Senin, 14 November 2011
Partai Politik Lokal di Aceh: Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan (Ahmad Farhan Hamid)
Disarikan oleh: Sahruddin
Pada tangal 15 Agustus 2005 yang lalu telah ditandatangi perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang memuat enam (6) pasal utama, secara garis besar mengatur tentang; pertama, mengenai penyelenggaraan pemerintahan Aceh, Undang-undang tentang penyelenggaraan PemerintahanAceh, tentang partisipasi politik yang didalamnya memuat tentang pengaturan pembentukan partai politik lokal (PARTAI LOKAL), tentang ekonomi yang menyebutkan bahwa Aceh berhak menguasai 70 % hasil dari semua cadangan sumber daya alam yang ada di wilayah Aceh,tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur perumusan kembali hukum-hukum di Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal HAM sebagaimana tercantum dalam konvenaninternasional PBB mengenai hak sipil, politik ekonomi, sosial dan budaya.Kedua tentang hak asasi manusia yang mengatur pembentuk peradilan HAM di Aceh dan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi Aceh. Ketiga, Amnesti dan reintegrasikedalam masyarakat yang mengatur pemberian amnesti baik kepada mantan anggota GAM,maupun bagi masyarakat yang telah kehilangan kewarganegaraannya pada saat konflik, disini juga diatur mengenai upaya reintegrasi anggota GAM kedalam masyarakat dan juga pengalokasian dana bagi rehabilitasi harta benda yang hancur akibatkonflik. Keempat, pengaturan keamanan yang mengatur demobilisasi 3000 pasukan militer GAM, penyerahan 840 senjata api, penarikan semua pasukan non organik RI yang berada diAceh, serta pembatasan jumlah tentara organik di Aceh hanya bisa berjumlah 14.700 orang,dan polisi berjumlah 9.100 orang. Kelima, pembentukan misi monitoring Aceh yang mengatur tentang pembentuk misi monitoring yang dibentuk oleh Uni Eropa dan ASEAN, tim ini bertugas untuk memantau proses pelaksanaan perjanjian damai ini, penghancuran senjata, menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelangraan terhadap notakesepakatan. Namun dalam tulisan ini, penulis hanya akan fokus kepada satu pasal yaitutentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.
Salah satu mandat pasal inilah yang kemudian menjadi pijakan bagi pemerintah untuk mengesahkan sebuah produk undang-undang yang komprehensif bagi Aceh, yaitu Undang-Undang Pemerintahan Aceh no 11 than 2006 yang disetujui oleh DPR-RI tanggal 11 juli 2006dan ditandatangai oleh Presiden pada tanggal 1 agustus 2006.Lalu pertanyaan yang muncul adalah, apa makna pembentuk partai politik lokal bagi perdamaian di Aceh secara khusus dan makna apa yang didapatkan oleh Indonesia secaraumum?
Pencapaian perdamaian, pembentukan PARTAI LOKAL yang telah diraih Aceh saat ini tidak terlepas dari kesepekatan-kesepakatan yang telah diambil oleh pemerintah RI & GAM dalam serangkaian dialog, yang kemudian dituangkan kedalam sebuah teks perjanjian resmi yangkemudian lebih dikenal dengan Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesiadan Gerakan Aceh Merdeka, Teks/perjanjian inilah yang menjadi pijakan bagi para pihak dalam melaksanakan kesepakatan tersebut.Dalam menganalisis makna dari teks yang terkandung dalam nota kesepahamantersebut kita perlu melihat nilai/kekuatan sebuah teks, bagaimana memaknainya dengan pendekatan teori heurmenetik yang menyebutkan bahwa, kita berpikir melalui bahasa; kita berbicara dan menulis dengan bahasa yang kita mengerti dan membuat interprestasi dengan bahasa, dengan mengunakan dasar ini pula maka kita mengetahui bagaimana sebuah teksatau bahasa yang digunakan sebagai kesepakatan. Heurmenetik pada ahirnya dapat diartikansebagai penafsiran atau interprestasi dan sebuah proses mengubah sesuatu atau situasiketidaktahuan menjadi mengerti. Heurmenetik dalam pandangan klasik menyebutkan bahwa;kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yangkita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu.Lalu apa yang dimaksud dengan penafsiran atau interprestasi, lebih lanjutE.Sumayono mengatakan bahwa kegiatan interpretatif adalah proses yang bersipat triadik (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan), orang yang melakukan interprestasi harus mengenal pesan atau kecondongan teks, lalu ia harus meresapi isi teks tersebut, oleh karenaitu, dapat kita pahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar . Lebih lanjut heurmenetika dapat didefinisikan secara longgar sebagai sebuah teori atau filsafat interpresntasi makna, kesadaran bahwaekspresi-ekspresi manusia berisi sebuah komponen penuh makna, teori ini juga memusatkandiri kepada teori umum interprestasi sebagai metodologi bagi ilmu –ilmu humaniora,termasuk juga didalamnya ilmu-ilmu manusia.Disamping teori heurmenik, penulis juga akan menggunakan teori mengenai partai politik secara umum, dan teori partai politik lokal, pengertian mengenai partai politik sangat banyak dan beragam yang disampaikan oleh banyak pakar ilmu politik.
Disebutkan bahwa partai politik adalah; kelompok manusia yang manusia yang teorganisir secara stabil dengantujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan adilkepada para angotanya, lebih lanjut dalam pengertian lain, partai politik adalah suatukelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat,sehingga dapat mengatasi atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah,juga disebutkan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggotanyamempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama, yaitu memperoleh kekuasaan dengancara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan mereka.Tentunya masih banyak defenisi dan pengertian yang beragam mengenai partai politik,yang kesemuanya secara umum menyampaikan bahwa partai politik adalah kelompok anggota yang terorganisir secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan motivasi ideologitertentu, dan berusaha mempertahankan dan mencari kekuasaan dalam pemerintahan.Lalu apakah yang dimaksud dengan partai politik lokal (PARTAI LOKAL), mengingat bahwakemunculan partai politik lokal di Indonesia masih relatif baru dikenal dalam sistem politik dan kepartaian, walaupun dalam sepanjang sejarah politik di Indonesia sudah pernah adaPartai lokal, teori-teori ataupun penelitian mengenai partai politik lokal masih sangat terbatas diIndonesia.
Untuk itulah Farhan Hamid mencoba mendefinisikan Partai lokal dengan; partai politik yang didirikan dan berbasis di daerah, serta bekerja untuk kepentingan daerah, sedangan jika kita merujuk kepada peraturan Pemerintah, Partai lokal adalah organisasi politik yangdibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarelaatas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota,masyarakat, bangsa dan Negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh(DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRK), Gubenur dan wakil gubenur,serta bupati, wakil bupati/Walikota dan wakil walikota.
Sebelum kita mengulas apa makna Partai lokal bagi perdamaian Aceh, penulis merasa perluuntuk menjelaskan bagaimana teks atau nota kesepahaman bisa muncul dan mampumenjembatani kebuntuan jalan perdamaian bagi Aceh yang telah dirintis semenjak tahun1976. Setidaknya pemerintah RI dan GAM telah melakukan 3 kali perundingan untuk mencari jalan damai. Pertama, pada tahun 2000 yang lebih dikenal dengan (Jeda kemanusiaandan penghentian permusuhan) yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid,dan jeda kemanusiaan ini gagal diwujudkan, Kedua, tahun 2002 perundingan (Jedakemanusiaan dan penghentian permusuhan) jilid 2 dilanjutkan oleh pemerintahan MegawatiSoekarno Putri, namun perundingan ini juga gagal, malah pemerintah mengeluarkan KEPRESno 23/2003 mengenai darurat militer di Aceh yang mulai berlaku pada tanggal 19 mei 2003,dan Ketiga, pada tahun 2005 kesepakatan damai bisa dicapai, hal ini ditandai dengan telahditandatanganinya nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM, pada masa pemerintahan SBY-JK yang sampai sekarang perdamaian masih bertahan. Namun seperti yang telah disampaikan diatas, bahwa jalan damai bagi Aceh sangat berliku dan panjang, menghabiskan triliyunan dana, menghilangkan banyak nyawa dan harta benda, karena jauh sebelum perjanjian ini disepakati upaya penyelesaian Aceh baik melaluiupaya perundingan damai maupun melalui kebijakan pemerintah, bahkan melalui pendekatanmiliter telah dilakukan.
Dampaknyamuncul kekerasan,dan pelanggaranHAM3. Munculnyagenerasi dendamyang mendukungGAMPresiden Habibie(1998-199)Kombinasi pendekatan, antaraoperasi keamanan dengankebijakan politik Sebagian operasikeamanan yangdilakukan tidak efektif mengurangiatau menghambat pertumbuhan GAM.Kebijakan politik -10 program Habibieuntuk Aceh tidak dapat dilaksanakankarena yang bersangkutan hanyakurang dari satu tahunmenjadi presiden. PresidenAbdurrahmanWahid JedaKemanusiaanPengehentian permusuhan(CoHA)Inpres IV/2001 untuk penanganan konflik AcehOtonomi khusus bagi Aceh1. Langkah dan janji Habibie tidak diteruskan oleh presidenAbdurrahmanWahid2. Jedakemanusiaan tidak efektif untuk menghentikankekerasan3. CoHAmengalamikegagalankarena cease fire yang menjadiacuan utamanyatidak diindahkanoleh kedua belah pihak Presiden Otonomi khusus bagi Aceh.
Megawati Seokarno Putri no 18/2001Inpres no VII/2002 tentang penanganan masalah konflik Aceh Melanjutkan Penghentian Permusuhan (CoHA)Darurat Militer di Aceh, kepresno 23/2003 berlaku mulai 19 Mei2004 otonomi khusus tidak dapat meredam tuntutan kemerdekaan dariGAM, karena prosesnya ditentukan oleh pemerintah pusattanpa melibatkan GAM. Inpres noVII/2001 tidak dapat berjalan maksimal, karena penanganankonflik melaluiCoHA untuk penghentian permusuhan tidak dijadikan sebagaidasar kebijakanutam. CoHA gagalkarena orientasi pemerintah pusatmemandang CoHA sebagai keuntungan bagiGAM untuk memperbesar kelompoknya. Operasi terpadumelalui daruratmiliter gagaldilakukan karenaoperasi terpadu pincang, lebih pada operasimiliter, kurangdisertai olehoperasikemanusiaan, peningkatankinerja pemerintahandan,kurang dalam penegakan hukumAtas dasar penjelasan diatas, maka kita bisa melihat bahwa pendekatan diplomasi dan perundingan jauh lebih ampuh daripada pendekatan militer dalam mencapai perdamaian diAceh, setidaknya sampai saat ini perdamaian masih terus berlangsung di Aceh, kemajuan-kemajuan ditingkat demokrasi juga terus berlangsung, hal itu bisa kita buktikan dengan telahterlaksananya pemilu langsung tahun 2006 dengan terpilihnya pasangan Gubenur dan Wakil Gubenur (Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar), menurunnya jumlah kekerasan dan aksi bersenjata, serta program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh bisa berjalan dengan lancar tanpaada ganguan keamanan, walaupun keberhasilan mengenai ini masih perlu kajian yang lebih mendalam.
Makna Kehadiran Partai Politik Lokal
Pencapaian terbesar dari lahirnya teks nota kesepahaman adalah terciptanyakedamaian dan demokrasi lokal di Aceh. Seperti yang diungkapkan Moch.Nurhasim;Lahirnya konsep pemerintahan sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) merupakan salah satu capaian terpenting bagi konsensus politik untuk mengahiri persengketaan antara GAM & RI, bahwa untuk menentukan pemerintahan sendiri tersebutdibutuhkan suatu proses politik yang sipatnya lokal dengan diberikannya kesempatan bagiGAM untuk mendirikan partai politik lokal dan terlibat dalam pemilu tingkat lokal. Jika kita kembali pada pertanyaan mendasar yang ingin dijawab dalam tulisan ini, apamakna partai politik bagi perdamaian Aceh seperti yang telah disampaikan dalam teks notakesepahaman tersebut diatas. Ada beberapa jawaban, diantaranya; Pertama, pembentukan partai politik bisa merubah perjuangan GAM dari gerakan bersenjata ke gerakan yang legalformal melalui jalur pemilu, PARTAI LOKAL bisa berkompetisi dengan partai nasional lain dalammerebut kekuasaan ditingat lokal, kedua, ruang yang luas dalam partisipasi politik terbuka bagi masyarakat Aceh pada umumnya dan anggota GAM khususnya, ketiga, keberadaanPartai lokal ini akan meninimalisir atau bahkan bisa menghilangkan tuntutan kemerdekan Acehdan mengakui keberadaan NKRI.
Pendapat diatas semakin diperkuat dengan pendapat J.Kristiadi yang disampaikandalam buku Farhan Hamid, menurut J.Kristiadi ada dua hal yang merupakan keniscayaan bagikemunculan PARTAI LOKAL; pertama, masyarakat Indonesia yang plural dan wilayah yang amatluas harus mempunyai instrumen politik yang mampu menampung seluruh aspirasimasyarakat daerah, kedua, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung,seharusnya masyarakat di daerah diberikan kesempatan membentuk partai lokal agar kepaladaerah benar-benar kandidiat yang mereka inginkan.
Harry Tjan silalahi jugamengatakan; keberadaan PARTAI LOKAL akan menandai sekaligus menegaskan, beriringan dengandesentralisasi pemerintahan, desentralisasi politik (khususnya partai politik lokal) pun perlu dilakukan. Kehadiran PARTAI LOKAL menjadi titian penting bagi proses transisi politik Aceh, beberapa kemajuan dalam tahapan perdamaian dan rekonstruksi memang memberikan nilaiyang mempu memperpendek jaring transisi, hal ini juga menjadi cermin bahwa proses berpolitik melalui jalur partai nasional tidak berjalan dengan sehat. Lebih jauh, keberadaan partai politik lokal juga dapat dikatakan memiliki kaitan yangerat dengan masalah HAM.
Di satu sisi keberadaan suatu partai politik lokal dapat dilihatsebagai salah satu bentuk perwujudan HAM, terutama hak kemerdekaan berserikat (freedomof association), dan di sisi yang lain, keberadaan partai politik lokal akan dapat berfungsisebagai pembawa aspirasi masyarakat daerah dalam memperjuangkan kepentingan merekadalam proses pembangunan. Atas praktik ketidakadilan atau pelanggaran HAM yang dialamioleh masyarakat di suatu daerah, maka keberadaan partai politik lokal juga dapat menjadisarana kritik atas praktik-praktik tersebut.
Pendapat-pendapat diatas semakin meneguhkan dan meyakinkan kita bahwakeberadaan partai politik lokal di Aceh merupakan salah satu jawaban akan perdamaian diAceh, tentu keberadaan PARTAI LOKAL ini bukan hanya sekedar memenuhi atau menepati apa yang telah disepakati dalam nota kesepahaman, namun PARTAI LOKAL diharapkan mampu menjembatai kepentingan masyarakat Aceh yang lebih luas, dengan PARTAI LOKAL pula kebuntuan-kebutuan politik yang dialami Aceh selama 32 tahun belakangan bisa mencair, yang kemudian momentum ini akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk terus mempertahankan perdamaian di Aceh dan membangun sistem demokrasi yag lebih baik.
Disini bisa kita lihat bagaimana kekuatan teks yang dipakai oleh manusia untuk menjembatani dan menyamakan pemahaman akan pentingnya menjaga perdamaian, danmelalui teks atau nota kesepahaman ini pula kita bisa belajar bahwa pendekatan penyelesaiankonflik tidak bisa dilakukan dengan kekuatan bersenjata, melalui teks ini pula kedua belah pihak membuat sebuah ikrar dalam pembukaan nota kesepahaman tersebut yang berbunyi: Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh merdeka (GAM)menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai,menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para Pihak sangat yakin bahwahanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akanmemungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 16 desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.
Kesepakatan ini adalah titik awal bagi perubahan mendasar di Aceh, kalau tidak dapatdikatakan sebagai jalan menuju Aceh baru yang lebih baik di masa mendatang, untuk mencapai itu maka proses transformasi akan dilakukan sebagaimana tercermin dalam isi notakesepahaman, melalui penyelenggaraan pemerintahan Aceh, partisipasi politik ( adanya partai politik lokal). Dan kehadiran PARTAI LOKAL akan menjadi mekanisme lain menuju terbangunnya proses politik yang demokratis, peneguhan hak-hak politik masyarakat lokalyang mandiri, partisipatif, dan aspiratif. Hal ini karena PARTAI LOKAL lebih dekat dengan konstituennya, disamping itu, tentu saja keberadaan PARTAI LOKAL bisa menjadi alat implementasi perdamaiaan, membuka jalan terhormat bagi kelompok-kelompok yang selama inimemanggul senjata untuk mengubah strategi perjuangannya dalam ikut membangunmasyarakat Aceh yang adil dan makmur .Dengan demikian, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, mampukah kedua belah fihak yang terikat dalam nota kesepahaman menjaga konsistensinya dalam menjaga pedamaian, dan mampukah orang yang diluar para pihak membuat insterprestasi yangmenyeluruh dan memahami secara benar makna teks yang telah ditandatangai tersebut. Jika kita lihat, setidaknya sampai saat ini pemahaman akan pesan yang disampaikan dalam teksnota kesepahan tersebut masih bisa dipahami dan diimplementasikan secara benar, walaupuntentu masih harus terus dikawal dan dievaluasi keberhasilannya.
Note: quoted from various sources
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar