Senin, 14 November 2011
Hukum Besi Oligarki (Robert Michels)
Disarikan oleh: Sahruddin
Dalam memahami hukum besi oligarki terlebih dahulu kita memahami dari segi bahasa. Secara sederhana pengertian oligarki berarti kekuasaan yang di pegang oleh segelintir orang atau golongan. Term oligarki ini pertama kali dipopulerkan oleh Robert Michels, dalam bukunya Political Parties (1915). Michels menemukan gejala oligarki elite pada kasus Partai Sosial Demokrat (SPD), Jerman. Oligarki adalah sebuah kontradiksi, apalagi bagi SPD yang dilihat dari sejarah kelahirannya maupun tipikal keparta-iannya masuk kategori partai berbasis kader (membership-based party). Kader seharusnya diberi ruang yang lebar untuk ikut menentukan hitam-putihnya partai, termasuk dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan partai. Tipikal partai semacam ini seharusnya menempatkan kader sebagai tulang punggung partai karena merekalah penggerak sekaligus penyumbang sumber daya finansial partai. Robert Michels mempelajari bagaimana sistem kepartaian yang ada di Jerman, dan mencoba merumuskan pemikirannya dengan sebutan “The Iron Law of Oligarchy” atau dalam bahasa Indonesia berarti Hukum Besi Oligarki. Salah satu fungsi partai yang pokok adalah sebagai tempat penampungan aspirasi masyarakat terhadap pemerintah, Partai timbul karena adanya sistem demokrasi yang menginginkan adanya kekuatan rakyat untuk dapat menentukan kebijaksanan negara secara langsung melalui pilihannya dalam partai politik. Rakyat adalah golongan mayoritas yang pada hakikatnya ingin diatur oleh pihak yang lain, atau dalam oligarki berarti rakyat menginginkan dipimpin oleh segelintir orang. Namun, yang perlu kita pahami adalah, apakah partai politik benar-benar menjalankan fungsinya sebagai wadah aspirasi rakyat?. Setiap partai membutuhkan bantuan financial untuk menjalankan dan terus “memberi makan” orang-orang yang ada didalamnya. Ini adalah faktor penting yang membuat Hukum Besi Oligarki itu hidup.
Layaknya manusia, organisasi-pun memiliki kebutuhan, yaitu kebutuhan taktis dan teknis. Untuk memenuhi kebutuhan itu maka partai politik mau tidak mau akan menjadikan dirinya sebagai partai pengikut Hukum Besi Oligarki. Secara langsung dikatakkan dalam buku Teori-Teori Mutakhir Partai Politik oleh Dr. Ichlasul Amal bahwa “Organisasilah yang melahirkan dominasi golongan terpilih atas pemilih, pemegang mandat atas pemberi mandat, utusan atas pengutus, barang siapa berbicara tentang organisasi, ia berbicara dengan oligarki”. Pertanyaannya adalah apakah Partai Politik masih tetap konsisten terhadap tujuan mulia sebagai wadah penyampai aspirasi rakyat? Ketika sebuat partai politik sudah terikat Hukum Besi Oligarki, maka ia bukanlah lagi patuh kepada konstituennya, melainkan patuh pada pemberi sokongan besar. Inilah pengaruh berbahaya bagi partai politik yang tidak memiliki kekuatan. Pada akhirnya partai politik hanya akan dijadikan alat kaum oligarkis partai untuk mempertahankan atau mewujudkan kepentingan mereka dan meninggalkan aspirasi rakyat dibelakangnya. Bukan murni dalam bentuk materiil kebaikan pengusaha oligarkis partai ini dibalas. Melainkan dari keputusan yang setiap kader partai terpilih dalam parlemen untuk mampu mempertahankan golongan penyokong partainya dan melupakan hakikatnya sebagai Partai Politik harapan rakyat, Partai Politik pembela rakyat, dan yang ada hanyalah partai politik yang menafikkan adanya system demokrasi, serta menjadi partai politik yang melayani pemegang kedaulatan partai, bukan menjadi pelayan rakyat.
Hukum Besi Oligarki dan Partisipasi Rakyat dalam Demokrasi
Keberadaaan oligarki dalam sebuat sistem politik memang sesuatu yang sulit untuk dihilangkan, sekalipun itu di Negara-negara demokratis. Oligarki akan tetap hidup sebagai sesuatu yang alamiah. Lebih jelasnya, sistem politik apapun, baik otoritarian, demokrasi, monarki dan berbagai turunannya selalu membutuhkan elit sebagai kelompok minoritas yang mengatur, mengorganisasi, dan menciptakan tatanan bagi kelompok massa yang lebih besar. Kelompok elit secara struktur duduk di lapisan paling atas dari masyarakat dan meskipun sedikit dalam jumlah, akan tetapi memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar. Struktur ini kemudian dapat digambarkan dalam bentuk yang piramidal, dimana lay people (rakyat jelata) duduk di lapisan paling bawah sementara elit pemerintah duduk di lapisan paling atas, yang meskipun secara mutlak kalah jumlah, namun menjadi kelompok eksklusif yang tidak terjangkau dengan sumber daya yang melimpah. Demokrasi representatif tidak terelakkan dari hukum tersebut. Meskipun warga negara memiliki hak untuk memilih siapa yang menjadi wakilnya di pemerintahan, sifat representatif itu sendiri menyebabkan warga negara sebagai golongan terbesar menjadi terasing dengan sistem politik yang berlaku. Hanya wakil-wakil yang dipilih oleh-nya lah yang mampu secara aktif mempengaruhi dan berpartisipasi dalam lingkaran pembuat kebijakan. Sementara konstituennya hanya mampu berharaps apakah kebijakan yang dihasilkan oleh sekelompok kecil elit tersebut mampu mewakili kepentingan mereka. Hal ini makin menjadi ketika wakil yang mereka pilih tidak dengan hati nurani melihat kepentingan rakyat sebagai kewajiban moral yang seharusnya mereka perjuangkan, dan memilih berbagai macam bentuk agenda dan ambisi politik pribadi sebagai tujuan untuk duduk dalam lingkaran elit. Partai politik, sebagai jalur konservatif bagi pengumpulan kepentingan dan suara rakyat menjadi jalur yang nihil, karena sudah pada asalnya partai politik bersifat elitis dan dipimpin oleh beberapa tokoh utama yang menjadi bintang panggung. Dan tidak bualan lagi ketika kita melihat secara faktual dibutuhkan modal yang tidak sedikit untuk masuk dalam lingkungan “bintang panggung” tersebut. Pada akhirnya, hanya mereka yang memiliki cukup modal, baik modal finansial maupun akses yang memadai mampu mengatur kemana arah dan tujuan nasional bangsa. Jalur partisipasi rakyat umum menjadi terhambat.
Kronisme dan nepotisme masih menjadi isu sentral politik era reformasi. Hal itu terlihat dari menguatnya kecenderungan para petinggi partai dalam menempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009. Fenomena politik keluarga ini tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di daerah (caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota).
Cengkeraman elite
Fenomena politik keluarga ini setidaknya disebabkan empat hal. Pertama, imbas dari sistem pemilu dan persaingan yang kian liberal. Karena itu, nama besar dan ketokohan sejumlah keluarga petinggi parpol diyakini dapat menjadi modal meraup suara.Kedua, potret kegagalan parpol dalam mengikat konstituennya. Karena itu, elite parpol cenderung mencari siasat untuk menarik konstituennya dengan menempatkan caleg yang layak jual. Cara instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga elite partai.
Ketiga, lemahnya sistem kaderisasi dan pola rekrutmen di internal parpol, terutama mekanisme dalam penentuan caleg. Keempat, terlalu besarnya daya cengkeram kekuasaan para elite parpol, terutama elite di tingkat pusat.
Dari keempat faktor itu, yang paling dominan menyuburbiakkan politik keluarga adalah faktor keempat, kuatnya daya cengkeram kekuasaan elite. Maraknya politik keluarga di tubuh parpol akan mengarah pada dinastitokrasi politik. Pada saat itu, suatu partai dikuasai dan dikelola sebuah keluarga besar. Parpol seolah menjadi kerajaan keluarga yang dikuasai dan dikelola turun-temurun. Kondisi ini akan membahayakan proses demokrasi yang dibangun karena akan memengaruhi kelembagaan politik internal partai. Parpol pun tidak akan kunjung terlembaga sebagai organisasi modern dan demokratis.
Oligarki politik tidak hanya akan menutup peluang kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga mendorong berkembangnya personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis partai. Pada tahap itulah akan bertambah subur oligarki elite dan dinastitokrasi politik di internal parpol. Realitas politik itu seolah menguatkan tesis Robert Michels tentang Hukum Besi Oligarki (The Iron Law of Oligarchy) bahwa di setiap organisasi partai politik, pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite.
Memutus rantai
Selain diperlukan perbaikan sistem kaderisasi dan meritokrasi internal partai, agenda demokratisasi untuk menyelamatkan parpol dari bencana oligarki politik adalah memutus mata rantai oligarki elite di tubuh partai. Ini terutama rantai proses kebijakan penentuan caleg, baik kekuasaan untuk menyusun daftar caleg (hulu proses rekrutmen) maupun kekuasaan dalam menentukan caleg terpilih (hilir proses rekrutmen).
Mekanisme penetapan caleg terpilih yang sebelumnya masih menggunakan nomor urut berkontribusi dalam menyuburkan praktik oligarki elite di tubuh parpol. Namun, hal itu terselamatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. Untuk jangka panjang, keputusan MK ini akan memutus mata rantai oligarki elite parpol meski tidak serta-merta memberantas semuanya. Kewenangan elite partai yang semula cukup besar dalam penentuan caleg terpilih otomatis akan berkurang.
Namun, cengkeraman kekuasaan elite partai masih cukup kuat dalam proses menyusun daftar caleg yang merupakan bagian hulu dari rantai kebijakan dalam proses rekrutmen caleg. Untuk memutus mata rantai oligarki yang kedua ini, penyusunan daftar caleg di parpol seharusnya dipilih lewat proses internal yang transparan, bukan lagi kewenangan penuh elite partai. Karena itu, ke depan, diperlukan sistem pemilu internal yang melibatkan kader dan konstituen partai untuk memilih bakal caleg atau pejabat publik dari suatu partai.
Pemilu 2009 kemungkinan besar menjadi kesempatan terakhir bagi sejumlah tokoh karismatik dan elite oligarki yang selama ini menjadi patron di sejumlah parpol. Sebelum takhta kekuasaan partai itu diserahkan kepada dinasti keluarganya, demokratisasi parpol merupakan agenda mendesak bagi masa depan kepartaian di Indonesia, setidaknya untuk menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi dan oligarki politik.
Note: quoted from various sources
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar