Senin, 14 November 2011

Hubungan Partai Politik Dengan Otonomi Daerah

Oleh: Sahruddin Otonomi daerah sebagai satu konsekwensi dari amandemen UUD 1945 memberikan banyak kewenangan kepada pemerintah daerah, salah satunya otonomi di bidang politik. Partai politik lokal diharapkan dapat mewujudkan otonomi politik tersebut, walau secara yuridis keberadaannya masih sulit diwujudkan dengan adanya aturan kepartaian yang bersifat nasional dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dan UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum. Melalui penulusuran data hukum yang bersifat kualitatif dengan pendekatan di seputar hukum ketatanegaraan, penelitian ini mendapatkan landasan teoritis dapatnya dibentuk partai politik lokal di negara kesatuan, seperti Indonesia. Teori yang menjadi landasan itu adalah teori federalisme ideologis yang juga dianut negara-negara kesatuan lain di dunia. Secara konseptual, partai politik lokal yang dapat dikembangkan di Indonesia ke depan adalah partai politik yang tidak punya hubungan sama sekali dengan partai nasional, baik secara struktural, maupun dalam Pemilu. Partai politik ini berkedudukan di setiap provinsi dan melingkupi wilayah provinsinya semata, ini linear dengan konsep otonomi daerah yang menempatkan provinsi sebagai koordinator wilayah-wilayah otonom di bawahnya. Otonomi Daerah Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.Otonomi daerah berpijak pada dasar perundang-undangan yang kuat yakni: Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Ketetapan MPR-RI Tap Mpr-RI no. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah: pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya Nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam rangka negara kesatuan Republik Indonesia Undang-undang Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal. Dalam rangka menjalankan otonomi daerah tersebut, setiap daerah memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang, kecuali yang menjadi kekuasaan pemerintah pusat.[3] Kekuasaan pemerintah pusat tersebut ditegaskan dalam pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004, yaitu meliputi kekuasaan dalam bidang : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama. Hal inilah yang memunculkan gagasan untuk membentuk Partai politik lokal di setiap daerah, selain terdapat beberapa alasan lain yang relevan dikemukakan dalam rangka mendukung gagasan pembentukan Partai politik lokal ini, seperti adanya pengalaman historis bangsa ini pada tahun 1955. Partai politik lokal pernah diperkenankan dan mengikuti pemilihan umum pada tahun tersebut. Dalam konteks yuridis, pembentukan partai politik lokal di Indonesia masih terhalang oleh aturan-aturan yang terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. UU tersebut memuat beberapa peraturan yang belum memungkinkannya dibentuk Partai-Partai politik lokal, dimana salah satu syarat pembentukan Partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf d UU No.2 Tahun 2008 adalah; “kepengurusan (partai politik-penulis) paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan” Partai Politik Partai politik diatur dalam UU no.31 tahun 2002 tentang partai politik. Berdasarkan undang-undang tersebut, yang dimaksud partai politik adalah rganisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara suka rela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan Negara melalui pemilihan umum. Pembentukan partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal28: “kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dari tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Gagasan mengenai pembentukan partai politik lokal di Indonesia sebagai konsekwensi dilaksanakannya otonomi daerah merupakan hal yang perlu dipersiapkan sejak awal secara akademik. Adapun fungs daripada partai politik adalah: 1. Pendidikan politik dengan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Penciptaan iklim yang kondusif, serta sebagai perekat kesatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan rakyat. 3. Penyerap, penghimpunan dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. 4. Perekrutan politik dalam proses pengisian jabatan politik sesuai mekanisme demokrasi dengan mempertimbangkan kesejahteraan dan keadilan gender. Membentuk partai politik adalah hak setiap warga negara sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang 1945 alinea keempat, mengembangkan kehidupan demokratis berdasarkan pancassila, mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Partai Politik dan Otonomi Daerah Persoalan paling dasar dalam pembentukan konsep tentang partai politik lokal hubungannya dengan otonomi ialah dimanakah partai politik lokal itu diletakkan dalam struktur pemerintahan daerah di Indonesia. Apakah ia diletakkan di tingkat provinsi atau di tingkat kabupaten/kota?. Berdasarkan ketentuan terkait kewenangan provinsi, kabupaten/kota dalam UU No.32 Tahun 2004, kedudukan provinsi dalam struktur pemerintahan mempunyai kewenangan untuk melakukan koordinasi, mengawasi dan membina pemerintahan kabupeten/kota di wilayahnya. Dalam konteks kewenangan otonomi itu, pemerintahan provinsi juga mempunyai kewenangan untuk menangani berbagai urusan yang berkaitan dengan urusan lintas kabupaten/kota. Berdasarkan hal itulah, konsep partai politik lokal k edepan akan lebih efektif jika diletakkan di provinsi.Adapun partai-partai yang ada di kabupaten/kota merupakan cabang dari partai yang berpusat di provinsi tersebut. Hal ini dibuat agar, partai-partai di kabupaten/kota yang akan menempatkan kadernya pada institusi legislatif dan eksekutif di kabupaten/kota dapat dimonitor oleh partai pusatnya di provinsi dan dapat menjalankan urusan otonomi secara selaras. suatu partai didirikan dalam satu provinsi tertentu saja, hal ini disebabkan agar kehadirannya untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah, dimana kebijakan itu sendiri diberikan kepada masing-masing daerah untuk mengurusi pelbagai kekhasan daerahnya masing-masing melalui urusan pilihan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masingmasing mempunyai pemerintahan daerah (ayat 1). Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat satu mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (ayat 2). Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat kedua menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (ayat 3). (Pasal 2, bab 1). “Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat: a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.” (pasal 10 ayat 5 bab 3” note: quoted from various sources

Partai Politik Lokal di Aceh: Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan (Ahmad Farhan Hamid)

Disarikan oleh: Sahruddin Pada tangal 15 Agustus 2005 yang lalu telah ditandatangi perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang memuat enam (6) pasal utama, secara garis besar mengatur tentang; pertama, mengenai penyelenggaraan pemerintahan Aceh, Undang-undang tentang penyelenggaraan PemerintahanAceh, tentang partisipasi politik yang didalamnya memuat tentang pengaturan pembentukan partai politik lokal (PARTAI LOKAL), tentang ekonomi yang menyebutkan bahwa Aceh berhak menguasai 70 % hasil dari semua cadangan sumber daya alam yang ada di wilayah Aceh,tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur perumusan kembali hukum-hukum di Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal HAM sebagaimana tercantum dalam konvenaninternasional PBB mengenai hak sipil, politik ekonomi, sosial dan budaya.Kedua tentang hak asasi manusia yang mengatur pembentuk peradilan HAM di Aceh dan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi Aceh. Ketiga, Amnesti dan reintegrasikedalam masyarakat yang mengatur pemberian amnesti baik kepada mantan anggota GAM,maupun bagi masyarakat yang telah kehilangan kewarganegaraannya pada saat konflik, disini juga diatur mengenai upaya reintegrasi anggota GAM kedalam masyarakat dan juga pengalokasian dana bagi rehabilitasi harta benda yang hancur akibatkonflik. Keempat, pengaturan keamanan yang mengatur demobilisasi 3000 pasukan militer GAM, penyerahan 840 senjata api, penarikan semua pasukan non organik RI yang berada diAceh, serta pembatasan jumlah tentara organik di Aceh hanya bisa berjumlah 14.700 orang,dan polisi berjumlah 9.100 orang. Kelima, pembentukan misi monitoring Aceh yang mengatur tentang pembentuk misi monitoring yang dibentuk oleh Uni Eropa dan ASEAN, tim ini bertugas untuk memantau proses pelaksanaan perjanjian damai ini, penghancuran senjata, menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelangraan terhadap notakesepakatan. Namun dalam tulisan ini, penulis hanya akan fokus kepada satu pasal yaitutentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut. Salah satu mandat pasal inilah yang kemudian menjadi pijakan bagi pemerintah untuk mengesahkan sebuah produk undang-undang yang komprehensif bagi Aceh, yaitu Undang-Undang Pemerintahan Aceh no 11 than 2006 yang disetujui oleh DPR-RI tanggal 11 juli 2006dan ditandatangai oleh Presiden pada tanggal 1 agustus 2006.Lalu pertanyaan yang muncul adalah, apa makna pembentuk partai politik lokal bagi perdamaian di Aceh secara khusus dan makna apa yang didapatkan oleh Indonesia secaraumum? Pencapaian perdamaian, pembentukan PARTAI LOKAL yang telah diraih Aceh saat ini tidak terlepas dari kesepekatan-kesepakatan yang telah diambil oleh pemerintah RI & GAM dalam serangkaian dialog, yang kemudian dituangkan kedalam sebuah teks perjanjian resmi yangkemudian lebih dikenal dengan Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesiadan Gerakan Aceh Merdeka, Teks/perjanjian inilah yang menjadi pijakan bagi para pihak dalam melaksanakan kesepakatan tersebut.Dalam menganalisis makna dari teks yang terkandung dalam nota kesepahamantersebut kita perlu melihat nilai/kekuatan sebuah teks, bagaimana memaknainya dengan pendekatan teori heurmenetik yang menyebutkan bahwa, kita berpikir melalui bahasa; kita berbicara dan menulis dengan bahasa yang kita mengerti dan membuat interprestasi dengan bahasa, dengan mengunakan dasar ini pula maka kita mengetahui bagaimana sebuah teksatau bahasa yang digunakan sebagai kesepakatan. Heurmenetik pada ahirnya dapat diartikansebagai penafsiran atau interprestasi dan sebuah proses mengubah sesuatu atau situasiketidaktahuan menjadi mengerti. Heurmenetik dalam pandangan klasik menyebutkan bahwa;kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yangkita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu.Lalu apa yang dimaksud dengan penafsiran atau interprestasi, lebih lanjutE.Sumayono mengatakan bahwa kegiatan interpretatif adalah proses yang bersipat triadik (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan), orang yang melakukan interprestasi harus mengenal pesan atau kecondongan teks, lalu ia harus meresapi isi teks tersebut, oleh karenaitu, dapat kita pahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar . Lebih lanjut heurmenetika dapat didefinisikan secara longgar sebagai sebuah teori atau filsafat interpresntasi makna, kesadaran bahwaekspresi-ekspresi manusia berisi sebuah komponen penuh makna, teori ini juga memusatkandiri kepada teori umum interprestasi sebagai metodologi bagi ilmu –ilmu humaniora,termasuk juga didalamnya ilmu-ilmu manusia.Disamping teori heurmenik, penulis juga akan menggunakan teori mengenai partai politik secara umum, dan teori partai politik lokal, pengertian mengenai partai politik sangat banyak dan beragam yang disampaikan oleh banyak pakar ilmu politik. Disebutkan bahwa partai politik adalah; kelompok manusia yang manusia yang teorganisir secara stabil dengantujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan adilkepada para angotanya, lebih lanjut dalam pengertian lain, partai politik adalah suatukelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat,sehingga dapat mengatasi atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah,juga disebutkan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggotanyamempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama, yaitu memperoleh kekuasaan dengancara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan mereka.Tentunya masih banyak defenisi dan pengertian yang beragam mengenai partai politik,yang kesemuanya secara umum menyampaikan bahwa partai politik adalah kelompok anggota yang terorganisir secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan motivasi ideologitertentu, dan berusaha mempertahankan dan mencari kekuasaan dalam pemerintahan.Lalu apakah yang dimaksud dengan partai politik lokal (PARTAI LOKAL), mengingat bahwakemunculan partai politik lokal di Indonesia masih relatif baru dikenal dalam sistem politik dan kepartaian, walaupun dalam sepanjang sejarah politik di Indonesia sudah pernah adaPartai lokal, teori-teori ataupun penelitian mengenai partai politik lokal masih sangat terbatas diIndonesia. Untuk itulah Farhan Hamid mencoba mendefinisikan Partai lokal dengan; partai politik yang didirikan dan berbasis di daerah, serta bekerja untuk kepentingan daerah, sedangan jika kita merujuk kepada peraturan Pemerintah, Partai lokal adalah organisasi politik yangdibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarelaatas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota,masyarakat, bangsa dan Negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh(DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRK), Gubenur dan wakil gubenur,serta bupati, wakil bupati/Walikota dan wakil walikota. Sebelum kita mengulas apa makna Partai lokal bagi perdamaian Aceh, penulis merasa perluuntuk menjelaskan bagaimana teks atau nota kesepahaman bisa muncul dan mampumenjembatani kebuntuan jalan perdamaian bagi Aceh yang telah dirintis semenjak tahun1976. Setidaknya pemerintah RI dan GAM telah melakukan 3 kali perundingan untuk mencari jalan damai. Pertama, pada tahun 2000 yang lebih dikenal dengan (Jeda kemanusiaandan penghentian permusuhan) yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid,dan jeda kemanusiaan ini gagal diwujudkan, Kedua, tahun 2002 perundingan (Jedakemanusiaan dan penghentian permusuhan) jilid 2 dilanjutkan oleh pemerintahan MegawatiSoekarno Putri, namun perundingan ini juga gagal, malah pemerintah mengeluarkan KEPRESno 23/2003 mengenai darurat militer di Aceh yang mulai berlaku pada tanggal 19 mei 2003,dan Ketiga, pada tahun 2005 kesepakatan damai bisa dicapai, hal ini ditandai dengan telahditandatanganinya nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM, pada masa pemerintahan SBY-JK yang sampai sekarang perdamaian masih bertahan. Namun seperti yang telah disampaikan diatas, bahwa jalan damai bagi Aceh sangat berliku dan panjang, menghabiskan triliyunan dana, menghilangkan banyak nyawa dan harta benda, karena jauh sebelum perjanjian ini disepakati upaya penyelesaian Aceh baik melaluiupaya perundingan damai maupun melalui kebijakan pemerintah, bahkan melalui pendekatanmiliter telah dilakukan. Dampaknyamuncul kekerasan,dan pelanggaranHAM3. Munculnyagenerasi dendamyang mendukungGAMPresiden Habibie(1998-199)Kombinasi pendekatan, antaraoperasi keamanan dengankebijakan politik Sebagian operasikeamanan yangdilakukan tidak efektif mengurangiatau menghambat pertumbuhan GAM.Kebijakan politik -10 program Habibieuntuk Aceh tidak dapat dilaksanakankarena yang bersangkutan hanyakurang dari satu tahunmenjadi presiden. PresidenAbdurrahmanWahid JedaKemanusiaanPengehentian permusuhan(CoHA)Inpres IV/2001 untuk penanganan konflik AcehOtonomi khusus bagi Aceh1. Langkah dan janji Habibie tidak diteruskan oleh presidenAbdurrahmanWahid2. Jedakemanusiaan tidak efektif untuk menghentikankekerasan3. CoHAmengalamikegagalankarena cease fire yang menjadiacuan utamanyatidak diindahkanoleh kedua belah pihak Presiden Otonomi khusus bagi Aceh. Megawati Seokarno Putri no 18/2001Inpres no VII/2002 tentang penanganan masalah konflik Aceh Melanjutkan Penghentian Permusuhan (CoHA)Darurat Militer di Aceh, kepresno 23/2003 berlaku mulai 19 Mei2004 otonomi khusus tidak dapat meredam tuntutan kemerdekaan dariGAM, karena prosesnya ditentukan oleh pemerintah pusattanpa melibatkan GAM. Inpres noVII/2001 tidak dapat berjalan maksimal, karena penanganankonflik melaluiCoHA untuk penghentian permusuhan tidak dijadikan sebagaidasar kebijakanutam. CoHA gagalkarena orientasi pemerintah pusatmemandang CoHA sebagai keuntungan bagiGAM untuk memperbesar kelompoknya. Operasi terpadumelalui daruratmiliter gagaldilakukan karenaoperasi terpadu pincang, lebih pada operasimiliter, kurangdisertai olehoperasikemanusiaan, peningkatankinerja pemerintahandan,kurang dalam penegakan hukumAtas dasar penjelasan diatas, maka kita bisa melihat bahwa pendekatan diplomasi dan perundingan jauh lebih ampuh daripada pendekatan militer dalam mencapai perdamaian diAceh, setidaknya sampai saat ini perdamaian masih terus berlangsung di Aceh, kemajuan-kemajuan ditingkat demokrasi juga terus berlangsung, hal itu bisa kita buktikan dengan telahterlaksananya pemilu langsung tahun 2006 dengan terpilihnya pasangan Gubenur dan Wakil Gubenur (Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar), menurunnya jumlah kekerasan dan aksi bersenjata, serta program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh bisa berjalan dengan lancar tanpaada ganguan keamanan, walaupun keberhasilan mengenai ini masih perlu kajian yang lebih mendalam. Makna Kehadiran Partai Politik Lokal Pencapaian terbesar dari lahirnya teks nota kesepahaman adalah terciptanyakedamaian dan demokrasi lokal di Aceh. Seperti yang diungkapkan Moch.Nurhasim;Lahirnya konsep pemerintahan sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) merupakan salah satu capaian terpenting bagi konsensus politik untuk mengahiri persengketaan antara GAM & RI, bahwa untuk menentukan pemerintahan sendiri tersebutdibutuhkan suatu proses politik yang sipatnya lokal dengan diberikannya kesempatan bagiGAM untuk mendirikan partai politik lokal dan terlibat dalam pemilu tingkat lokal. Jika kita kembali pada pertanyaan mendasar yang ingin dijawab dalam tulisan ini, apamakna partai politik bagi perdamaian Aceh seperti yang telah disampaikan dalam teks notakesepahaman tersebut diatas. Ada beberapa jawaban, diantaranya; Pertama, pembentukan partai politik bisa merubah perjuangan GAM dari gerakan bersenjata ke gerakan yang legalformal melalui jalur pemilu, PARTAI LOKAL bisa berkompetisi dengan partai nasional lain dalammerebut kekuasaan ditingat lokal, kedua, ruang yang luas dalam partisipasi politik terbuka bagi masyarakat Aceh pada umumnya dan anggota GAM khususnya, ketiga, keberadaanPartai lokal ini akan meninimalisir atau bahkan bisa menghilangkan tuntutan kemerdekan Acehdan mengakui keberadaan NKRI. Pendapat diatas semakin diperkuat dengan pendapat J.Kristiadi yang disampaikandalam buku Farhan Hamid, menurut J.Kristiadi ada dua hal yang merupakan keniscayaan bagikemunculan PARTAI LOKAL; pertama, masyarakat Indonesia yang plural dan wilayah yang amatluas harus mempunyai instrumen politik yang mampu menampung seluruh aspirasimasyarakat daerah, kedua, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung,seharusnya masyarakat di daerah diberikan kesempatan membentuk partai lokal agar kepaladaerah benar-benar kandidiat yang mereka inginkan. Harry Tjan silalahi jugamengatakan; keberadaan PARTAI LOKAL akan menandai sekaligus menegaskan, beriringan dengandesentralisasi pemerintahan, desentralisasi politik (khususnya partai politik lokal) pun perlu dilakukan. Kehadiran PARTAI LOKAL menjadi titian penting bagi proses transisi politik Aceh, beberapa kemajuan dalam tahapan perdamaian dan rekonstruksi memang memberikan nilaiyang mempu memperpendek jaring transisi, hal ini juga menjadi cermin bahwa proses berpolitik melalui jalur partai nasional tidak berjalan dengan sehat. Lebih jauh, keberadaan partai politik lokal juga dapat dikatakan memiliki kaitan yangerat dengan masalah HAM. Di satu sisi keberadaan suatu partai politik lokal dapat dilihatsebagai salah satu bentuk perwujudan HAM, terutama hak kemerdekaan berserikat (freedomof association), dan di sisi yang lain, keberadaan partai politik lokal akan dapat berfungsisebagai pembawa aspirasi masyarakat daerah dalam memperjuangkan kepentingan merekadalam proses pembangunan. Atas praktik ketidakadilan atau pelanggaran HAM yang dialamioleh masyarakat di suatu daerah, maka keberadaan partai politik lokal juga dapat menjadisarana kritik atas praktik-praktik tersebut. Pendapat-pendapat diatas semakin meneguhkan dan meyakinkan kita bahwakeberadaan partai politik lokal di Aceh merupakan salah satu jawaban akan perdamaian diAceh, tentu keberadaan PARTAI LOKAL ini bukan hanya sekedar memenuhi atau menepati apa yang telah disepakati dalam nota kesepahaman, namun PARTAI LOKAL diharapkan mampu menjembatai kepentingan masyarakat Aceh yang lebih luas, dengan PARTAI LOKAL pula kebuntuan-kebutuan politik yang dialami Aceh selama 32 tahun belakangan bisa mencair, yang kemudian momentum ini akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk terus mempertahankan perdamaian di Aceh dan membangun sistem demokrasi yag lebih baik. Disini bisa kita lihat bagaimana kekuatan teks yang dipakai oleh manusia untuk menjembatani dan menyamakan pemahaman akan pentingnya menjaga perdamaian, danmelalui teks atau nota kesepahaman ini pula kita bisa belajar bahwa pendekatan penyelesaiankonflik tidak bisa dilakukan dengan kekuatan bersenjata, melalui teks ini pula kedua belah pihak membuat sebuah ikrar dalam pembukaan nota kesepahaman tersebut yang berbunyi: Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh merdeka (GAM)menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai,menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para Pihak sangat yakin bahwahanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akanmemungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 16 desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Kesepakatan ini adalah titik awal bagi perubahan mendasar di Aceh, kalau tidak dapatdikatakan sebagai jalan menuju Aceh baru yang lebih baik di masa mendatang, untuk mencapai itu maka proses transformasi akan dilakukan sebagaimana tercermin dalam isi notakesepahaman, melalui penyelenggaraan pemerintahan Aceh, partisipasi politik ( adanya partai politik lokal). Dan kehadiran PARTAI LOKAL akan menjadi mekanisme lain menuju terbangunnya proses politik yang demokratis, peneguhan hak-hak politik masyarakat lokalyang mandiri, partisipatif, dan aspiratif. Hal ini karena PARTAI LOKAL lebih dekat dengan konstituennya, disamping itu, tentu saja keberadaan PARTAI LOKAL bisa menjadi alat implementasi perdamaiaan, membuka jalan terhormat bagi kelompok-kelompok yang selama inimemanggul senjata untuk mengubah strategi perjuangannya dalam ikut membangunmasyarakat Aceh yang adil dan makmur .Dengan demikian, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, mampukah kedua belah fihak yang terikat dalam nota kesepahaman menjaga konsistensinya dalam menjaga pedamaian, dan mampukah orang yang diluar para pihak membuat insterprestasi yangmenyeluruh dan memahami secara benar makna teks yang telah ditandatangai tersebut. Jika kita lihat, setidaknya sampai saat ini pemahaman akan pesan yang disampaikan dalam teksnota kesepahan tersebut masih bisa dipahami dan diimplementasikan secara benar, walaupuntentu masih harus terus dikawal dan dievaluasi keberhasilannya. Note: quoted from various sources

Hukum Besi Oligarki (Robert Michels)

Disarikan oleh: Sahruddin Dalam memahami hukum besi oligarki terlebih dahulu kita memahami dari segi bahasa. Secara sederhana pengertian oligarki berarti kekuasaan yang di pegang oleh segelintir orang atau golongan. Term oligarki ini pertama kali dipopulerkan oleh Robert Michels, dalam bukunya Political Parties (1915). Michels menemukan gejala oligarki elite pada kasus Partai Sosial Demokrat (SPD), Jerman. Oligarki adalah sebuah kontradiksi, apalagi bagi SPD yang dilihat dari sejarah kelahirannya maupun tipikal keparta-iannya masuk kategori partai berbasis kader (membership-based party). Kader seharusnya diberi ruang yang lebar untuk ikut menentukan hitam-putihnya partai, termasuk dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan partai. Tipikal partai semacam ini seharusnya menempatkan kader sebagai tulang punggung partai karena merekalah penggerak sekaligus penyumbang sumber daya finansial partai. Robert Michels mempelajari bagaimana sistem kepartaian yang ada di Jerman, dan mencoba merumuskan pemikirannya dengan sebutan “The Iron Law of Oligarchy” atau dalam bahasa Indonesia berarti Hukum Besi Oligarki. Salah satu fungsi partai yang pokok adalah sebagai tempat penampungan aspirasi masyarakat terhadap pemerintah, Partai timbul karena adanya sistem demokrasi yang menginginkan adanya kekuatan rakyat untuk dapat menentukan kebijaksanan negara secara langsung melalui pilihannya dalam partai politik. Rakyat adalah golongan mayoritas yang pada hakikatnya ingin diatur oleh pihak yang lain, atau dalam oligarki berarti rakyat menginginkan dipimpin oleh segelintir orang. Namun, yang perlu kita pahami adalah, apakah partai politik benar-benar menjalankan fungsinya sebagai wadah aspirasi rakyat?. Setiap partai membutuhkan bantuan financial untuk menjalankan dan terus “memberi makan” orang-orang yang ada didalamnya. Ini adalah faktor penting yang membuat Hukum Besi Oligarki itu hidup. Layaknya manusia, organisasi-pun memiliki kebutuhan, yaitu kebutuhan taktis dan teknis. Untuk memenuhi kebutuhan itu maka partai politik mau tidak mau akan menjadikan dirinya sebagai partai pengikut Hukum Besi Oligarki. Secara langsung dikatakkan dalam buku Teori-Teori Mutakhir Partai Politik oleh Dr. Ichlasul Amal bahwa “Organisasilah yang melahirkan dominasi golongan terpilih atas pemilih, pemegang mandat atas pemberi mandat, utusan atas pengutus, barang siapa berbicara tentang organisasi, ia berbicara dengan oligarki”. Pertanyaannya adalah apakah Partai Politik masih tetap konsisten terhadap tujuan mulia sebagai wadah penyampai aspirasi rakyat? Ketika sebuat partai politik sudah terikat Hukum Besi Oligarki, maka ia bukanlah lagi patuh kepada konstituennya, melainkan patuh pada pemberi sokongan besar. Inilah pengaruh berbahaya bagi partai politik yang tidak memiliki kekuatan. Pada akhirnya partai politik hanya akan dijadikan alat kaum oligarkis partai untuk mempertahankan atau mewujudkan kepentingan mereka dan meninggalkan aspirasi rakyat dibelakangnya. Bukan murni dalam bentuk materiil kebaikan pengusaha oligarkis partai ini dibalas. Melainkan dari keputusan yang setiap kader partai terpilih dalam parlemen untuk mampu mempertahankan golongan penyokong partainya dan melupakan hakikatnya sebagai Partai Politik harapan rakyat, Partai Politik pembela rakyat, dan yang ada hanyalah partai politik yang menafikkan adanya system demokrasi, serta menjadi partai politik yang melayani pemegang kedaulatan partai, bukan menjadi pelayan rakyat. Hukum Besi Oligarki dan Partisipasi Rakyat dalam Demokrasi Keberadaaan oligarki dalam sebuat sistem politik memang sesuatu yang sulit untuk dihilangkan, sekalipun itu di Negara-negara demokratis. Oligarki akan tetap hidup sebagai sesuatu yang alamiah. Lebih jelasnya, sistem politik apapun, baik otoritarian, demokrasi, monarki dan berbagai turunannya selalu membutuhkan elit sebagai kelompok minoritas yang mengatur, mengorganisasi, dan menciptakan tatanan bagi kelompok massa yang lebih besar. Kelompok elit secara struktur duduk di lapisan paling atas dari masyarakat dan meskipun sedikit dalam jumlah, akan tetapi memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar. Struktur ini kemudian dapat digambarkan dalam bentuk yang piramidal, dimana lay people (rakyat jelata) duduk di lapisan paling bawah sementara elit pemerintah duduk di lapisan paling atas, yang meskipun secara mutlak kalah jumlah, namun menjadi kelompok eksklusif yang tidak terjangkau dengan sumber daya yang melimpah. Demokrasi representatif tidak terelakkan dari hukum tersebut. Meskipun warga negara memiliki hak untuk memilih siapa yang menjadi wakilnya di pemerintahan, sifat representatif itu sendiri menyebabkan warga negara sebagai golongan terbesar menjadi terasing dengan sistem politik yang berlaku. Hanya wakil-wakil yang dipilih oleh-nya lah yang mampu secara aktif mempengaruhi dan berpartisipasi dalam lingkaran pembuat kebijakan. Sementara konstituennya hanya mampu berharaps apakah kebijakan yang dihasilkan oleh sekelompok kecil elit tersebut mampu mewakili kepentingan mereka. Hal ini makin menjadi ketika wakil yang mereka pilih tidak dengan hati nurani melihat kepentingan rakyat sebagai kewajiban moral yang seharusnya mereka perjuangkan, dan memilih berbagai macam bentuk agenda dan ambisi politik pribadi sebagai tujuan untuk duduk dalam lingkaran elit. Partai politik, sebagai jalur konservatif bagi pengumpulan kepentingan dan suara rakyat menjadi jalur yang nihil, karena sudah pada asalnya partai politik bersifat elitis dan dipimpin oleh beberapa tokoh utama yang menjadi bintang panggung. Dan tidak bualan lagi ketika kita melihat secara faktual dibutuhkan modal yang tidak sedikit untuk masuk dalam lingkungan “bintang panggung” tersebut. Pada akhirnya, hanya mereka yang memiliki cukup modal, baik modal finansial maupun akses yang memadai mampu mengatur kemana arah dan tujuan nasional bangsa. Jalur partisipasi rakyat umum menjadi terhambat. Kronisme dan nepotisme masih menjadi isu sentral politik era reformasi. Hal itu terlihat dari menguatnya kecenderungan para petinggi partai dalam menempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009. Fenomena politik keluarga ini tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di daerah (caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota). Cengkeraman elite Fenomena politik keluarga ini setidaknya disebabkan empat hal. Pertama, imbas dari sistem pemilu dan persaingan yang kian liberal. Karena itu, nama besar dan ketokohan sejumlah keluarga petinggi parpol diyakini dapat menjadi modal meraup suara.Kedua, potret kegagalan parpol dalam mengikat konstituennya. Karena itu, elite parpol cenderung mencari siasat untuk menarik konstituennya dengan menempatkan caleg yang layak jual. Cara instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga elite partai. Ketiga, lemahnya sistem kaderisasi dan pola rekrutmen di internal parpol, terutama mekanisme dalam penentuan caleg. Keempat, terlalu besarnya daya cengkeram kekuasaan para elite parpol, terutama elite di tingkat pusat. Dari keempat faktor itu, yang paling dominan menyuburbiakkan politik keluarga adalah faktor keempat, kuatnya daya cengkeram kekuasaan elite. Maraknya politik keluarga di tubuh parpol akan mengarah pada dinastitokrasi politik. Pada saat itu, suatu partai dikuasai dan dikelola sebuah keluarga besar. Parpol seolah menjadi kerajaan keluarga yang dikuasai dan dikelola turun-temurun. Kondisi ini akan membahayakan proses demokrasi yang dibangun karena akan memengaruhi kelembagaan politik internal partai. Parpol pun tidak akan kunjung terlembaga sebagai organisasi modern dan demokratis. Oligarki politik tidak hanya akan menutup peluang kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga mendorong berkembangnya personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis partai. Pada tahap itulah akan bertambah subur oligarki elite dan dinastitokrasi politik di internal parpol. Realitas politik itu seolah menguatkan tesis Robert Michels tentang Hukum Besi Oligarki (The Iron Law of Oligarchy) bahwa di setiap organisasi partai politik, pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite. Memutus rantai Selain diperlukan perbaikan sistem kaderisasi dan meritokrasi internal partai, agenda demokratisasi untuk menyelamatkan parpol dari bencana oligarki politik adalah memutus mata rantai oligarki elite di tubuh partai. Ini terutama rantai proses kebijakan penentuan caleg, baik kekuasaan untuk menyusun daftar caleg (hulu proses rekrutmen) maupun kekuasaan dalam menentukan caleg terpilih (hilir proses rekrutmen). Mekanisme penetapan caleg terpilih yang sebelumnya masih menggunakan nomor urut berkontribusi dalam menyuburkan praktik oligarki elite di tubuh parpol. Namun, hal itu terselamatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. Untuk jangka panjang, keputusan MK ini akan memutus mata rantai oligarki elite parpol meski tidak serta-merta memberantas semuanya. Kewenangan elite partai yang semula cukup besar dalam penentuan caleg terpilih otomatis akan berkurang. Namun, cengkeraman kekuasaan elite partai masih cukup kuat dalam proses menyusun daftar caleg yang merupakan bagian hulu dari rantai kebijakan dalam proses rekrutmen caleg. Untuk memutus mata rantai oligarki yang kedua ini, penyusunan daftar caleg di parpol seharusnya dipilih lewat proses internal yang transparan, bukan lagi kewenangan penuh elite partai. Karena itu, ke depan, diperlukan sistem pemilu internal yang melibatkan kader dan konstituen partai untuk memilih bakal caleg atau pejabat publik dari suatu partai. Pemilu 2009 kemungkinan besar menjadi kesempatan terakhir bagi sejumlah tokoh karismatik dan elite oligarki yang selama ini menjadi patron di sejumlah parpol. Sebelum takhta kekuasaan partai itu diserahkan kepada dinasti keluarganya, demokratisasi parpol merupakan agenda mendesak bagi masa depan kepartaian di Indonesia, setidaknya untuk menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi dan oligarki politik. Note: quoted from various sources

Papua dan Permasalahannya: Analisis hubungan Pusat dan daerah, State Socitey Relation dan Keberadaan Corporasi Internasional

Papua dan Permasalahannya: Analisis hubungan Pusat dan daerah, State Socitey Relation dan Keberadaan Corporasi Internasional Oleh : Sahruddin Berbicara terkait dengan otonomi khusus dan kesejahteraan rakyat di Papua dan kemudian dihubungkan dengan keberadaan perusahaan Freeport tidaklah bisa dilepaskan dari sejarah panjang bangsa ini dan juga ketika papua yang dulu irian jaya masuk ke dalam bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), disamping itu juga tidak lepas dari kebijakan-kebijakan rezim di masa lalu yang “salah” dalam membuat kebijakan dan juga adanya dominasi dari kekuasaan kapitalisme global yang merangsek kedalam setiap aspek kehidupan Negara dan terus melakukan penetrasi ke Negara-negara dunia ketiga termasuk di dalamnya Indonesia. Lahirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dilatarbelakangi tidak “ mesranya” hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang dulu di regulasi dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan. Undang – Undang ini mnciptakan pemerintahan yang sangat sentralistik yang mengakibatkan semua hal diatur oleh pusat dan meniadakan aspirasi dan kepentingan masyarakat di daerah dan seolah-olah meniadakan peran pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan. Sesungguhnya implikasi “buruk” Undang-Undang No. 5/1974 terjadi di seluruh Indonesia dan membuat masyarakat dan pemerintah di daerah tidak bisa secara maksimal dalam memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat karena mengingat rezim “UU” dan penguasa tidak mempunyai ruang (discreasi) karena semua sudah diatur dan dikendalikan oleh pusat termasuk didalamnya hak-hak masyarakat dan kemudian juga kekuasaan alam yang ada di daerah dikuasai oleh pemerintah pusat. Seiring dengan adanya gerakan reformasi yang salah satu agenda tuntutannya adalah pelaksanaan otonomi daerah maka kemudian di bentuk Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang tentunya semangatnya sesuai dengan semangat reformasi yang digaungkan oleh rakyat Indonesia. Tuntutan ada desentralisasi sebagai jawaban dari praktek sentralisasi kekuasaan yang dipraktekkan di zaman orde baru. Undang-Undang ini memberikan semangat baru dan aturan yang memberikan porsi kewenangan yang besar kepada daerah, bahkan beberapa orang mengatakan sudah seperti negara federal walaupun otonomi yang kita anut juga menciptakan berbagai permasalahan karena disebabkan banyak faktor termasuk didalamnya sosialisasi dan pelakssanaan otonomi daerah yang dilaksanakan boleh dikatakan “negasi” dari undang-undang yang dipraktekkan di zaman orde baru. Tetapi ternyata Undang-Undang otonomi daerah yang baru yang lahir di awal reformasi tidak cukup sebagai prescription sebagai upaya untuk menciptakan pembangunan yang lebih baik bagi seluruh wilayah Indonesia, minimal untuk beberapa daerah harus ada prescription yang berbeda dan “special” sebagai “alat” untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih baik. Untuk itulah dalam rangka untuk menguatkan otonomi daerah dan desentralisasi yang kita canangkan maka dibentuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua sebagai prescription khusus untuk Papua. Tentunya hall ini bukan tanpa ada alas an latarbelakang khusus dan kondisi objektif yang ada di papua. Adanya tuntutan yang ‘berbeda” dari Papua terkait dengan “penguatan” otonomi daerah banyak dilatarbelakangi kurang lebih beberapa hal. Pertama, masyarakat Papua merasa selama ini di “tinggalkan” oleh pemerintah pusat sehingga masyarakat hidup dalam kondisi miskin, aspirasi masyarakat tidak didengarkan oleh pemerintah pusat sehingga pembangunan tidak berjalan dengan maksimal, sehingga menimbulkan reaksi dari masyarakat yang mengakibatkan timbulnya gerakan separatis yang menuntut kemerdekaan. Gerakan masyarakat yang menuntut keadilan diterjemahkan pemerintah pusat semata-mata sebagai bagian dari upaya disintegrasi sehingga pendekatan-pendekatan militer selalu seolah-olah solusi “manjur” yang telah dipraktekkan oleh penguasa mulai dari zolonial belanda samapai dengan zaman sekarang. Padahal permasyalahannya adalah karena tidak adanya ketidakadilan dan “mampetnya” hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Dalam hal ini permasalahannya adanya formulasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang tidak berjalan seimbang. Posisi local government vis a vis central government tidak berjalan secara asimetris tetapi subordinasi dan tidak berimbang. Hubungan antara pemerintah daerah Papua dengan Jakarta tidak berjalan sesuai dengan seharusnya dalam konteks yang sejajar sehingga saluran aspirasi tidak “mampet” dan bisa serap oleh pusat dan kemudian di implemetasikan. Oleh karena itu salah satu yang diatur dalam otsus adalah keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai wadah masyarakat dalam menggodok aspirasi masyakat . Kedua, adanya paradoks kemiskinan yang tinggi dan pembangunan yang rendah di Papua padahal pada saat yang bersamaan papua memiliki kekayaan alam yang luar biasaya. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diatur di dalam UU no. 23 tidak cukup dalam mengatasi kesenjangan yang ada di Papua dan realitas paradoks yang ada di Papua sehingga kemudian dalam membangun Papua dikenal ada prescription yang di sebut dengan dana otonomi khusus yang sangat besar. Diharapkan dengan dana otsus ini ada akselerasi terhadap pembangunan yang ada di Papua. Dalam hubungannya dengan keberadaan perusahaan Freeport di Papua yang tidak secara langsung memberikan kesejahteraan pada masyarakat, sebenarnya tidak dalam konteks state society relation, tetapi lebih pada konteks central government policy mulai dari masa Soeharto sampai sekarang yang berimplikasi pada hubungan central government dengan local government. Keberadaan Freeport mendapat otoritasi pada pemerintah pusat yang kemudian melakukan operasi di tanah papua dan pada saat yang bersamaan melakukan perusakan lingkungan dan tidak kunjung memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Untuk itulah kemudian sebagai kompensasi dari pajak dan penghasilan dari Freeport dikompensasikan dengan dana otsus yang diberikan kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah diharapkan dikelola oleh pemerintah daerah untuk menciptakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, disinilah peran dari masyarakat dan pemerintah daerah diharapkan sebagai upaya perbaikan masyarakat yang tidak ada ruangnya pada zaman orde baru. Tetapi yang terjadi kemudian adalah dana otsus belum optimal karena perilaku koruptif elit pemerintah di papua. Dalam konteks pelaksanaan otsus dan pengelolaan dana otsus baru kemudian ada hubungannya dengan state (local gov.) society relation dimana nuansa peniadaan hak masyarakat di daerah di kebiri oleh pemerintah daerah. Dalam hal perbaikan kesejahteraan di daerah Freeport tidak lagi sepenuhnya tanggungjawab pemerintah pusat tetapi pemerintah daerah begitu juga dengan adanya kerusakan lingkungan. Konteks ini tidak lagi dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah tetapi adanya perilaku elit yan tidak bertanggungjawab, walapun tidak bisa secara langsung dikaitkan dengan rent seeking bureaucrats, tetapi perilaku ini telah menciptakan masyarakat tetap dalam kondisi miskin. Dalam hubungannya dengan hegemoni perusahaan asing baik sebagai kapitalisme global, ini tidak lepas dari “bandul” kekuasaan global yang lebih berpihak pada kapitalisme. Hal ini juga diback up oleh penguasa yang korup dan liberal yang diperaktekkan mulai dari zaman orde baru sampai sekarang dan peraktek ini juga kita temukan di Negara-negara timur tengah yang dikuasai rezim-rezim korup dan otoriter dan American oriented. Kekuasaan kapitalisme global dalam konteks hubungannya dengan Negara-negara banyak diregulasi oleh WTO yang berpihak pada Negara-negara kapitalis dan merugikan Negara dunia ketiga. Wallerstain menggambarkan ini dalam hubungannya dengan core and phery, dimana negara negara south dan north menjalin hubungan dalam suatu forum yang tidak seimbang. Tetapi apabila kita tinjau dalam hubungannya dengan domestic Politics, kekuasaan kapitalisme global banyak dipengaruhi oleh Washington Consensus yang membuat conditionalities bagia Negara-negara dunia ketiga sehingga Indonesia yang terikat pada Negara-negara pendonor mau tidak mau harus menjalankan persyaratan apa yang di sebut dengan structural adjustmen program yang dikenal dengan privatisasi, liberalisasi. Indonesia terjebak dengan pola yang dibuat oleh campium liberalisasi WTO, WB, IMF sehingga mau tidak mau harus menjalakan pasar yang liberal. Dalam hubungannya dengan perusahaan asing adalah adanya rezim yang mengendorse mazhab Washington Consensus sehingga kemudian mengabaikan kesejahteraan dan hak-hak masyarakat seperti keberadaan Freeport sebagai perusahaan tambang emas terbesar di dunia. Dalam kontrak-kontraknya yang selama ini tidak transparan sehingga proses perpanjangan tidak secara pasti diketahui masyarakat luas. Untuk menciptakan hubungan yang lebih seimbang pemerintah harus melakukan renegosiasi kontrak termasuk dengan Freeport sehingga pemerintah Indonesia lebih diuntungkan. Tetapi hal ini tidak akan berpengaruh apabila keuntungan yang besar dari pemerintah pusat tidak dikelola dalam suatu harmonisasi hubungan pemerintah pusat dan daerah dan juga ditindak lanjuti dengan state society relation di pemerintah daerah.

Politik Lokal di Negara Kesatuan: Upaya Mewujudkan Otonomi Daerah di Bidang Politik (M.Rifqinizamy Karsayuda

Disarikan oleh : Sahruddin Selama tiga puluh dua tahun berada di bawah rezim orde baru, Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Karl D. Jason sebagai bereucratic politic (politik birokrasi), yaitu suatu keadaan politik yang menempatkan negara pada kedudukan sangat dominan. Pada era ini, kekuasaan dalam pembuatan keputusan didominir para penguasa, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Keadaan demikian dalam teori korporatisme sebagaimana pernah ditulis oleh Mahfud MD, negara dipandang sebagai suatu organ yang mempunyai kemauan dan kepentingan sendiri yang dapat melakukan campur tangan dalam kehidupan masyarakatnya. Kerangka berfikir demikianlah ternyata yang menjadi pandangan penguasa orde baru. Kerangka berfikir tersebut dilatar belakangi oleh keyakinan bahwa stabilitas politik adalah kunci utama dalam mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, terutama untuk memulai pertumbuhan ekonomi dengan cepat. Setelah reformasi bergulir yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, dilakukan berbagai ikhtiar perbaikan bangsa. Salah satu ikhtiar ketatanegaraan yang dilakukan adalah dengan melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sejak tahun 1998 hingga 2001, terdapat empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen tersebut menyentuh beberapa persoalan fundamental ketatanegaraan, salah satunya tentang pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat (cetral government) dengan pemerintah daerah (local government). Dalam konteks itu, amandemen UUD 1945 melahirkan konsep otonomi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 18 ayat (1), (2) dan (4) UUD 1945 setelah amandemen sebagai berikut : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi kepada daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi pula kepada kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (4) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Secara lebih terperinci, pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah melalui aturan otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dengan beberapa perubahannya di kemudian hari. Dalam pasal 1 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004 tersebut dijelaskan makna otonomi daerah, yaitu : “otonomi daerah adalah hak, kekuasaan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam rangka menjalankan otonomi daerah tersebut, setiap daerah memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang, kecuali yang menjadi kekuasaan pemerintah pusat. Kekuasaan pemerintah pusat tersebut ditegaskan dalam pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004, yaitu meliputi kekuasaan dalam bidang : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan,. moneter dan fiskal, dan agama Berdasarkan aturan di atas, otonomi daerah jelas memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada setiap daerah. Menurut Jimly Asshiddiqie, otonomi daerah di Indonesia dilihat dari pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tidak jauh berbeda dengan di negara yang menganut bentuk federal. Hal ini dilandaskan pada teori kekuasaan residu (sisa) atau residual power di suatu negara. Di negara-negara federal umumnya, kekuasaan sisa berada di pemerintahan federal (pusat), sementara kekuasaan yang proporsinya lebih banyak justru berada di negara-negara bagian. Berdasarkan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 di atas, maka salah satu otonomi yang dimiliki daerah ialah otonomi dalam bidang politik. Ikhtiar untuk mewujudkan otonomi di bidang politik tersebut dilakukan dengan memberi pengaturan baru tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, termasuk pengaturan tentang mekanisme pemilihan Anggota Legislatif, seperti DPRD (Provinsi, Kabupaten/Kota) dan DPD yang lebih mendekatkan pemilih dengan si calon yang merupakan wakil dari daerahnya. Dua mekanisme rekrutmen kepemimpinan daerah diatas secara simbolik menggambarkan telah hadirnya otonomi di bidang politik, karena dipilih langsung oleh penduduk daerah setempat. Akan tetapi, otonomi politik itu sesungguhnya belum terwujud, sebab masih terbukanya kemungkinan pintu campur tangan terhadap otonomi politik di daerah oleh pusat. Campur tangan itu hadir seiring dengan masihnya diterapkan sistem kepartaian yang bersifat nasional. Akibatnya, partai politik di tingkat nasional sering mengintervensi partai-partai politik di daerah dalam dua mekanisme pemilihan tadi. Hal inilah yang memunculkan gagasan untuk membentuk Partai politik lokal di setiap daerah, selain terdapat beberapa alasan lain yang relevan dikemukakan dalam rangka mendukung gagasan pembentukan Partai politik lokal ini, seperti adanya pengalaman historis bangsa ini pada tahun 1955. Partai politik lokal pernah diperkenankan dan mengikuti pemilihan umum pada tahun itu. Gagasan ini juga dilatarbelakangi oleh diperkenankannya pembentukan Partai politik lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD) yang diberikan otonomi khusus (special autonomy policy) sebagaimana diperuntukkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pembentukan partai politik lokal di Aceh ini secara emosional mendorong daerah-daerah lain juga menuntut agar dapat membentuk partai-partai politik lokal. Dalam konteks yuridis, pembentukan partai politik lokal di Indonesia masih terhalang oleh aturan-aturan yang terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. UU tersebut memuat beberapa peraturan yang belum memungkinkannya dibentuk Partai-Partai politik lokal, dimana salah satu syarat pembentukan Partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf d UU No.2 Tahun 2008 adalah; “kepengurusan (partai politik-penulis) paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan” Aturan lain terdapat dalam Pasal 17 UU No.2 Tahun 2008 tersebut, yang menegaskan : (1) Organisasi Partai Politik terdiri atas: organisasi tingkat pusat; organisasi tingkat provinsi; dan organisasi tingkat kabupaten/kota. (2) Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain. (3) Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan kerja yang bersifat hierarkis. Aturan serupa juga berlaku bagi partai politik yang hendak mengikuti Pemilihan Umum sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pasal 8 ayat (1) huruf b dan c UU No.10 Tahun 2008 menegaskan :“Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;” Pada masa mendatang, gagasan mengenai pembentukan partai politik lokal di Indonesia sebagai konsekwensi dilaksanakannya otonomi daerah merupakan hal yang perlu dipersiapkan sejak awal secara akademik. Tulisan ini bermaksud untuk melakukan analisis akademik terhadap dua hal. Pertama : kemungkinan lahirnya partai politik lokal di Indonesia. Kedua : bagaimana konsep dasar partai politik lokal tersebut jika diimplementasikan dalam negara Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan. Konsep Dasar Partai Politik Lokal Untuk Indonesia Selain adanya landasan teoritikal berupa federalisme ideologis yang diserap Indonesia pasca otonomi daerah, alasan lain dari perspektif hukum tata negara yang dapat dijadikan dasar ide pembentukan partai politik lokal ini ialah adanya pertentangan antara pengaturan dalam beberapa UU terkait sebagaimana disinggung dalam pendahuluan tulisan ini. Pertentangan tersebut dapat dilihat dari perbedaan substansi pengaturan dalam UU No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik jo UU No.10 tahun 2008 Tentang Pemilu yang mensyaratkan Partai Politik bersifat nasional dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan adanya otonomi politik bagi daerah. Pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan memenuhi amanah UU No.32 Tahun 2004 terkait dengan otonomi politik tadi. Pembentukan partai politik lokal sebagai antitesa dari sistem kepartaian yang bersifat nasional sekarang ini dapat menjadi satu rujukan ke arah itu. Dalam tulisan ini, akan dikemukakan tiga hal mendasar terkait pembentukan partai politik lokal tersebut di Indonesia, yaitu : Pertama : Kedudukan partai politik lokal terkait kewenangan otonomi daerah, kedua : Hubungan partai politik lokal, partai politik nasional dan pemilu, serta yang ketiga ; hubungan antar partai politik lokal ke depan. Partai Politik Lokal dan Otonomi Daerah Persoalan paling dasar dalam pembentukan konsep tentang partai politik lokal hubungannya dengan otonomi ialah dimanakah partai politik lokal itu diletakkan dalam struktur pemerintahan daerah di Indonesia. Apakah ia diletakkan di tingkat provinsi atau di tingkat kabupaten/kota? Berdasarkan ketentuan terkait kewenangan provinsi, kabupaten/kota dalam UU No.32 Tahun 2004, kedudukan provinsi dalam struktur pemerintahan mempunyai kewenangan untuk melakukan koordinasi, mengawasi dan membina pemerintahan kabupeten/kota di wilayahnya. Dalam konteks kewenangan otonomi itu, pemerintahan provinsi juga mempunyai kewenangan untuk menangani pelbagai urusan yang berkaitan dengan urusan lintas kabupaten/kota. Berdasarkan hal itulah, konsep partai politik lokal k edepan akan lebih efektif jika diletakkan di provinsi. Adapun partai-partai yang ada di kabupaten/kota merupakan cabang dari partai yang berpusat di provinsi tersebut. Hal ini dibuat agar, partai-partai di kabupaten/kota yang akan menempatkan kadernya pada institusi legislatif dan eksekutif di kabupaten/kota dapat dimonitor oleh partai pusatnya di provinsi dan dapat menjalankan urusan otonomi secara selaras. Partai Politik Lokal, Partai Politik Nasional dan Pemilu Secara yuridis ketatanegaraan, sesugguhnya telah terjadi pemisahan antara partai politik lokal dan partai politik nasional dalam konteks hak dan kewajiban yang mereka lakukan dalam beberapa hal, seperti Pertama ; dalam hal mengajukan calon anggota parlemen (DPR/DPRD) dalam Pemilu sebagaimana diatur dalam pasal 52 UU No.2 Tahun 2008. Kedua : dalam konteks pengawasan terhadap anggota DPR/D juga terdapat pemisahan kewenangan antara keduanya sebagaimana ditegaskan dalam UU No.22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya dalam hal pemecatan anggota DPR/D dimaksud melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW). Selain dua hal itu, hal yang ketiga ialah kewenangan partai untuk memberhentikan Ketua DPR/D yang berasal dari partainya. Berdasarkan konstruksi hubungan antara partai politik di tingkat pusat dengan partai politik di daerah sekarang ini, maka konsep partai politik lokal ke depan hendaknya mempertegas pemisahan kewenangan yang sudah ada dalam pelbagai peraturan perundang-undangan tersebut. Konsep partai politik lokal kedepan hendaknya juga secara tegas menempatkan partai politik lokal dan partai politik nasional sebagai dua jenis partai yang berbeda. Pemisahan antara kedua jenis partai tersebut juga dimaksudkan untuk memperkuat dasar otonomi daerah di bidang politik sebagaimana tujuan penulisan ini. Berdasarkan bagan di atas dapat dilihat partai politik nasional berpusat di tingkat nasional dan mempunyai cabang-cabang di tingkat provinsi sampai di tingkat kabupaten/kota. Adapun partai politik lokal berpusat di tingkat provinsi. Ia mempunyai cabang di tingkat kabupaten/kota dalam wilayah provinsinya saja sebagaimana konsep struktur partai berkaitan dengan kewenangan otonomi sebelumnya. Kedudukan cabang-cabang partai nasional di tingkat provinsi dan kabupaten berfungsi untuk mensosialisasikan pelbagai program kerja partai nasional ke berbagai lapisan masyarakat di daerah. Khusus terkait Pemilu, cabang-cabang partai nasional di tingkat daerah ini sangat memegang peranan penting untuk melakukan kampanye sampai ke lapisan paling bawah. Diantara kedua cabang partai itu tidak akan terjadi tumpang tindih peranan, sebab mereka dari awal telah didesain dengan peranan dan lahan garap berbeda. Pemisahan kedua jenis partai tersebut akan menghadirkan berbagai akibat, termasuk dalam konteks Pemilu. Untuk itu, dalam pembentukan partai politik lokal nantinya didesain agar tercipta pembagian yang tegas diantara keduanya sebagaimana disebutkan sebelumnya, termasuk dalam pemisahan dalam konteks Pemilu. Relasi Antar Partai Politik Lokal Permasalahan lain yang mesti dibahas dalam desain partai politik lokal ini ialah hubungan antara partai politik lokal yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu sangat mungkin terjadi dalam dua bentuk yaitu, hubungan positif dan negatif. Dalam konteks yang positif, hubungan antara partai politik lokal dapat hadir pada saat mereka membentuk koalisi. Sedangkan dalam konteks yang negatif, hubungan keduanya dapat saja berupa perselisihan yang secara yuridis mesti dicarikan jalan keluarnya. Hubungan antara sesama partai politik lokal, baik positif, maupun negative. Koalisi dalam Pilkada sangat mungkin terjadi disebabkan syarat untuk mengajukan calon dalam Pilkada tersebut terkait dengan batas suara minimal tertentu. Sebagai contoh, pada masa sekarang ini, partai politik setidaknya mempunyai suara 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi di DPRD atau 15% (lima belas persen) dari jumlah keseluruhan perolehan suara sah dalam Pemilu legislatif daerah (DPRD) di daerah yang bersangkutan untuk dapat mencalonkan calon kepala daerah. Syarat minimal suara tersebut tidak mudah dipenuhi oleh partai-partai yang ada berdasakan pengalaman selama ini. Sebagai contoh, hasil perolehan suara partai-partai politik pada Pemilu legislatif daerah (DPRD) di Kabupaten Bogor tahun 2004 . Pada masa itu, hanya satu partai yang memperoleh suara di atas 15% dan berhak mengajukan calon berdasarkan aturan di atas. Koalisi lain yang dapat dibentuk oleh partai-partai lokal adalah koalisi di DPRD. Selain terkait persyaratan membentuk fraksi di DPRD, koalisi ini penting untuk meluluskan pelbagai kebijakan yang hendak dibuat. Sebagai contoh, suatu peraturan daerah baru dapat disahkan apabila disetujui oleh minimal 2/3 dari seluruh anggota DPRD.Jumlah 2/3 anggota DPRD tersebut dapat dicapai salah satunya dengan cara membentuk koalisi diantara partai-partai yang ada di dalam parlemen tersebut. Dalam konteks yang lain, hubungan antara partai politik lokal yang satu dengan yang lainnya dapat pula menghadirkan perselisihan. Salah satu bentuk perselisihan yang dapat muncul ialah perselisihan pada masa Pilkada. Pada masa ini, perselisihan yang muncul dalam bentuk perselisihan terkait dengan proses Pilkada dan perselisihan terhadap hasil perolehan suara pada Pilkada tersebut. Perselisihan pada masa proses Pilkada kemungkinan besar wujud dalam bentuk adanya fitnah atau kampanye hitam, politik uang, intimidasi terhadap pemilih dan/atau calon lain dan pelbagai bentuk lainnya. Semua bentuk perselisihan yang berkaitan dengan proses Pilkada tersebut dapat diselesaikan melalui Peradilan Umum. Hal ini disebabkan pelbagai bentuk perselisihan tersebut dapat dikategorikan dalam bentuk perbuatan pidana yang secara yuridis sekarang ini, penyelesaiannya mesti dilakukan melalui Peradilan Umum. Sedangkan persengketaan terhadap hasil Pilkada, dapat diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi sebagaimana sekarang diatur dalam UU No.12 Tahun 2008. Penyelesaian sengketa lainnya dapat pula dilakukan di internal partai politik, jika terkait persoalan internal. Persoalan internal dapat diselesaikan ke Pengadilan, jika terjadi konflik keabsahan partai politik oleh dua/atau lebih kubu dalam partai tersebut. Penyelesaian melalui jalur peradilan itu ditempuh, sebab domain menyatakan absah tidaknya partai politik bukan berada di tangan partai yang bersangkutan, melainkan di tangan pemerintah. Hubungan baru pemerintah pusat dan daerah pasca amandemen UUD 1945 sebagaimana tercermin dalam Pasal 18 UUD 1945 melahirkan implikasi akan hadirnya otonomi di berbagai bidang bagi daerah. Salah satu otonomi yang semestinya terwujud ialah otonomi di bidang politik. Sampai saat ini, otonomi politik belum bisa dilakukan secara maksimal lantaran sistem kepartaian di Indonesia masih bersifat nasional, dan belum membuka kemungkinan lahirnya partai politik lokal, kecuali di Nanggroe Aceh Darussalaam. Urgennya partai politik lokal hadir di Indonesia selain sebagai konsekwensi dari pelaksanna otonomi daerah juga merupakan implementasi dari teori federalime ideologis yang dihajatkan sebagai penjaga keberagaman dalam suatu negara, sebagaimana penemuan Prodount atas teori yang belakangan diamalkan di negara-negara kesatuan, seperti Inggris. Konsep dasar partai politik lokal yang layak untuk Indonesia sebagai negara kesatuan adalah, partai politik lokal yang berada di setiap provinsi dengan kepengurusan pusat di tingkat provinsi tersebut, partai tersebut secara tegas terpisah dengan partai politik nasional, baik secara struktural, maupun keikutsertaannya di Pemilu dan mekanisme penyelesaian sengketa antar partai politik lokal di dalam Pengadilan cukup diselesaikan di tingkat lokal pula (Pengadilan Negeri dan Tinggi), kecuali terkait sengketa hasil yang dapat diselesaikan ke Mahkamah Konstitusi.

Politik Lokal di Negara Kesatuan: Upaya Mewujudkan Otonomi Daerah di Bidang Politik (M.Rifqinizamy Karsayuda )

Disarikan oleh : Sahruddin Selama tiga puluh dua tahun berada di bawah rezim orde baru, Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Karl D. Jason sebagai bereucratic politic (politik birokrasi), yaitu suatu keadaan politik yang menempatkan negara pada kedudukan sangat dominan. Pada era ini, kekuasaan dalam pembuatan keputusan didominir para penguasa, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Keadaan demikian dalam teori korporatisme sebagaimana pernah ditulis oleh Mahfud MD, negara dipandang sebagai suatu organ yang mempunyai kemauan dan kepentingan sendiri yang dapat melakukan campur tangan dalam kehidupan masyarakatnya. Kerangka berfikir demikianlah ternyata yang menjadi pandangan penguasa orde baru. Kerangka berfikir tersebut dilatar belakangi oleh keyakinan bahwa stabilitas politik adalah kunci utama dalam mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, terutama untuk memulai pertumbuhan ekonomi dengan cepat. Setelah reformasi bergulir yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, dilakukan berbagai ikhtiar perbaikan bangsa. Salah satu ikhtiar ketatanegaraan yang dilakukan adalah dengan melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sejak tahun 1998 hingga 2001, terdapat empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen tersebut menyentuh beberapa persoalan fundamental ketatanegaraan, salah satunya tentang pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat (cetral government) dengan pemerintah daerah (local government). Dalam konteks itu, amandemen UUD 1945 melahirkan konsep otonomi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 18 ayat (1), (2) dan (4) UUD 1945 setelah amandemen sebagai berikut : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi kepada daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi pula kepada kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (4) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Secara lebih terperinci, pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah melalui aturan otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dengan beberapa perubahannya di kemudian hari. Dalam pasal 1 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004 tersebut dijelaskan makna otonomi daerah, yaitu : “otonomi daerah adalah hak, kekuasaan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam rangka menjalankan otonomi daerah tersebut, setiap daerah memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang, kecuali yang menjadi kekuasaan pemerintah pusat. Kekuasaan pemerintah pusat tersebut ditegaskan dalam pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004, yaitu meliputi kekuasaan dalam bidang : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan,. moneter dan fiskal, dan agama Berdasarkan aturan di atas, otonomi daerah jelas memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada setiap daerah. Menurut Jimly Asshiddiqie, otonomi daerah di Indonesia dilihat dari pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tidak jauh berbeda dengan di negara yang menganut bentuk federal. Hal ini dilandaskan pada teori kekuasaan residu (sisa) atau residual power di suatu negara. Di negara-negara federal umumnya, kekuasaan sisa berada di pemerintahan federal (pusat), sementara kekuasaan yang proporsinya lebih banyak justru berada di negara-negara bagian. Berdasarkan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 di atas, maka salah satu otonomi yang dimiliki daerah ialah otonomi dalam bidang politik. Ikhtiar untuk mewujudkan otonomi di bidang politik tersebut dilakukan dengan memberi pengaturan baru tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, termasuk pengaturan tentang mekanisme pemilihan Anggota Legislatif, seperti DPRD (Provinsi, Kabupaten/Kota) dan DPD yang lebih mendekatkan pemilih dengan si calon yang merupakan wakil dari daerahnya. Dua mekanisme rekrutmen kepemimpinan daerah diatas secara simbolik menggambarkan telah hadirnya otonomi di bidang politik, karena dipilih langsung oleh penduduk daerah setempat. Akan tetapi, otonomi politik itu sesungguhnya belum terwujud, sebab masih terbukanya kemungkinan pintu campur tangan terhadap otonomi politik di daerah oleh pusat. Campur tangan itu hadir seiring dengan masihnya diterapkan sistem kepartaian yang bersifat nasional. Akibatnya, partai politik di tingkat nasional sering mengintervensi partai-partai politik di daerah dalam dua mekanisme pemilihan tadi. Hal inilah yang memunculkan gagasan untuk membentuk Partai politik lokal di setiap daerah, selain terdapat beberapa alasan lain yang relevan dikemukakan dalam rangka mendukung gagasan pembentukan Partai politik lokal ini, seperti adanya pengalaman historis bangsa ini pada tahun 1955. Partai politik lokal pernah diperkenankan dan mengikuti pemilihan umum pada tahun itu. Gagasan ini juga dilatarbelakangi oleh diperkenankannya pembentukan Partai politik lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD) yang diberikan otonomi khusus (special autonomy policy) sebagaimana diperuntukkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pembentukan partai politik lokal di Aceh ini secara emosional mendorong daerah-daerah lain juga menuntut agar dapat membentuk partai-partai politik lokal. Dalam konteks yuridis, pembentukan partai politik lokal di Indonesia masih terhalang oleh aturan-aturan yang terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. UU tersebut memuat beberapa peraturan yang belum memungkinkannya dibentuk Partai-Partai politik lokal, dimana salah satu syarat pembentukan Partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf d UU No.2 Tahun 2008 adalah; “kepengurusan (partai politik-penulis) paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan” Aturan lain terdapat dalam Pasal 17 UU No.2 Tahun 2008 tersebut, yang menegaskan : (1) Organisasi Partai Politik terdiri atas: organisasi tingkat pusat; organisasi tingkat provinsi; dan organisasi tingkat kabupaten/kota. (2) Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain. (3) Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan kerja yang bersifat hierarkis. Aturan serupa juga berlaku bagi partai politik yang hendak mengikuti Pemilihan Umum sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pasal 8 ayat (1) huruf b dan c UU No.10 Tahun 2008 menegaskan :“Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;” Pada masa mendatang, gagasan mengenai pembentukan partai politik lokal di Indonesia sebagai konsekwensi dilaksanakannya otonomi daerah merupakan hal yang perlu dipersiapkan sejak awal secara akademik. Tulisan ini bermaksud untuk melakukan analisis akademik terhadap dua hal. Pertama : kemungkinan lahirnya partai politik lokal di Indonesia. Kedua : bagaimana konsep dasar partai politik lokal tersebut jika diimplementasikan dalam negara Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan. Konsep Dasar Partai Politik Lokal Untuk Indonesia Selain adanya landasan teoritikal berupa federalisme ideologis yang diserap Indonesia pasca otonomi daerah, alasan lain dari perspektif hukum tata negara yang dapat dijadikan dasar ide pembentukan partai politik lokal ini ialah adanya pertentangan antara pengaturan dalam beberapa UU terkait sebagaimana disinggung dalam pendahuluan tulisan ini. Pertentangan tersebut dapat dilihat dari perbedaan substansi pengaturan dalam UU No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik jo UU No.10 tahun 2008 Tentang Pemilu yang mensyaratkan Partai Politik bersifat nasional dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan adanya otonomi politik bagi daerah. Pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan memenuhi amanah UU No.32 Tahun 2004 terkait dengan otonomi politik tadi. Pembentukan partai politik lokal sebagai antitesa dari sistem kepartaian yang bersifat nasional sekarang ini dapat menjadi satu rujukan ke arah itu. Dalam tulisan ini, akan dikemukakan tiga hal mendasar terkait pembentukan partai politik lokal tersebut di Indonesia, yaitu : Pertama : Kedudukan partai politik lokal terkait kewenangan otonomi daerah, kedua : Hubungan partai politik lokal, partai politik nasional dan pemilu, serta yang ketiga ; hubungan antar partai politik lokal ke depan. Partai Politik Lokal dan Otonomi Daerah Persoalan paling dasar dalam pembentukan konsep tentang partai politik lokal hubungannya dengan otonomi ialah dimanakah partai politik lokal itu diletakkan dalam struktur pemerintahan daerah di Indonesia. Apakah ia diletakkan di tingkat provinsi atau di tingkat kabupaten/kota? Berdasarkan ketentuan terkait kewenangan provinsi, kabupaten/kota dalam UU No.32 Tahun 2004, kedudukan provinsi dalam struktur pemerintahan mempunyai kewenangan untuk melakukan koordinasi, mengawasi dan membina pemerintahan kabupeten/kota di wilayahnya. Dalam konteks kewenangan otonomi itu, pemerintahan provinsi juga mempunyai kewenangan untuk menangani pelbagai urusan yang berkaitan dengan urusan lintas kabupaten/kota. Berdasarkan hal itulah, konsep partai politik lokal k edepan akan lebih efektif jika diletakkan di provinsi. Adapun partai-partai yang ada di kabupaten/kota merupakan cabang dari partai yang berpusat di provinsi tersebut. Hal ini dibuat agar, partai-partai di kabupaten/kota yang akan menempatkan kadernya pada institusi legislatif dan eksekutif di kabupaten/kota dapat dimonitor oleh partai pusatnya di provinsi dan dapat menjalankan urusan otonomi secara selaras. Partai Politik Lokal, Partai Politik Nasional dan Pemilu Secara yuridis ketatanegaraan, sesugguhnya telah terjadi pemisahan antara partai politik lokal dan partai politik nasional dalam konteks hak dan kewajiban yang mereka lakukan dalam beberapa hal, seperti Pertama ; dalam hal mengajukan calon anggota parlemen (DPR/DPRD) dalam Pemilu sebagaimana diatur dalam pasal 52 UU No.2 Tahun 2008. Kedua : dalam konteks pengawasan terhadap anggota DPR/D juga terdapat pemisahan kewenangan antara keduanya sebagaimana ditegaskan dalam UU No.22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya dalam hal pemecatan anggota DPR/D dimaksud melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW). Selain dua hal itu, hal yang ketiga ialah kewenangan partai untuk memberhentikan Ketua DPR/D yang berasal dari partainya. Berdasarkan konstruksi hubungan antara partai politik di tingkat pusat dengan partai politik di daerah sekarang ini, maka konsep partai politik lokal ke depan hendaknya mempertegas pemisahan kewenangan yang sudah ada dalam pelbagai peraturan perundang-undangan tersebut. Konsep partai politik lokal kedepan hendaknya juga secara tegas menempatkan partai politik lokal dan partai politik nasional sebagai dua jenis partai yang berbeda. Pemisahan antara kedua jenis partai tersebut juga dimaksudkan untuk memperkuat dasar otonomi daerah di bidang politik sebagaimana tujuan penulisan ini. Berdasarkan bagan di atas dapat dilihat partai politik nasional berpusat di tingkat nasional dan mempunyai cabang-cabang di tingkat provinsi sampai di tingkat kabupaten/kota. Adapun partai politik lokal berpusat di tingkat provinsi. Ia mempunyai cabang di tingkat kabupaten/kota dalam wilayah provinsinya saja sebagaimana konsep struktur partai berkaitan dengan kewenangan otonomi sebelumnya. Kedudukan cabang-cabang partai nasional di tingkat provinsi dan kabupaten berfungsi untuk mensosialisasikan pelbagai program kerja partai nasional ke berbagai lapisan masyarakat di daerah. Khusus terkait Pemilu, cabang-cabang partai nasional di tingkat daerah ini sangat memegang peranan penting untuk melakukan kampanye sampai ke lapisan paling bawah. Diantara kedua cabang partai itu tidak akan terjadi tumpang tindih peranan, sebab mereka dari awal telah didesain dengan peranan dan lahan garap berbeda. Pemisahan kedua jenis partai tersebut akan menghadirkan berbagai akibat, termasuk dalam konteks Pemilu. Untuk itu, dalam pembentukan partai politik lokal nantinya didesain agar tercipta pembagian yang tegas diantara keduanya sebagaimana disebutkan sebelumnya, termasuk dalam pemisahan dalam konteks Pemilu. Relasi Antar Partai Politik Lokal Permasalahan lain yang mesti dibahas dalam desain partai politik lokal ini ialah hubungan antara partai politik lokal yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu sangat mungkin terjadi dalam dua bentuk yaitu, hubungan positif dan negatif. Dalam konteks yang positif, hubungan antara partai politik lokal dapat hadir pada saat mereka membentuk koalisi. Sedangkan dalam konteks yang negatif, hubungan keduanya dapat saja berupa perselisihan yang secara yuridis mesti dicarikan jalan keluarnya. Hubungan antara sesama partai politik lokal, baik positif, maupun negative. Koalisi dalam Pilkada sangat mungkin terjadi disebabkan syarat untuk mengajukan calon dalam Pilkada tersebut terkait dengan batas suara minimal tertentu. Sebagai contoh, pada masa sekarang ini, partai politik setidaknya mempunyai suara 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi di DPRD atau 15% (lima belas persen) dari jumlah keseluruhan perolehan suara sah dalam Pemilu legislatif daerah (DPRD) di daerah yang bersangkutan untuk dapat mencalonkan calon kepala daerah. Syarat minimal suara tersebut tidak mudah dipenuhi oleh partai-partai yang ada berdasakan pengalaman selama ini. Sebagai contoh, hasil perolehan suara partai-partai politik pada Pemilu legislatif daerah (DPRD) di Kabupaten Bogor tahun 2004 . Pada masa itu, hanya satu partai yang memperoleh suara di atas 15% dan berhak mengajukan calon berdasarkan aturan di atas. Koalisi lain yang dapat dibentuk oleh partai-partai lokal adalah koalisi di DPRD. Selain terkait persyaratan membentuk fraksi di DPRD, koalisi ini penting untuk meluluskan pelbagai kebijakan yang hendak dibuat. Sebagai contoh, suatu peraturan daerah baru dapat disahkan apabila disetujui oleh minimal 2/3 dari seluruh anggota DPRD.Jumlah 2/3 anggota DPRD tersebut dapat dicapai salah satunya dengan cara membentuk koalisi diantara partai-partai yang ada di dalam parlemen tersebut. Dalam konteks yang lain, hubungan antara partai politik lokal yang satu dengan yang lainnya dapat pula menghadirkan perselisihan. Salah satu bentuk perselisihan yang dapat muncul ialah perselisihan pada masa Pilkada. Pada masa ini, perselisihan yang muncul dalam bentuk perselisihan terkait dengan proses Pilkada dan perselisihan terhadap hasil perolehan suara pada Pilkada tersebut. Perselisihan pada masa proses Pilkada kemungkinan besar wujud dalam bentuk adanya fitnah atau kampanye hitam, politik uang, intimidasi terhadap pemilih dan/atau calon lain dan pelbagai bentuk lainnya. Semua bentuk perselisihan yang berkaitan dengan proses Pilkada tersebut dapat diselesaikan melalui Peradilan Umum. Hal ini disebabkan pelbagai bentuk perselisihan tersebut dapat dikategorikan dalam bentuk perbuatan pidana yang secara yuridis sekarang ini, penyelesaiannya mesti dilakukan melalui Peradilan Umum. Sedangkan persengketaan terhadap hasil Pilkada, dapat diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi sebagaimana sekarang diatur dalam UU No.12 Tahun 2008. Penyelesaian sengketa lainnya dapat pula dilakukan di internal partai politik, jika terkait persoalan internal. Persoalan internal dapat diselesaikan ke Pengadilan, jika terjadi konflik keabsahan partai politik oleh dua/atau lebih kubu dalam partai tersebut. Penyelesaian melalui jalur peradilan itu ditempuh, sebab domain menyatakan absah tidaknya partai politik bukan berada di tangan partai yang bersangkutan, melainkan di tangan pemerintah. Hubungan baru pemerintah pusat dan daerah pasca amandemen UUD 1945 sebagaimana tercermin dalam Pasal 18 UUD 1945 melahirkan implikasi akan hadirnya otonomi di berbagai bidang bagi daerah. Salah satu otonomi yang semestinya terwujud ialah otonomi di bidang politik. Sampai saat ini, otonomi politik belum bisa dilakukan secara maksimal lantaran sistem kepartaian di Indonesia masih bersifat nasional, dan belum membuka kemungkinan lahirnya partai politik lokal, kecuali di Nanggroe Aceh Darussalaam. Urgennya partai politik lokal hadir di Indonesia selain sebagai konsekwensi dari pelaksanna otonomi daerah juga merupakan implementasi dari teori federalime ideologis yang dihajatkan sebagai penjaga keberagaman dalam suatu negara, sebagaimana penemuan Prodount atas teori yang belakangan diamalkan di negara-negara kesatuan, seperti Inggris. Konsep dasar partai politik lokal yang layak untuk Indonesia sebagai negara kesatuan adalah, partai politik lokal yang berada di setiap provinsi dengan kepengurusan pusat di tingkat provinsi tersebut, partai tersebut secara tegas terpisah dengan partai politik nasional, baik secara struktural, maupun keikutsertaannya di Pemilu dan mekanisme penyelesaian sengketa antar partai politik lokal di dalam Pengadilan cukup diselesaikan di tingkat lokal pula (Pengadilan Negeri dan Tinggi), kecuali terkait sengketa hasil yang dapat diselesaikan ke Mahkamah Konstitusi.

Partai Politik Lokal oleh Laurence Sulivan

Disarikan oleh: Sahruddin Dalam tulisanya Laurence berbicara terkait dengan partai politik local secara luar dan melakukan perbandingan dengan Negara-negara lain yang di Negara tersebut diberikan kebebasan berdiri partai politik local walaupun ada nuasa partai dijadikan sebagai alat perjuangan. Dalam konteks Indonesia memang tidak dikenal adanya partai politik local, karena keberadaan partai di atur melalui undang-undang partai politik yang isinya partai politik hanya di kenal secara nasional. Walapun secara undang-undang dalam otsus dikenal adanya partai politik local tetapi ketentuan yang berhubungan dengan partai politik local berbenturan dengan undang-undang partai politik yang hanya mengenal partai politik secara nasional. Ketentuan parpol dalam undang-undang otonomi khusus mengatur partai politik dalam pasal 28 Partai Politik, Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Telah muncul silang pendapat tentang apakah Pasal ini membolehkan pembentukan partai politik lokal di Propinsi Papua, yang berbeda dengan partai politik pada tingkat nasional. Satu pendapat mengatakan bahwa hak yang diberikan dalam 28(1) tergantung pada Pasal 28(2) dan penduduk Papua hanya dapat membentuk partai politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan ini. Departemen Dalam Negeri telah memasukkan 28(2) dalam daftar 39 peraturan yang dianggap menjadi hak Departemen untuk sepenuhnya melaksanakan Otsus. Oleh karena itu, bahkan menjadi tidak jelas apakah ‘peraturan perundang-undangan’ yang dirujuk dalam 28(2) adalah peraturan yang hanya spesifik untuk Papua (yang masih harus dibuat) atau apakah peraturan itu merujuk kepada semua peraturan-peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia tentang pemilihan umum (periksa di bawah ini). Pasal 28 juga mengungkapkan pembedaan antara pembentukan partai politik DAN keikutsertaan partai tersebut dalam Pemilihan Umum. Berdasarkan pasal ini, dapat dikemukakan bahwa partai politik lokal dapat dibentuk tetapi tidak diijinkan ikut serta dalam Pemilihan Umum. Rancangan Otsus yang pertama, yang diusulkan oleh Provinsi Papua, dengan jelas memberi wewenang pembentukan partai politik lokal. Pasal 25 menyatakan: (1) Penduduk Propinsi Papua berhak membentuk Partai Politik Lokal (2) Partai Politik Lokal dan Partai Politik Nasional memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan memperoleh perlakuan yang sama dari Pemerintah Propinsi; (3) Tata cara pembentukan Partai Politik Lokal ditetapkan dalam Peraturan Dasar. (4) Tata cara keikutsertaan Partai Politik Lokal dan Nasional dalam Pemilu di Propinsi Papua ditetapkan dalam Peraturan Dasar. Penghapusan kata “Lokal” oleh DPR tidak menguntungkan tetapi amdanemen ini tidak boleh menghilangkan penggunaan praktis dari Pasal ini. UU No. 31/2002 tentang Pemilu pada tahun 2004 menyatakan proses verifikasi dua tahap yang harus diikuti oleh partai politik agar dapat ikut serta dalam Pemilu: Tahap 1 – Departemen Kehakiman dan HAM menyusun daftar partai-partai yang memiliki pengurus daerah sekurang-kurangnya setengah dari 30 Provinsi di Indonesia dan pengurus cabang sekurang-kurangnya setengah dari 410 Kabupaten dan Kota. Tahap 2 - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyususn daftar partai-partai yang memiliki pengurus daerah sekurang-kurangnya dua pertiga dari Provinsi dan dua pertiga dari Kabupaten/Kota dan telah merekrut sekurang-kurangnya 1 orang per 1000 penduduk di setiap Kabupaten/Kota. Partai yang tidak memenuhi proses verifikasi ini tidak akan diijinkan ikut serta dalam Pemilu. Jelaslah bahwa kriteria di atas menghalangi semua partai politik lokal untuk ikut serta dalam Pemilu karena partai politik lokal tidak akan memiliki pengurus daerah dan pengurus cabang sesuai dengan perbandingan Provinsi dan Kabupaten yang disyaratkan. Karena pemilihan DPRD yang akan datang dijadwalkan bersamaan waktunya dengan pemilihan anggota DPR(RI), partai politik lokal Papua tidak akan dapat mengikuti bukan hanya Pemilu Nasional melainkan juga pemilihan anggota DPRD Provinsi. Mengingat pertentangan antara Pasal 28 Otsus dan UU No. 31/2002 terdapat keprihatinan yang meluas di Papua bahwa Pasal 28 akan menjadi sebuah ‘Pasal Kosong’. Masalah pemerintahan domestik telah menjadi lingkup hukum hak asasi manusia pada tingkat internasional dengan munculnya hak untuk partisipasi politik dan hak atas pemerintahan yang demokratis. Pembentukan partai politik, termasuk partai politik lokal, dilindungi berdasarkan hukum internasional asalkan partai itu demokratis dan damai. Kebebasan berserikat (freedom of association) dilindungi oleh Pasal 20 Deklarasi Universal Tentang Hak-hak Azasi Manusia dan Pasal 22 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan mencakupi hak bergabung dengan suatu partai politik atau untuk membentuk partai politik. Hak atas partisipasi politik didasarkan pada Pasal 21 Deklarasi Universal Tentang Hak-hak Azasi Manusia dan Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan meliputi hak untuk partisipasi dalam urusan publik melalui lembaga legislatif perwakilan dan hak suara dalam pemilu yang bebas. Pasal 5 Kovenan menyatakan bahwa tidak ada Negara, kelompok, atau seseorang dapat “melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini”. Ketentuan ini memungkinkan Negara melarang partai politik yang memiliki tujuan yang totaliter, anti demokrasi, atau menimbulkan kekerasan. Tujuan Partai politik lokal Banyak Negara demokrasi memiliki partai politik yang mengandalkan dukungannya semata-mata pada satu wilayah atau daerah saja dari Negara itu. Partai politik lokal ini memiliki tujuan yang berbeda-beda tetapi pada umumnya dapat dikategorikan menjadi tiga: (1) Hak Minoritas – partai politik lokal yang melindungi dan memajukan hak ekonomi, sosial, budaya, bahasa, dan pendidikan dari kelompok minoritas tertentu. (2) Memperoleh Otonomi – partai politik yang menginginkan otonomi untuk daerah mereka atau untuk meningkatkan tingkat otonomi yang telah dimiliki oleh daerah itu. (3) Mencapai Kemerdekaan – partai politik yang secara eksplisit memperjuangkan kemerdekaan wilayah mereka dan pembentukan Negara baru. Meskipun Negara dibenarkan melarang partai separatis dan pro-kemerdekaan yang anti demokrasi, fasis, atau menimbulkan kekerasan, timbul masalah tentang sikap apa yang harus diambil terhadap partai politik separatis yang damai dan demokratis? Sikap Indonesia terhadap Partai politik Separatis Selain persyaratan verifikasi dalam UU No. 31/2002, yang pada dasarnya tidak memungkinkan semua partai politik lokal (separatis atau non-separatis) untuk ikut serta dalam Pemilu, Indonesia juga tampaknya melarang partai politik separatis, tanpa memperhatikan apakah partai itu demokratis dan damai atau tidak. Pasal 9 UU No. 31/2002 menyatakan bahwa: (a) setiap partai politik berkewajiban mengamankan Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundangan lainnya. (b) setiap partai politik harus memelihara dan mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewajiban untuk melindungi dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI adalah upaya untuk melarang setiap partai politik di Indonesia untuk memperjuangkan separatisme dan kemerdekaan suatu wilayah. Sikap Negara lain terhadap Partai politik Separatis Praktek di Turkey mengenai partai politik lokal sangat menarik. Di Turki Timur terdapat orang-orang Kurdi yang tidak puas dan partai politik yang berjuang untuk memenuhi harapan dari kelompok minoritas itu telah berulang kali dilarang oleh Negara. Pelarangan ini telah ditentang berdasarkan Pasal 11 Konvensi Eropa tentang HAM yang menjamin kebebasan berserikat. Mahkamah HAM Eropa telah memutuskan dalam dua kasus bahwa pelarangan ini melanggar Pasal 11. Partai politik tersebut tidak menggunakan kekerasan atau menjadi ancaman terhadap proses demokrasi, tetapi sebaliknya menawarkan dialog dan perundingan sebagai alternatif dari kampanye militer pemerintah terhadap angkatan bersenjata Kurdi. Dalam kasus pertama Mahkamah memutuskan: “salah satu dari ciri utama demokrasi adalah kemungkinan yang ditawarkan untuk memecahkan masalah negara melalui dialog, tanpa menimbulkan kekerasan, bahkan ketika mereka mengalami jalan buntu. Demokrasi tumbuh subur atas dasar kebebasan menyatakan pendapat. Dari pandangan itu, tidak ada alasan pembenaran untuk melarang kelompok partai semata-mata karena partai itu berusaha memperdebatkan di khalayak umum tentang situasi sebagian penduduk Negara dan ikut serta dalam kehidupan politik Negara untuk menemukan, menurut aturan demokrasi, pemecahan yang mampu memuaskan semua orang yang terlibat.” Dalam kasus kedua, Mahkamah Konstitusi Turki melarang Partasi Sosialis karena usulannya untuk memberikan otonomi kepada orang Kurdi (bukan kemerdekaan) mengancam “kesatuan negara Turki dan keutuhan wilayah Negara.” Mahkamah HAM Eropa membatalkan keputusan ini dan menyatakan bahwa Negara tidak boleh menyatakan setiap prinsip konstitusi sebagai begitu mendasar sehingga dapat dibenarkan untuk melarang partai yang berusaha mengubah prinsip itu dengan cara yang konstitusional. Mahkamah HAM Eropa memutuskan: “bahwa kenyataan bahwa …. program politik dianggap tidak cocok dengan prinsip dan susunan Negara Turki sekarang tidak berarti tidak cocok dengan aturan demokrasi …[dan]…bahwa inti dari demokrasi adalah memungkinkan program politik yang berbeda untuk diusulkan dan diperdebatkan, bahkan program-program yang memunculkan pertanyaan tentang cara Negara sekarang ini diatur, asalkan program-program itu tidak merusak demokrasi itu sendiri.” Oleh karena itu, partai politik yang demokratis dan damai tidak boleh dilarang hanya karena partai itu mengritik struktur Negara yang ada sekarang ini. Banyak Negara Eropa memiliki partai politik lokal, sebagian diantaranya secara eksplisit merupakan gerakan separatis. Di German satu-satunya partai Bavaria, Christian Social Union telah memerintah wilayah Bavaria selama bertahun-tahun, juga bergabung dalam pemerintahan koalisi pada tingkat nasional. Finlandia memiliki partai politik lokal yang diabdikan untuk melindungi kedudukan penduduk minoritas Swedia. Spanyol memiliki banyak partai politik lokal di Catalonia, Basque ldans dan Galicia, sebagian di antaranya memperjuangkan kemerdekaan. Belgia memiliki partai politik lokal di Fldaners dan Wallonia. Di Bulgaria Mahkamah Konstitusi menolak melarang partai yang didukung terutama oleh penduduk etnik Turki meskipun Pasal 11(4) Konstitusi secara nyata melarang pembentukan partai yang berbasis etnik atau agama. Perancis - Pasal 4 Konstitusi Perancis menyatakan bahwa semua partai politik harus menghargai prinsip kedaulatan nasional. Mahkamah adminsitratif paling tinggi, Conseil d’Etat mendukung, pada tahun 1970 an, pembubaran partai atau kelompok yang berbasis hanya demi tujuan separatisme (mengenai Kepulauan Corsica dan wilayah Basque bagian Perancis) meskipun jika kelompok itu tidak melakukan perilaku kekerasan. Tetapi, mengingat keputusan yang diambil Mahkamah HAM Eropa tahun 1988, tersebut di atas, keabsahan hukum sekarang dari Pasal 4 diragukan. Kerajaan Inggris Raya – Kerajaan Inggris Raya memiliki partai politik lokal di Skotlandia dan Wales yang memperjuangkan kemerdekaan kedua wilayah ini. Partai-partai tersebut adalah partai yang damai dan demokratis dan ikut serta secara aktif dalam proses demokrasi. Di Irlandia Utara terdapat partai politik lokal yang memperjuangkan, bukan kemerdekaan, tetapi pemisahan dari Kerajaan Inggris Raya dan pembentukan satu Irlandia bersama Irlandia Selatan. Sebagai bagian dari proses perdamaian di Irlandia Utara, Kerajaan Inggris Raya, Irlandia Selatan, dan semua pihak dalam Perjanjian Damai setuju: “mengakui legitimasi pilihan apapun yang secara bebas dilakukan oleh mayoritas rakyat Irlandia Utara mengenai status, apakah mereka lebih suka tetap mendukung Kerajaan Inggris Raya, atau satu Irlandia yang berdaulat.” Dengan demikian, aspirasi terhadap separatisme dapat diterima, asalkan hal itu diungkapkan secara damai dan demokratis. Canada – Di Provinsi Quebec yang penduduknya berbahasa Perancis terdapat partai politik lokal, yaitu Parti Quebecois, yang memperjuangkan kedaulatan dan kemerdekaan Quebec. Parti Quebecois telah memenangi pemilu dan membentuk pemerintah provinsi Quebec dari 1976-1985 dan dari 1994-2003. Pada tahun 1980 dan lagi pada tahun 1995 diadakan referendum mengenai kedaulatan Quebec. Dapat dicatat bahwa dalam kedua referendum itu, rakyat Quebec memilih tetap menjadi bagian Canada. Mahkamah Agung menegaskan pada tahun 1998 bahwa Quebec dapat lepas dari Canada jika ada referendum yang memiliki “pertanyaan yang jelas dan mayoritas yang jelas” dan menyusul perundingan dengan provinsi lain di Canada. India juga memiliki banyak partai politik lokal yang diijinkan untuk ikut serta dalam pemilu dan memerintah wilayah jika mereka menang. Partai politik lokal juga dianggap sebagai bagian dari proses penyelesaian konflik di Sri Lanka berkaitan dengan penduduk etnik Tamil dan di Papua New Guinea berkaitan dengan Bougainville. Tanggapan Penutup Mengingat bahwa Pasal 28(1) dimasukkan dalam UU mengenai satu provinsi saja di Indonesia, simpulan yang paling wajar adalah bahwa penduduk Papua memiliki hak untuk membentuk partai politik yang kemudian ikut serta dalam pemilu. Klausul ini sebaiknya dipandang lebih tinggi daripada peraturan-peraturan lain yang bertentangan dengannya. Menafsirkan Pasal 28(1) dengan cara mengijinkan pembentukan partai politik lokal adalah penafsiran paling sesuai dari klausul ini. Dengan menggunakan argumen lex specialis , Pasal 28(1) harus dianggap lebih tinggi daripada peraturan lain yang bertentangan dengannya, termasuk UU No. 31/2002. Menurut hukum HAM internasional, partai politik lokal dilindungi oleh kebebasan berserikat dan hak atas partisipasi politik. Banyak negara demokratis mengijinkan dan memiliki partai politik lokal. Bebera negara demokratis mengijinkan dan memiliki partai politik lokal yang secara eksplisit memperjuangkan separatisme dan ini tidak dianggap ilegal asalkan partai itu bersusaha mencapai tujuannya secara demokratis dan damai. Harus dicatat bahwa partai politik yang memperjuangkan separatisme ini (misalnya di Canada, Kerajaan Inggris Raya, Spanyol) belum mencapai tujuan mereka. Barangkali masalahnya adalah jika suatu Negara itu sepenuhnya demokratis, menghargai HAM dan telah melaksanakan bentuk yang benar dari otonomi daerah, keinginan untuk merdeka akan menurun. Semua gerakan kemerdekaan yang berhasil pada waktu akhir-akhir ini (misalnya di bekas Uni Soviet dan Yugoslavia, Eritrea dari Ethiopia, Timor Leste dari Indonesia) telah terjadi di Negara yang tidak demokratis dan/atau represif. Barangkali pertahanan paling baik bagi Negara terhadap ancaman separatisme bukan tindakan keamanan dan militer tetapi demokrasi, penghormatan terhadap HAM, dan otonomi daerah yang luas. Barangkali terlalu berlebihan berharap Indonesia menoleransi pembentukan partai yang secara eksplisit memperjuangkan separatisme. Tetapi, pembentukan partai politik lokal non separatis di Papua harus diijinkan dan harus sesuai dengan Pasal 28 Otsus, hukum internasional dan praktik-praktik serupa di Negara-negara demokratis.