaknya juga secara tegas menempatkan partai politik lokal dan partai politik nasional sebagai dua jenis partai yang berbeda. Pemisahan antara kedua jenis partai tersebut juga dimaksudkan untuk memperkuat dasar otonomi daerah di bidang politik sebagaimana tujuan penulisan ini. Berdasarkan bagan di atas dapat dilihat partai politik nasional berpusat di tingkat nasional dan mempunyai cabang-cabang di tingkat provinsi sampai di tingkat kabupaten/kota. Adapun partai politik lokal berpusat di tingkat provinsi. Ia mempunyai cabang di tingkat kabupaten/kota dalam wilayah provinsinya saja sebagaimana konsep struktur partai berkaitan dengan kewenangan otonomi sebelumnya. Kedudukan cabang-cabang partai nasional di tingkat provinsi dan kabupaten berfungsi untuk mensosialisasikan pelbagai program kerja partai nasional ke berbagai lapisan masyarakat di daerah. Khusus terkait Pemilu, cabang-cabang partai nasional di tingkat daerah ini sangat memegang peranan penting untuk melakukan kampanye sampai ke lapisan paling bawah. Diantara kedua cabang partai itu tidak akan terjadi tumpang tindih peranan, sebab mereka dari awal telah didesain dengan peranan dan lahan garap berbeda. Pemisahan kedua jenis partai tersebut akan menghadirkan berbagai akibat, termasuk dalam konteks Pemilu. Untuk itu, dalam pembentukan partai politik lokal nantinya didesain agar tercipta pembagian yang tegas diantara keduanya sebagaimana disebutkan sebelumnya, termasuk dalam pemisahan dalam konteks Pemilu. Relasi Antar Partai Politik Lokal Permasalahan lain yang mesti dibahas dalam desain partai politik lokal ini ialah hubungan antara partai politik lokal yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu sangat mungkin terjadi dalam dua bentuk yaitu, hubungan positif dan negatif. Dalam konteks yang positif, hubungan antara partai politik lokal dapat hadir pada saat mereka membentuk koalisi. Sedangkan dalam konteks yang negatif, hubungan keduanya dapat saja berupa perselisihan yang secara yuridis mesti dicarikan jalan keluarnya. Hubungan antara sesama partai politik lokal, baik positif, maupun negative. Koalisi dalam Pilkada sangat mungkin terjadi disebabkan syarat untuk mengajukan calon dalam Pilkada tersebut terkait dengan batas suara minimal tertentu. Sebagai contoh, pada masa sekarang ini, partai politik setidaknya mempunyai suara 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi di DPRD atau 15% (lima belas persen) dari jumlah keseluruhan perolehan suara sah dalam Pemilu legislatif daerah (DPRD) di daerah yang bersangkutan untuk dapat mencalonkan calon kepala daerah. Syarat minimal suara tersebut tidak mudah dipenuhi oleh partai-partai yang ada berdasakan pengalaman selama ini. Sebagai contoh, hasil perolehan suara partai-partai politik pada Pemilu legislatif daerah (DPRD) di Kabupaten Bogor tahun 2004 . Pada masa itu, hanya satu partai yang memperoleh suara di atas 15% dan berhak mengajukan calon berdasarkan aturan di atas. Koalisi lain yang dapat dibentuk oleh partai-partai lokal adalah koalisi di DPRD. Selain terkait persyaratan membentuk fraksi di DPRD, koalisi ini penting untuk meluluskan pelbagai kebijakan yang hendak dibuat. Sebagai contoh, suatu peraturan daerah baru dapat disahkan apabila disetujui oleh minimal 2/3 dari seluruh anggota DPRD.Jumlah 2/3 anggota DPRD tersebut dapat dicapai salah satunya dengan cara membentuk koalisi diantara partai-partai yang ada di dalam parlemen tersebut. Dalam konteks yang lain, hubungan antara partai politik lokal yang satu dengan yang lainnya dapat pula menghadirkan perselisihan. Salah satu bentuk perselisihan yang dapat muncul ialah perselisihan pada masa Pilkada. Pada masa ini, perselisihan yang muncul dalam bentuk perselisihan terkait dengan proses Pilkada dan perselisihan terhadap hasil perolehan suara pada Pilkada tersebut. Perselisihan pada masa proses Pilkada kemungkinan besar wujud dalam bentuk adanya fitnah atau kampanye hitam, politik uang, intimidasi terhadap pemilih dan/atau calon lain dan pelbagai bentuk lainnya. Semua bentuk perselisihan yang berkaitan dengan proses Pilkada tersebut dapat diselesaikan melalui Peradilan Umum. Hal ini disebabkan pelbagai bentuk perselisihan tersebut dapat dikategorikan dalam bentuk perbuatan pidana yang secara yuridis sekarang ini, penyelesaiannya mesti dilakukan melalui Peradilan Umum. Sedangkan persengketaan terhadap hasil Pilkada, dapat diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi sebagaimana sekarang diatur dalam UU No.12 Tahun 2008. Penyelesaian sengketa lainnya dapat pula dilakukan di internal partai politik, jika terkait persoalan internal. Persoalan internal dapat diselesaikan ke Pengadilan, jika terjadi konflik keabsahan partai politik oleh dua/atau lebih kubu dalam partai tersebut. Penyelesaian melalui jalur peradilan itu ditempuh, sebab domain menyatakan absah tidaknya partai politik bukan berada di tangan partai yang bersangkutan, melainkan di tangan pemerintah. Hubungan baru pemerintah pusat dan daerah pasca amandemen UUD 1945 sebagaimana tercermin dalam Pasal 18 UUD 1945 melahirkan implikasi akan hadirnya otonomi di berbagai bidang bagi daerah. Salah satu otonomi yang semestinya terwujud ialah otonomi di bidang politik. Sampai saat ini, otonomi politik belum bisa dilakukan secara maksimal lantaran sistem kepartaian di Indonesia masih bersifat nasional, dan belum membuka kemungkinan lahirnya partai politik lokal, kecuali di Nanggroe Aceh Darussalaam. Urgennya partai politik lokal hadir di Indonesia selain sebagai konsekwensi dari pelaksanna otonomi daerah juga merupakan implementasi dari teori federalime ideologis yang dihajatkan sebagai penjaga keberagaman dalam suatu negara, sebagaimana penemuan Prodount atas teori yang belakangan diamalkan di negara-negara kesatuan, seperti Inggris. Konsep dasar partai politik lokal yang layak untuk Indonesia sebagai negara kesatuan adalah, partai politik lokal yang berada di setiap provinsi dengan kepengurusan pusat di tingkat provinsi tersebut, partai tersebut secara tegas terpisah dengan partai politik nasional, baik secara struktural, maupun keikutsertaannya di Pemilu dan mekanisme penyelesaian sengketa antar partai politik lokal di dalam Pengadilan cukup diselesaikan di tingkat lokal pula (Pengadilan Negeri dan Tinggi), kecuali terkait sengketa hasil yang dapat diselesaikan ke Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar: