Senin, 14 November 2011

Gagasan Pembentukan Partai lokal dan Masa Depan Politik Lokal

Oleh: Sahruddin Keberadaan Partai Politik Lokal di Aceh mendapat keuntungan dari proses Perdamaian Aceh antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Fillandia 15 Agustus 2005. Adapun muatan tentang partai politik lokal tercantum dalam Point 1.2.1 tentang pendirian Partai Politik Lokal di Aceh, point 1.2.1 MoU Helsinki inilah yang diperebutkan, kerena point ini dianggap dapat memberikan keuntungan politis bagi mereka atau kelompoknya untuk merebut "Kekuasaan", dengan mendirikan partai-partai Politik Lokal sebagai kenderaan politiknya. Penyelesaian konflik politik di Nanggroe Aceh Darusslam (NAD) diupayakan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla dengan penandatanganan nota kesepakatan (MoU) antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Pembentukan partai politik lokal di Aceh mengacu pada salah satu poin dari klausul Penyelenggaran Pemerintahan di Aceh dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditanda tangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005 yaitu pembentukan undang-undang barn tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Berdasarkan amanat MoU, undang-undang ini akan diberlakukan sesegera mungkin dan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Maret 2006. Undang-undang barn ini nantinya akan menjadi payung hukum bagi Aceh dalam proses penyelenggaraan pemerintahan ke depan, menggantikan Undang-Undang Nomor.18/2001. Pembentukan partai politik lokal di Aceh telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20/2007 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 16 Maret 2007, namun PP tersebut berlaku surut pada 15 Februari 2007 sesuai bunyi kesepakatan damai (MoU) Helsinki yang ditandatangani Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). PP tersebut merupakan konsekuensi dari UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Partai politik lokal dianggap lebih mampu untuk memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan yang amat sempit tersebut. Ada argumen yang mengatakan bahwa partai politik lokal bisa untuk mendukung pelaksanaan otonomi khusus dan dengan demikian diharapkan separatisme akan berkurang. Hal ini disamapaikan oleh kalangan yang setuju terhadap partai politik lokal. Diharapkan juga dengan adanya partai politik lokal konflik kekerasan di aceh akan berkurang dan dapat diselesaikan melalui jalur politik. Dalam jangka pangjang partai politik lokal akan melembaga untuk dijadikan sebagai alat penyalur aspirasi masyarakat aceh yang selama ini “ mampet” dan “dibajak” oleh elit pusat dan pemerintah pusat. Alas an kontra terhadap partai politik lokal adanya ditakutkannya partai politik lokal sebagai sarana disintegrasi bangsa dan memisahkan diri dari Indonesia. Alasan lain yang digunakan untuk melarang partai politik lokal adalah tidak adanya dasar hukum partai politik lokal seperti tidak tercantum dalam UU. No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan juga pijakan pada UU. No. 31 tahun 2002 tentang partai politik yang sifatnya nasional. Ada enam keuntungan politik apabila partai politik lokal dibiarkan tumbuh subur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertama, partisipasi politik masyarakat akan tersalurkan dalam wadah dan partai politik yang memiliki warna yang sesuai dengan karakter dan lokalitas daerah dan wilayahnya. Partisipasi politik semacam ini akan makin mendekatkan pemimpin dengan masyarakatnya, sehingga terbangun jembatan politik yang mampu mewujudkan tata kelola kebijakan yang berbasis pada aspirasi politik masyarakat. Kedua, keberadaan partai politik lokal secara substansi memagari keinginanim-.untuk menuntut kemerdekaan dan pemerintahan sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat secara terbuka dan aktif terlibat dalam proses pemiihan pemimpinnya, tanpa campur tangan pemerintah pusat. Karakteristik kepemimpinan politik yang dihasilkan akan mengikuti selera politik masyarakatnya, sehingga peran pemerintah pusat hanya hanya menjadi penegas dari hasil tersebut. Ketiga, rekruitmen politik lebih jelas dan berbasis dari masyarakat sendiri. Rekruitmen tersebut menjadi isu yang signifikan karena kerap kali calon-calon dalam pilkada tidak berbasis di daerah dan wilayahnya, sehingga dapat dilihat sebagai langkah mundur dalam penguatan politik lokal. Rekruitmen politik untuk mengisi posisi-posisi strategis di daerah, akan makin kuat legislatifnya apabila diperoleh dari seleksi yang dilakukan di sejumlah partai politik lokal, dan hasil dari kontestasi. Pencapaian terbesar dari lahirnya teks nota kesepahaman adalah terciptanyakedamaian dan demokrasi lokal di Aceh. Seperti Lahirnya konsep pemerintahan sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) merupakan salah satu capaian terpenting bagi konsensus politik untuk mengahiri persengketaan antara GAM & RI, bahwa untuk menentukan pemerintahan sendiri tersebut dibutuhkan suatu proses politik yang sipatnya lokal dengan diberikannya kesempatan bagi GAM untuk mendirikan partai politik lokal dan terlibat dalam pemilu tingkat lokal. Jika kita kembali pada pertanyaan mendasar, apa makna partai politik bagi perdamaian Aceh. Ada beberapa jawaban, diantaranya; Pertama, pembentukan partai politik bisa merubah perjuangan GAM dari gerakan bersenjata ke gerakan yang legal formal melalui jalur pemilu, Partai lokal bisa berkompetisi dengan partai nasional lain dalam merebut kekuasaan ditingat lokal, kedua, ruang yang luas dalam partisipasi politik terbuka bagi masyarakat Aceh pada umumnya dan anggota GAM khususnya, Ketiga, keberadaan Partai lokal ini akan meninimalisir atau bahkan bisa menghilangkan tuntutan kemerdekan Aceh dan mengakui keberadaan NKRI. Keberadaan partai lokal akan menandai sekaligus menegaskan, beriringan dengandesentralisasi pemerintahan, desentralisasi politik (khususnya partai politik lokal) pun perludilakukan. Kehadiran partai lokal menjadi titian penting bagi proses transisi politik Aceh, beberapa kemajuan dalam tahapan perdamaian dan rekonstruksi memang memberikan nilaiyang mempu memperpendek jaring transisi, hal ini juga menjadi cermin bahwa proses berpolitik melalui jalur partai nasional tidak berjalan dengan sehat. Lebih jauh, keberadaan partai politik lokal juga dapat dikatakan memiliki kaitan yangerat dengan masalah HAM. Di satu sisi keberadaan suatu partai politik lokal dapat dilihatsebagai salah satu bentuk perwujudan HAM, terutama hak kemerdekaan berserikat (freedomof association), dan di sisi yang lain, keberadaan partai politik lokal akan dapat berfungsisebagai pembawa aspirasi masyarakat daerah dalam memperjuangkan kepentingan merekadalam proses pembangunan. Atas praktik ketidakadilan atau pelanggaran HAM yang dialamioleh masyarakat di suatu daerah, maka keberadaan partai politik lokal juga dapat menjadisarana kritik atas praktik-praktik tersebut.Pendapat-pendapat diatas semakin meneguhkan dan meyakinkan kita bahwakeberadaan partai politik lokal di Aceh merupakan salah satu jawaban akan perdamaian diAceh, tentu keberadaan Partai lokal ini bukan hanya sekedar memenuhi atau menepati apa yangtelah disepakati dalam nota kesepahaman, namun Partai lokal diharapkan mampu menjembataikepentingan masyarakat Aceh yang lebih luas, dengan partai lokal pula kebuntuan-kebutuan politik yang dialami Aceh selama 32 tahun belakangan bisa mencair, yang kemudianmomentum ini akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk terus mempertahankan perdamaian di Aceh dan membangun sistem demokrasi yag lebih baik. Dengan berbasis pada dukungan partai politik lokal, seleksi kepemimpinan di wilayah yang bersangkutan akan lebih selektif dan efektif. Hal ini dikarenakan partai politik lokal yang akan menyeleksi calon-calon diasumsikan lebih tahu karakteristik dan potensi daerahnya. Sehingga dengan adanya partai politik lokal, saringan terhadap potensi kepemimpinan daerah yang bersangkutan akan lebih baik lagi. Keempat, partai politik lokal secara prinsip menambah pilihan politik bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya Beragamnya pilihan calon yang diusung dengan berbagai kenderaan politik secara inheren melakukan pendidikan politik masyarakat. Sehingga yang terbangun tidak hanya sekedar sentimen daerah atau lokal saja, tapi juga pembangunan kesadaran dan pendidikan politik bagi masyarakat perihal calon-calon yang ada kepada masyarakat. Sebab, hams diakui salah satu peluang yang hams diminimalisir dalam pembangunan partai politik lokal adalah terbangunnya sentimen kedaerahan yang membabibuta yang pada akhirnya menghilangkan semangat dan tujuan positif dari adanya partai politik lokal. Kelima, tereksploitasinya segenap potensi daerah untuk bersama-sama membangun daerah dan wilayahnya secara konstruktif. Keberadaan potensi daerah yang tidak muncul saat menggunakan sistem kepartaian nasional, karena adanya campur tangan pusat, maupun dewan pimpinan pusat partai bersangkutan dalam pencalonan dan seleksi kandidat akan tereduksi dengan diperbolehkannya partai politik lokal. Hal ini menjadi salah satu peluang bagi potensi lokal yang selama ini tidak terakomodasi untuk membuktikan kapasitasnya lewat kenderaan partai politik lokal. Keenam, dengan adanya partai politik lokal diasumsikan akan memberikan garansi regenerasi kepemimpinan politik di daerah yang berkesinambungan. Regenerasi kepemimpinan politik di daerah tidak lagi terinterupsi oleh kepentingan pemerintah pusat atau pengurus partai di tingkat pusat yang hanya akan memaksakan calon-calon dropping dari dewan pimpinan partai atau rekayasa pemerintah pusat. Regenersi kepemimpinan politik yang berkesinambungan memberikan harapan bagi masyarakat untuk secara bersungguh-sungguh memberikan aspirasi politiknya lebih maju, dengan tetap memperhatikan asas tata kelola pemerintahan yang baik. Sekalipun secara historis kehadiran partai politik lokal punya dasar yang cukup kuat, apakah dari aspek hukum (tata negara) kehadiran partai politik lokal dapat dibenarkan? Pertanyaan ini menjadi penting karena ada pendapat yang mengatakan bahwa Undang Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik tidak memungkinkan adanya partai politik lokal. Kalau dibaca dengan cermat UUD 1945, Pasal 28 mengamanatkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu sarana untuk mewujudkan kebebasan berserikat dan berkumpul itu adalah dengan membentuk partai politik. Dengan membaca konstruksi hukum yang terdapat dalam Pasal 28, tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan bahwa UUD 1945 menutup ruang bagi kehadiran partai politik lokal. Perdebatan bisa menjadi lebih dalam kalau dikaitkan dengan ketentuan bahwa kebebasan kemerdekaan berserikat dan berkumpul itu ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 1 UU Nomor 31/2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik. Selain adanya landasan teoritikal berupa federalisme ideologis yang diserap Indonesia pasca otonomi daerah, alasan lain dari perspektif hukum tata negara yang dapat dijadikan dasar ide pembentukan partai politik lokal ini ialah adanya pertentangan antara pengaturan dalam beberapa UU. Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, dan negara melalui pemilihan umum. Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa partai politik dapat dikatakan sebagai representation of ideas9 tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan oleh sekelompok warga negara yang diperjuangkan melalui pemilihan umum. Meskipun secara eksplisit dinyatakan dapat dilakukan oleh sekelompok warga negara, pembentukan partai politik hanya dapat dilakukan dengan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31/2002 menyatakan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris. Beberapa negara demokratis mengizinkan dan memiliki partai politik lokal yang secara eksplisit memperjuangkan separatisme dan ini tidak dianggap ilegal asalkan partai itu berusaha mencapai tujuannya secara demokratis dan damai. Di beberapa negara yang memiliki masalah separatisme, partai politik lokal menjadi alternatif untuk memperkuat dinamika politik tanpa mengancam keutuhan teritorial negara. Partai lokal hanya mengandalkan dukungannya semata-mata pada satu wilayah atau daerah saja dari negara itu. Partai politik lokal ini memiliki tujuan yang berbeda (tetapi pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga, pertama, hak minoritas) partai politik lokal yang melindungi dan memajukan hak ekonomi, sosial, budaya, bahasa, dan pendidikan dari kelompok minoritas tertentu. Kedua, memperoleh otonomi, partai politik yang menginginkan otonomi untuk daerah mereka atau meningkatkan tingkat otonomi yang telah dimiliki oleh daerah itu. Ketiga, mencapai kemerdekaan, partai politik yang secara eksplesit memperjuangkan kemerdekaan wilayah mereka dan pembentukan negara baru. Note: quoted from various books, mainly Siti Zuhro’s book

Tidak ada komentar: