Peran Dan Fungsi Birokrasi
Buku : Mengenal Teori-Teori Politik
Pengantar
Dalam memahami birokrasi diperlukan pemahaman objek kajian ilmu pengetahuan sejak munculnya Revolusi Perancis pada abad ke 18 (1760).
Menurut Albrow istilah birokrasi diperkenalkan oleh filosof Perancis Baron de Grimm dari asal kata BUREAU yang berati MEJA TULIS dimana para pejabat bekerja dibelakangnya.
Menurut Budi Setiono, Birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan, mainstream pemikiran ini menyebutkan bahwa penguasa yang kuat harus dilayani oleh para pembantu (aparat) yang cerdas dan dapat dipercaya (loyal). Konsep pemikiran ini sangat diilhami oleh pemikiran politik Niccolo Machiavelli, yaitu apabila penguasa ingin kekuasaannya bersifat efektif, maka ia harus memiliki organ aparatur yang solid, kuat, profesional dan kokoh.
Prinsip-Prinsip Pemikiran
Max Weber
Teori birokrasi Max Weber, dipercaya oleh sebagian besar ahli politik dan pemerintahan sebagi teori utama birokrasi. Teori Max Weber tentang BIROKRASI RASIONAL dianut hampir sebagian pemerintahan baik yang demokratis maupun yang otoriter.
Birokrasi rasional adalah sebuah konsep birokrasi yang muncul atas dasar kaedah-kaedah otoritas hukum, bukan karena sebab lain, seperti otoritas tradisional maupun otoritas kharismatik. Ada tiga perbedaan pelaksanaan Birokrasi :
1. Otoritas Tradisional, yaitu otoritas yang bertumpu pada kepercayaan dan rasa hormat pada tradisi dan orang-orang yang mengemban pelaksanaan tradisi. Dalam tradisi ini, seseorang taat dan tunduk pada
orang lain karena mereka percaya bahwa tradisi memang mengharuskan mereka tunduk dan patuh tanpa perlu melakukan critical analysis terhadap ketaatan mereka. Hak istimewa seorang pemimpin secara otomatis dimiliki karena adanya legalitas formal para pengikutnya, contoh para pemimpin adat, pemimpin agama, maupun sekte.
2. Otoritas Kharismatik, adalah otoritas yang bertumpu pada keyakinan terhadap pengabdian, kepahlawanan, jasa dan kemampuan luar biasa dari seseorang. Dalam otoritas ini, seseorang taat dan tunduk pada orang lain karena ia percaya memiliki kelebihan-kelebihan khusus yang tidak dimiliki orang lain. Ketaatannya bersifat mutlak dan emosional dalam arti pemimpin selalu benar dan para pengikutnya rela berbuat apa saja untuk pemimpinnya.
3. Otoritas Legal, berdasarkan pada keyakinan akan tata hukum yang diciptakan secara rasional dan juga pada kewenangan seseorang melaksanakan tata hukum sesuai prosedur. Dalam otoritas ini seseorang taat pada orang lain karena hukum, oleh karena itu ketaatannya bersifat impersonal bukan ketaatan yang sesungguhnya, orang patuh dan taat karena pemimpinnya sesuai hukum.
Hartmann dan Talcolt Parson menambahkan tipe keempat yaitu :
Otoritas Fungsional atau Otoritas Profesional, tipe ini didasarkan atas keyakinan akan keahlian, pengetahuan dan kejujuran dari seseorang. Ketaatan dan kepatuhan seseorang kepada pemimpin karena keahliannya.
Otoritas legal Max Weber menjadi dasar adanya birokrasi rasional yakni birokrasi yang mendasarkan diri pada norma dan tertib hukum, dan agar tercipta adanya otoritas legal. Budi Setiono dalam bukunya Jaringan Birokrasi, memberi kritik terhadap pemikiran Max Weber :
1. Strukutr Berjenjang, tidak efisien, terlalu luas mata rantai yang dilalui dalam pengambilan keputusan, diorientasi pejabat dan ABS (asal bapak senang).
2. Adanya pemusatan atau perhatian yang spesifik pada spesialisasi tugas, menimbulkan ego unit, sehingga mengembangkan solidaritas kelompok.
3. Bentuk Birokrasi Mirip Militer, penuh doktrin, kaku, kinerja organisasi masuk dalam struktur komando instruksional atau top level leaders ke tingkat bawah.
4. Terlalu menekankan pada aspek legalitas (emphasizing legal aspect), aspek formalitas ini sering menghilangkan esensi birokrasi, para pejabat hanya sekedar mengerjakan tugas formal saja, sehingga sulit mencapai target kepuasan publik.
Kedudukan Birokrasi
Dalam Sistem Politik
Di negara barat tempat lahirnya birokrasi, aparat birokrasi atau lazim disebut aparat pemerintah, pada hakekatnya berada dalam posisi NETRAL, OBJEKTIF dan RASIONAL dalam pelaksanaan tugas. Birokrat mengabdi kepada kepentingan umum (public interest)
Di Negara berkemban, birokrasi merupakan organisasi penting dalam sistem politik, karena mampu menyalurkan kekuasaan pusat sampai ke daerah, bahkan birokrasi menjelma menjadi kekuatan politik non-formal, karena seringkali digunakan penguasa untuk kepentingannya, sehingga birokrasinya tidak netral, berpihak pada kepentingan penguasa, dan terkadang birokrasi tidak mencerminkan sebagai abdi negara dan masyarakat, tapi lebih seperti abdi penguasa. Birokrasi di negara berkembang bisanya peninggalan penjajahan.
Bahan Ajar Mata Kuliah
Sistem Politik Indonesia
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Nasional
Eksekutif
Buku : Mengenal Teori-Teori Politik
Pengantar
Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif, di negara demokratis badan eksekutif dipegang oleh Presiden atau Perdana Menteri bahkan ada juga yang dipegang Raja sebagai Kepala Negara, beserta menteri-menterinya, bahkan badan ini dalam arti luas termasuk Pegawai Negeri atau Birokrasi dan Militer, dan dalam sistem presidensiil hanya Presiden dan Menterinya.
Dalam sistem presidensiil, Menteri merupakan pembantu Presiden, sedangkan dalam sistem parlementer Menteri dipimpin oleh Perdana Menteri, sedangakan raja sebagi bagian dari badan eksekutif, namun kedudukannya tetap dan tidak dapat diganggu gugat (the King can do Wrong). Jumlah anggota badan eksekutif lebih sedikit dari jumlah anggota badan legislatif, yang disesuaikan dengan kebutuhan Presiden atau Perdana Menteri
Tugas Badan Eksekutif
Tugas badan eksekutif menurut tafsir tradisionil azas trias politica hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan eksekutif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Dalam negara-negara yang menganut sistem demokrasi memiliki kekuasaan untuk menjalankan undang-undang, oleh karenanya wewenang badan eksekutif menjadi lebih luas, dan bahkan badan eksekutif dapat mengajukan RUU kepada legislatif.
Selain sebagai eksekutor UU, badan eksekutif juga berperan sebagai legislator, karena dapat membentuk peraturan-peraturan pelaksana UU, dan badan eksekutif juga berperan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), menetapkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah (RAPBN/D) yang kemudian diajukan kepada DPR.
Wewenang Badan Eksekutif
Mencakup :
1. Wewenang Diplomatik
2. Wewenang Administratif
3. Wewenang Militer, menyelenggarakan pertahanan dan perang.
4. Wewenang Yudikatif, Grasi, Amnesti, dsb.
5. Legislatif, Merencanakan Undang-Undang.
Macam Badan Eksekutif
Dalam negara demokratis dibagi dua, menurut sistem Parlementer dan menurut sistem Presidensial.
1. Sistem Parlementer (Parlementary Executive). Pembentukan kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yang mendukungnya. Eksistensi kabinet bergantung kepada dukungan badan legislatif.
Dalam hal terjadi krisis kabinet, dimana kabinet tidak dapat lagi dukungan mayoritas badan legislatif, dan dalam keadaan terpaksa dibentuk suatu kabinet ekstra parlementer, yaitu suatu kabinet yang dibentuk tanpa formatur kabinet kekuatan politik dalam legislatif. Kabinet dibentuk berdasarkan keahlian atau profesionalisme tanpa menghiraukan apakah memiliki dukungan partai.
2. Sistem Presidensiil dengan Fixed Executive atau Non-Parlementary Executive. Dalam sistem ini kelangsungan hidup badan eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif, dan badan eksekutif mempunyai masa jabatan yang tertentu. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Penunjukan menteri sebagai anggota kabinet dilakukan berdasarkan kehendak Presiden, tanpa memperdulikan tuntutan partai politik, karena pengangkatan menteri berdasarkan keahlian/profesional.
Pembentukan badan eksekutif berserta kabinetnya sangat tergantung UUD Negara dan bentuk pemerintahan yang menjadi dasar pelaksanaan kewenangan badan eksekutif. Sistem Pemilu juga mempengaruhi pemberian mandat pembentukan dan pelaksanaan badan eksekutif, atau sistem pemberian mandat pemerintahan.
Kedudukan Militer Dalam Sistem Politik
Buku :
1. Mengenal Teori-Teori Politik
2. Pengantar Ilmu Politik
Pengantar
Kehadiran militer telah muncul sejak abad 27 sm didalam kekaisaran Mesir Kuno, dengan mengemban tugas pertahanan negara termasuk ekspansi teritorial. Kemudian fungsi militer bertambah kompleks dan memasuki ruang-ruang sipil. Diakhir abad ke 18, tidak ada satu negarapun yang memiliki power tanpa kehadiran militer disampingnya.
Perkembangan militer yang modern terjadi di negara-negara Eropa Kontinental dan Amerika Anglo-Saxon, dan ketika institusi militer berdiri kokoh dan memegang kekuasaan, maka sebagian rezim pemerintahan yang dikuasai militer mengeser kontrak sosial yang awalnya untuk melindungi rakyat bergeser kearah otoritas pemerintahan militer. Kasus-kasus seperti ini banya terjadi di negara-negara berkembang akibat penjajahan dan efek perang dunia kedua.
Ada kesimpulan pendapat para ahli yang menjelaskan alasan kenapa militer memasuki ruang-ruang sipil :
Pertama, Militer berbasis karateristik organisasi militer profesional barat dengan kuatnya garis komando sentralistik, hirarkhi, disiplin dan kohesif. Fungsi militer terkait dengan Management of Violence.
Kedua, aliran pemikiran yang lebih menekankan intervensi militer sebagai hasil kondisi masyarakat yang rendah dalam kaitan budaya politik dan partisipasi politik dalam kehidupan infrastruktur sistem politik.
Ketiga, menitikberatkan pada kepentingan internal militer. Sikap dan orientasi nilai-nilai politik militer dalam interaksi sistem politik yang menjelaskan peran dan fungsi militer dalam struktur dan fungsinya di dalam sistem politik, terutama nilai-nilai kepemimpinan untuk mengontrol partisipasi politik masyarakat dalam bidang politik atau depolitisasi. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh militer karena memiliki organisasi yang ramping dan solid.
Menurut Amos Palmutter, ada tiga jenis orientasi militer, yaitu :
1. Militer Profesional, di dalam militer profesional, militer hanya memainkan peran pertahanan dan keamanan dengan bermodalkan empat hal ;
Pertama, Keahlian melalui pendidikan kemiliteran dan melalui keterampilan yang diperoleh dari pengalaman atau lapangan. Kedua, Tanggungjawab mengabdikan diri kepada masyarakat dan Negara.
Ketiga, Karater koporasi atau semangat korps yang tinggi solid dan kohesif dan didukung oleh kemoderenan organisasi. Keempat, Ideologi atau semangat militer. Disetiap negara hal ini selalu berbeda, di Indonesia Ideologi militernya adalah PANCASILA, Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
2. Militer Pretorian, pada dasarnya proterianisme militer timbul bersamaan dengan sistem-sistem pengendalian politik subjektif. Kaum pretorian sebenarnya adalah prajurit profesional yang memekarkan perannya dan fungsinya dengan mengedepankan fungsi sosial dan fungsi politiknya, disampin peran pertahanan dan keamanan.
3. Militer Revolusioner, karateristiknya berbeda dengan dua katagori diatas yang sangat eksklusivitas mulai dari rekrutmen maupun kepangkatan militernya. Namun militer tipe revolusi ini adalah militer yang memainkan peran dan fungsi pertahanan dan keamanan serta peran sosial dan politik atas dasar kebutuhan revolusi, dan setelah revolusi selesai dikembalikan fungsinya sebagai militer profesional.
Campur Tangan Militer Dalam Politik
Didorong oleh masalah ketidakstabilan politik suatu negara, karena rezim sipil dianggap tidak mampu mengendalikan keadaan keamanan dan kekerasan fisik yang terjadi. Dan menyangkut kemampuan militer untuk mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat, dalam hal ini militer diminta oleh rezim sipil untuk terjun kedalam dunia politik karena ada ancaman dari luar sistem politiik. Rangkian yang berkaitan dengan persepsi politik kaum militer mengenai perannya dalam masyarakat, tentang kedudukan partisipasi politik militer.
Menurut Samuel Huntington, penyebab masuknya militer ke dalam politik terbagi atas delapan katagori :
1. Perebutan Kekuasaan, sebagai reaksi atas kekacauan politik.
2. Kaum militer yang dimotori perwira melakukan pembaharuan sosial.
3. Adanya pendekatan rasional, terhadap problema sosial dari kelompok militer telah membentuk perwira-perwira militer sebagai modernisator.
4. Adanya sikap tak peduli dan menentang terhadap kebutuhan pembangunan lembaga-lembaga politik, maka rezim sipil menganggap militer tidak mempunyai kepentingan politik.
5. Pada umunya bilamana terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh militer, maka hal itu dinyatakan sebagai untuk sementara waktu dan akan dikembalikan pada rezim sipil jika politik sudah stabil.
6. Jika terjadi pengambil kekuasaan politik dari militer ke tangan sipil tidaklah berarti persoalan telah selesai, sebab sewaktu-waktu dapat timbul kudeta militer baru dan sering terjadi di beberapa negara berkembang.
7. Kemungkinan akan terjadi kudeta militer dengan alasan serupa dan…
8. Bilamana militer tetap mempertahankan kekuasaannya, maka mereka perlu menciptakan lembaga-lembaga politik yang berwenang mengabsahkan dan melembagakan kekuasaan mereka.
Menurut Idria Samego, ada empat faktor yang menyebabkan militer berperan di bidang sosial politik, yaitu:
1. Adanya anggapan bahwa militer mengemban tugas sebagai penyelamat negara dan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara serta dorongan nasionalisme.
2. Ada semacam kepercayaan pada golongan militer bahwa mereka memiliki identitas di dalam masyarakat sebagai pelindung nasional.
3. Militer mengidentifikasi sebagai stabilisator, dimana peran militer bersifat sementara / temporer sampai pencapaian stabilitas.
4. Militer mengidentifikasikan diri sebagai pelindung kebebasan umum.
Lepas dari adanya pro dan kontra terhadap intervensi militer dalam politik, dalam kenyataannya intervensi militer memberi sumbangan bagi modernisasi
dibidang :
1. Moderenisasi Ideologi dan Nilai-Nilai
2. Modenisasi Teknologi dan Komunikasi
3. Administrasi
4. Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan
5. Kesejahteraan Sosial dan redistribusi pendapatan
Kondisi seperti ini, pernah terjadi di dalam rezim orde baru dengan trilogi pembangunannya sebagai modernisasi ideologi pembangunan yaitu; Nilai Pertumbuhan, Nilai Pembangunan dan Nilai pemerataan (trikcle down effect).
ANALISA SISTEM POLITIK
Sebuah Model Sistem Politik
David Easton
Buku Referensi :
Perbandingan Sistem Politik, 1988
Analisa sistem politik merupakan usaha memahami bagaimana keputusan-keputusan yang otoritatif atau yang sah.
Analisa sistem politik, meneliti fungsi dari lembaga-lembaga politik, seperti Partai Politik, Kelompok Kepentingan, Pemerintahan dan memahami proses-proses pemilu.
Teoritikus Sistem Politik yang terkenal adalah :
1. David Easton.
2. Gabriel Almound.
Kedua teoritikus, dalam model sistem politiknya mempertegas interaksi, kemampuan sistem politik dan daya tahan sistem politik dari pengaruh lingkungan luar maupun lingkungan dalam sistem politik.
Model Sistem Politik David Easton
Lingkungan Sistem Politik
Lingkungan sistem politik merupakan pengaruh yang datang kedalam sistem politik dan merupakan sumber energi bagi sistem politik. Pengaruh dari lingkungan merupakan input bagi sistem politik.
Secara umum lingkungan sistem politik dibagi kedalam dua kelompok besar :
1. Lingkungan Dalam Sistem
2. Lingkungan Luar Sistem
Lingkungan Dalam Sistem
1. Sistem ekologi, semua lingkungan fisik dan kondisi organik non humanis dari kehidupan manusia. Lingkungan fisik dalam ekologi, seperti; ciri geografi, tata ruang, lingkungan topografi, luas teritorial, iklim, kondisi-kondisi politik, sementara kondisi orgnanik non humanis lebih mengaju pada alam, SDA, Hutan (flora dan fauna) yang dapat digunakan sebagai anggota sistem politik.
2. Sistem Biologi, berpengaruh pada pembentukan prilaku politik tertentu, sistem biologi menjadi penting digunakan ketika sistem ini mampu memberikan petunjuk terhadap batas-batas perilaku individu yang membawa pengaruh bagi kehidupan politik. Misalnya ukuran ras pada kelompok-kelompok manusia tertentu yang dianggap unggul dari ras manusia lainnya.
3. Sistem Sosial, dikelompokkan menjadi beberapa sistem seperti; struktur sosial, sistem kebudayaan, sistem ekonomi, dan sistem demografi.
3.a. Struktur sosial, secara vertikal menyebabkan terjadinya pelapisan-pelapisan sosial. Berdasarkan struktur sosial yang ada menunjukkan struktur mana yang paling dominan dan berpengaruh dalam sistem politik. Struktur Sosial secara horizontal adanya pengelompokkan masyarakat atas suku, ras, bangsa dan agama, semakin heterogen suatu maka semakin kompleks pelapisannya, namun dapat membantu mengetahui kelompok mana yang paling dominan dalam sistem politik
3.b. Sistem Kebudayaan, berpengaruh terhadap pembuatan keputusan politik karena terkait dengan pemahaman Budaya Politik masyarakat, yang secara sederhana terkait dengan orientasi individu dalam masyarakat terhadap kehidupan politik, pemerintahan dan negara. Dengan kata lain budaya politik merupakan pandangan atau bagaimana individu memandang masalah-masalah politik, karena budaya politik terkait dengan nilai, sikap, informasi yang mampu membentuk orientasi individu masyarakat.
3.c. Sistem Ekonomi, mempunyai pengaruh kuat di dalam pembuatan keputusan politik. Sistem Ekologi dan kemajuan Teknologi berpengaruh kuat terhadap kemajuan ekonomi suatu masyarakat. Kebijakan pembangunan ekonomi berpengaruh terhadap kemampuan pengelolaan kekayaan SDA dan pemanfaatan Teknologi menjadi sumber tuntutan dalam sistem politik. Misal penggunaan modal asing guna mengelola SDA secara berlebihan akan mematikan industri dalam negeri, terlebih menggunakan teknologi pada modal teknologi cangih, maka akan terjadi PHK dan menimbulkan peristiwa politik, seperti; Demo Buruh.
3.d. Sistem Demografi, menunjukan pada keadaan penduduk baik jumlah, komposisi dan distribusi penduduk. Perubahan di dalam sistem demografi akan membawa dampak penting bagi sistem politik. Misal pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat atau distribusi penduduk yang tidak merata dapat menimbulkan gangguan sistem politik.
Lingkungan Luar Sistem
Sistem Politik Internasional, mempunyai kaitan dengan sistem politik suatu negara dan secara umum dibagi kedalam tiga kelompok besar ; Sistem Politik Internasional, Sistem Ekologi Internasional dan Sistem Sosial Internasional.
1. Sistem Politik Internasional, sistem politik individu atau negara-negara lain. Hubungan interaksional antara sistem politik Indonesia dengan negara lain, seperti Sistem Politik Amerika, Sistem Politik Malaysia, Sistem Politik China, Sistem Politik Rumania, dsb. Hubungan ini, menciptakan pola hubungan internasional dan masing-masing sistem politik memperjuangkan KEPENTINGAN NASIONAL-nya. Dengan demikian elit pembuat kebijakan harus mempertimbangkan pengaruh sistem politik lainnya, jika tidak akan mengalami kekeliruan dalam peran POLITIK LUAR NEGERI, dan berpengaruh terhadap sistem politik kita.
Selain sistem politik individu, dalam sistem politik internasional ada sistem pengelompokkan beberapa sistem politik atau organisasi-organisasi internasional, seperti; PBB, NATO, SEATO (sekutu Amerika di wilayah Asia Tenggara, untuk menghambat komunis) yang merupakan bentuk kerjasama beberapa sistem politik yang bertujuan memperkuat sistem pertahanan dan keamanan wilayah atau hubungan bilateral, regional dan multilateral.
2. Sistem Ekologi Internasional, mencakup semua lingkungan fisik dan kondisi non humanis masyarakat internasional. Perubahan yang terjadi dilingkungan ekologi internasional, berpengaruh terhadap sistem politik suatu Negara, semisal ; berkurang atau menurunnya sumber-sumber minyak di beberapa Negara sehingga terjadi krisis minyak dunia berpengaruh pada harga darar minyak di pasar minyak dunia.
3. Sistem Sosial Internasional, terbagi kedalam 3 besaran ruang lingkup, seperti; Sistem Sosial Internasional, Sistem Kebudayaan Internasional, Sistem Ekonomi Internasional dan Demografi Internasional.
3.a. Sistem Sosial Internasional, membantu memahami berbagai kekuatan ataupun kelompok-kelompok yang mempengaruhi sistem politik, misal tentang POLITIK HAM.
3.b. Sistem Kebudayaan Internasional, salah satu wujud dari pengaruh sistem budaya internasional terhadap sistem politik suatu negara adalah liberalisasi, yang mengajarkan paham kebudayaan dimana individu memiliki kebebasan, pemahaman ini berimplikasi kepada kebudayaan demokrasi. Pengakuan hak-hak politik individu warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
3.c. Sistem Ekonomi Internasional, merupakan bagian dari sistem internasional dan sangat signifikan mempengaruhi suatu sistem politik, seperti Globalisasi perdagangan, GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dimana pasal-pasalnya mengatur pola perdagangan dunia dan sampai saat ini keberadaan GATT hanya memberi keuntungan kepada Negara Industri Maju dan menjadi beban kebijakan untuk Negara berkembang.
3.d. Sistem Demografi Internasional, saat ini jumlah penduduk yang besar bukan lagi kekuatan potensial yang memiliki dampak politis bagi suatu sistem politik, bahkan jumlah penduduk yang besar hanyalah menjadi beban bagi suatu sistem politik dan mempengaruhi kebijakan ekonomi suatu negara, karena harus memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya, bagi negara berkembang berdampak pada besarnya utang luar negeri pada beban pembiayaan pembangunannya.
Input Sebagai Tuntutan
Input memberikan sifat dinamis pada sistem politik. Input memberikan energi dan bahan mentah berupa informasi, fakta dan data, kejadian-kejadian yang kemudian diproses oleh sistem politik.
Tuntutan-tuntutan tersebut diorganisir secara baik agar dapat diolah sistem politik, namun perlu memperhatikan beberapa hal pokok :
1. Sumber tuntutan dapat datang dari luar maupun dari dalam lingkungan sistem. Disekitar sistem politik, terdapat sistem-sistem lain seperti; ekologi, ekonomi, kebudayaan, sosial, dan demografi. Masing-masing sistem merupakan variabel tuntutan yang masuk kedalam sistem politik. Sementara selain variabel diatas, tuntutan yang penting lainnya berasal dari dalam sistem itu sendiri.
Contoh input sebagai tuntutan yang datang dari dalam sistem seperti; tuntutan untuk merubah proses pengangkatan pimpinan politik formal, amandement UUD, dsb., dan banyak pendapat ahli yang menyatakan tuntutan yang datang dari dalam sistem bukanlah input melainkan withinput, oleh karena itu tuntutan internal ini seringkali mempunyai akibat langsung ke dalam sistem politik.
2. Tuntutan berubah menjadi issue politik. Issue adalah suatu tuntutan yang oleh anggota-anggota komunitas ditanggapi dan dianggap sebagai hal yang penting untuk dibahas melalui saluran-saluran resmi di dalam sistem politik. Bila ingin memahami proses perubahan tuntutan menjadi issue, perlu mengetahui hubungan antara tuntutan dengan struktur kekuasaan melalui saluran komunikasi politik baik yang terbuka maupun yang tertutup, sehingga mempengaruhi cara kerja sistem politik.
Input Sebagai Dukungan
Input sebagai tuntutan (demand) tidaklah memadai untuk keberlangsungan kerja suatu sistem politik. Input sebagai tuntutan hanyalah bahan dasar yang dipakai untuk membuat produk akhir, yang disebut KEPUTUSAN.
Oleh karenanya, sistem politik juga butuh energi berupa DUKUNGAN (support).
Tanpa dukungan, tuntutan tidak akan dapat dipenuhi bahkan cenderung konflik, justru tuntutan yang datang harus mendapat dukungan dari anggota atau sub-sub sistem, karena jika tidak, maka tuntutan tersebut tidak akan ter-proses di dalam sistem.
Dengan demikian kita dapat melihat pola tingkah laku atau perilaku dukungan, seperti :
a. Tingkah laku mendukung untuk mencapai tujuan, kepentingan, dan tindakan-tindakan yang mendukung pencapaian tujuan.
b. Bisa berwujud dukungan politik dalam pemilihan pemimpin/pemilu, atau voting dalam pengambilan keputusan.
Dukungan merupakan wujud riil atau nyata bukan dalam bentuk batiniah, kecuali dalam bentuk ideologi atau aliran pemikiran politik tertentu, yang dapat mengerakan bentuk-bentuk propaganda. Contoh; Pemikiran Politik Mark.
Dukungan yang masuk kedalam sistem politik mengarah pada tiga bentuk konvigurasi sikap, pendapat dan kehendak, olehnya karena perlu adanya Komunikasi Politk yang menjembatani berbagai kepentingan di dalam sistem politik, kemudian Rezim memerlukan dukungan sebagai sumber energi untuk bekerjanya sistem, karena tanpa dukungan rezim sulit menghasilkan keputusan, dan perlu adanya Pemerintahan yang kuat untuk menjalankan keputusan dari sistem politik.
Peran pemerintah akan semakin kuat, apabila mampu mengelola dukungan melalui Politisasi dukungan para anggota-anggota sistem politik dan apabila dukungan melembaga maka pemerintah mendapat legitimasi dalam menjalankan output sistem.
Pendekatan StrukturalFungsional
Gabriel Almond
Pengantar
Berbeda dengan David Easton, Gabriel Almond menyebut teorinya PENDEKATAN STRUKTURAL-FUNGSIONAL, dengan definisinya adalah sistem politik merupakan sistem interaksi atau dengan tegas sistem disebut konsep EKOLOGIS.
Gabriel Almond mempertegas konsep ekologis sebagai bentuk organisasi yang berinteraksi dengan lingkungan dan saling mempengaruhi.
Dari keterangan diatas, ada beberapa hal yang perlu dicermati :
1. Sistem politik merupakan sistem interaksi dari hubungan timbal-balik diantara aktor-aktor politik, seperti; individu, kelompok kepentingan, lembaga dan organisasi.
2. Sistem politik juga melaksanakan fungsi integrasi bahwa tugas pokok sistem politik mengusahakan tercapainya kesatuan / integrasi.
3. Fungsi adaptasi dimana sistem politik menjalankan fungsi penyesuaian diri terhadap lingkungan dalam maupun luar sistem
Hipotesisnya atau kesimpulan sementara dari sistem politik adalah kemampuan sistem politik menyatukan masyarakatnya, sistem politik juga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam rangkam mempertahankan kemampuan sistem politik.
Seperti teori David Easton, pendekatan struktural-fungsional Gabriel Almond sangat memperhatikan lingkungan sistem politik yang saling mempengaruhi.
Pengaruh lingkungan yang dimaksud dalam teori Gabriel Almond adalah Fungsi Input yang bersifat tuntutan maupun dukungan, dan Fungsi Output yang berupa keputusan atau kebijakan dimana interaksi yang terjadi adalah hubungan timbal balik saling mempengaruhi, seperti tanda panah didalam gambar atau model sistem politik dibawah ini :
Gabriel Almond menjelaskan model sistem politiknya yang dikenal dengan bentuk buah apel, sebagai berikut, dibagian tengah ada tiga fungsi politik yang secara tidak langsung terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan, dimana ketiga fungsi politik ini sangat penting dalam menentukan berjalannya fungsi sistem politik. Ketiga fungsi tersebut adalah Kelompok Kepentingan, Partai Politik dan Badan Legislatif.
Ketiga fungsi tadi, mengembangkan dan memperkuat orientasi dan sikap politik masyarakat dan melatih masyarakat untuk mampu menjalankan peran-peran politik, seperti peran administrasi dan pelayanan bagi birokrasi, serta peran judisial bagi para penegak hukum.
Berhasil atau tidak peran tersebut sangat bergantung pada fungsi Sosialisai Politik, Fungsi Rekrutmen Politik dan Komunikasi Politik.
Pendekatan struktural-fungsional, berkaitan dengan pemahaman akan fungsi-fungsi di dalam sistem politik, bahkan jika kita mampu mempergunakan pendekatan strutural-fungsional dengan baik maka akan dengan mudah melakukan perbandingan sistem politik. Secara terbuka model sistem politik Gabriel Almond lebih teliti menelaah struktur, fungsi dan interaksi anggota sistem politik yang ada.
Perbandingan sistem politik akan efektif dilakukan apabila kita mampu memisahkan struktur dari fungsi dan menelaah lebih cermat lagi hubungan keduannya, namun perlu diingat bahwa integrasi keduanya sangat berperan penting dalam analisa sistem politik, karena saling melengkapi. Pendekatan Struktural-Fungsional mampu menjelaskan hubungan atau interaksi diantara lembaga atau organisasi seperti lembaga eksekuti, legislatif, yudikatif dan birokrasi menjalankan output dari sistem politik.
Keunggulan Dan Kelemahan
Model Sistem Politik
David Easton Dan Gabriel Almond
Faktor-Faktor Keunggulan:
1. Kedua model tersebut, berpengaruh besar dalam perkembangan studi ilmu politik sejak tahun 1950.
2. Kedua model mampu membuat analisa politik dengan peka diantara kompleksitas sistem politik di dalam sistem sosial yang lebih besar.
3. Kedua model sistem politik mampu menciptakan kesimbangan / ekuilibrium / stabil dan jika ada konflik, maka model sistem politik mampu mencek setiap komponen atau subsistem untuk menemukan sumber konfliknya.
4. Kesederhanaan kedua model tersebut, dapat dipakai untuk menganalisa berbagai sistem politik, baik yang demokratik maupun otoriter, baik yang tradisional maupun yang modern
Faktor-Faktor Kelemahan
1. Analisis Sistem David Easton dan Struktural Fungsional Gabriel Almond, tidak menghasilkan rumusan yang empirik atau mampu menjelaskan seluruh proses politik yang terjadi.
2. Kedua Model tersebut, cenderung tidak menghasilkan teori dari hubungan sebab-akibat, karena kedua model tersebut hanya menunjukkan sifat model analisis, yaitu hanya mampu menganalisa fenomena politik.
3. Terminologi dari definisi kedua model sistem tidak bisa dioprasinalisasikan, arti tidak memiliki variabel yang dapat diukur, misal fungsi input yang terdiri dari tuntutan dan dukungan dimana bentuk dan isinya berbeda-beda disetiap masyarakat.
4. Analisa Struktural-Fungsional Gabriel Almond, memilik permasalahan ketidakjelasan tentang konsep fungsi, Almond tidak menjelaskan secara tepat garis-gari yang membatasi peran fungsi, misal jika seorang pemimpin politik menyuarakan pendapat kelompoknya, secara bersamaan pemimpin tersebut menjalankan tiga fungsi yaitu : Komunikasi Politik, Artikulasi Kepentingan dan Agregasi Kepentingan, kelompoknya.
5. Pendekatan kedua model sistem, dikritik terlalu LIBERAL, dengan asumsi sistem politik negara barat lebih unggul dari sistem politik non-barat, dan dengan tegas menempatkan peran Negara pada posisi yang pasif, karena masyarakat didorong bersaing untuk mengejar kepentingannya, atau dalam posisi kelompok organik yang selalu terlibat dalam difrensiasi politik.
Kesimpulan
1. Mempelajari kedua model sistem politik mempunyai implikasi ideologis demokrasi libela barat.
2. Kedua model sistem politik, tidak memahami kejadian dis-ekuilibrium, seperti REVOLUSI di Negara dunia ketiga dimana perubahan radikal terkadang sering terjadi, dan kedua model tidak memasukan hal atau mengabaikan gagasan perubahan tersebut.
Kuliah Pertama
Pengantar Sistem Politik
Buku Referensi :
1. Mengenal Teori-Teori Politik, 2005
2. Scope and methods of political science, 1981
Mempelajari Sistem Politik berarti belajar tentang metodologi dan belajar tentang analisa fungsional.
Seperti beberapa pendekatan dalam ilmu sosial, teori sistem berlaku secara umum. Teori sistem merupakan kejadian alamiah/natural dari fenomena-fenomena sosial dari bagian kehidupan sosial masyarakat.
Penggunaan teori sistem dalam Ilmu politik, diawali oleh perkembangan asumsi-asumsi dari fenomena politik yang dapat dianalisa secara baik, sehingga menggambarkan cara kerja sistem secara keseluruhan.
Secara umum, model dari suatu sistem bukan fenomena yang unik dalam ilmu sosial. Dalam filosofi politik Plato dan Aristotles yang digambarkan dalam Negara Kota (POLIS), bahwa sistem politik membuat INTERRELATED ELEMENTS.
Dan 300 tahun yang lalu, Thomas Hobbes, menjelaskan dengan pendekatan sistem saya dapat mengerti kerja beberapa elemen dalam kehidupan masyarakat, terutama kegiatan ekonomi/bisnis.
Para teoritis sistem, sependapat bahwa dalam setiap sistem harus ada beberapa komponen. Satu dari semua komponen penting dari teori sistem adalah kemampuan memberikan identifikasi-identifikasi yang jelas dari suatu masyarakat.
Dicontohkan oleh Thomas Hobbes, bahwa Planet dan Matahari, merupakan elemen penting dari sistem tata surya.
Dalam sistem politik diantara elemen pentingnya adalah : para individual, kelompok-kelompok masyarakat, negara atau bangsa, merupakan bagian yang dipercaya harus ada dalam setiap sistem politik.
Selanjutnya cara kerja sistem ditentukan oleh hubungan-hubungan diantara elemen sistem. Sebab teori sistem merupakan metodologi yang jelas diantara hubungan-hubungan elemen sistem.
Definisi-Definisi Sistem
Prajudi, sistem adalah suatu jaringan dari prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk mengerakan suatu fungsi dari sistem.
Inu Kencana Syafiie, sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian yang kait-mengkait satu sama lain.
Konsep Sistem Politik
(Meriam Budiardjo)
Konsep sistem, oleh sarjana ilmu politik dipinjam dari Ilmu biologi. Dianggap sistem politik, seperti halnya organisme dalam biologi, terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling bergantung kepada yang lain dan saling mengadakan interaksi.
Ada dua ciri yang perlu diperhatikan :
1. Setiap perubahan dalam suatu bagian sistem, akan mempengaruhi sistem lain.
2. Sistem itu bekerja dalam suatu lingkungan (environment) yang lebih luas dan bahwa ada perbatasan antara sistem mengadakan interaksi dengan lingkungan dan dipengaruhi oleh lingkungan.
Pada dasarnya, konsep sistem politik dipakai untuk keperluan analisa. Penggunaan konsep sistem politik secara kongkrit, dapat diterapkan dalam suatu bentuk utuh, seperti ; Negara, Hubungan Internasional, dsb.
Dalam kontek sistem sebagai bentuk Negara, diterapkan sebagai bentuk kongkrit yang mencoba mendasarkan studi tentang gejala-gejala politik dalam konteks tingkah laku politik. Menurut pemikiran ini, masyarakat yang membentuk Negara, merupakan bagian dari sistem sosial yang memiliki berbagai macam proses kehidupan masyarakat, salah satu produk dari proses tersebut adalah terjadinya gejala-gejala politik, yang kemudian disebut SISTEM POLITIK.
Pada umumnya, hubungan-hubungan elemen dalam sistem politik ditentukan oleh 4 Variabel :
1. Kekuasaan; Cara untuk mencapai hal yang diinginkan, dan/atau membagi sumber-sumber kekuasaan.
2. Kepentingan; Tujuan-tujuan yang dikejar oleh pelaku-pelaku atau kelompok politik.
3. Kebijakan; hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk perundang-undangan.
4. Budaya Politik; orientasi subjektif dari kelompok atau individu dalam sistem politik.
Definisi-Definisi Sistem Politik
Samuel P. Huntington; sistem politik dapat didifinisikan berdasarkan komponen :
1. Kultur; yaitu nilai, sikap, orientasi, mitos dan kepercayaan yang relevan terhadap politik yang berpengaruh dalam masyarakat
2. Struktur; yaitu organisasi formal melalui mana masyarakat menjalankan keputusan-keputusan yang berwenang seperti; Partai Politik, Legislatif, Eksekutif, Yudikatif dan Birokrasi.
3. Kelompok; bentuk sosial dan ekonomi baik yang formal maupun informal yang berpartisipasi dalam politik yang mengajukan tuntutan terhadap struktur politik
4. Kepemimpinan; yaitu individu dalam lembaga-lembaga politik yang menjalankan pengaruh lebih daripada yang lainnya dalam memberikan alokasi nilai.
5. Kebijakan; pola-pola kegiatan pemerintahan yang secara sadar terciptakan untuk mempengaruhi distribusi keuntungandalam masyarakat.
Robert Dahl; Sistem politik ialah pola yang tetap dari hubungan manusia yang melibatkan makna yang luas dari kekuasaan, aturan-aturan dan kewenangan.
David Easton; Sistem politik terdiri dari alokasi nilai-nilai bersifat paksaan dan mengikat masyarakat secara keseluruhan.
Gabriel Almond; Sistem politik merupakan interaksi dalam komunitas masyarakat merdeka, yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. Fungsi integrasi yang dijalankan sistem politik untuk pencapaian kesatuan dalam masyarakat. Fungsi adaptasi merupakan fungsi penyesuaian terghadap lingkungan.
Sumantri; Sistem politik merupakan pelembagaan hubungan antara manusia yang dilembagakan dalam bermacam-macam badan politik, baik suprastruktur politik adalah lembaga-lembaga negara yang bersangkutan yang pada umumnya berupa badan Legislatif, Eksekutuf dan Yudikatif. Infrastruktur politik suatu Negara yang pada umumnya terdiri dari lima komponen yaitu ; Partai Politik, Kelompok Kepentingan, Kelompok Penekan, Komunikasi Politik dan Tokoh Politik.
Manfaat Teori Sistem Bagi Ilmu Politik
1. Teori sistem mempermudah Ilmu Politik untuk mengidentifikasi fenomena-fenomena politik di masyarakat.
2. Teori sistem mempermudah Ilmu Politik dalam menganalisa struktur dan fungsi politik.
3. Teori sistem mepermudah Ilmu Politik melihat terjadinya proses-proses politik.
4. Teori sistem mempermudah Ilmu Politik untuk menganalisa fungsi output sebagai umpan balik sistem politik.
5. Teori sistem mempermudah Ilmu Politik merumuskan tujuan-tujuan yang dicapai masyarakat, mengakomodasi kepentingan-kepentingan, dsb.
6. Teori sistem mempermudah Ilmu Politik mempertegas hubungan dan interaksi sub-sub sistem.
Ciri-Ciri Umum Sistem Politik
(Gabriel Almound)
1. Mempunyai Kebudayaan Politik.
2. Mempunyai Fungsi dan Struktur yang sama.
3. Semua Sistem Politik dapat diperbandingkan.
4. Sistem Politik mengidentifikasi perilaku politik
masyarakat atau Negara.
5. Setiap sistem politik memiliki dua variabel besar,
yaitu : Variabel Fungsi Input dan Variabel Fungsi Output
Ciri-Ciri Umum Sistem Politik
(David Easton)
Secara umum, David Easton menjelaskan ada ciri sistem politik, yaitu :
1. Ciri Identifikasi, untuk membedakan suatu sistem politik dari sistem-sistem sosial lainnya, termasuk menidentifikasi dari unit-unit diluar sistem politik.
2. Ciri Input dan Output dalam setiap sistem politik yang ada dilingkungan masyarakat. Ciri ini berkaitan dengan otoritas atas keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh sistem politik.
Pendekatan-Pendekatan Dalam
Mempelajari Sistem
1. Pendekatan Sosiologis, bahwa mempelajari sistem politik suatu negara diperlukan sistem sosial atau sistem kemasyarakatan yang ada pada negara itu. Perbedaan-perbedaan sistem sosial akan mempengaruhi sistem politik di negara tersebut.
2. Pendekatan Budaya, didalam pendekatan ini dari pendidikan dan budaya masyarakatnya. Suatu masyarakat yang anggota-anggotanya telah terdidik dan mempunyai budaya yang tinggi akan berpengaruh terhadap sistem politik dari negara tersebut untuk menjadi lebih modern.
3. Pendekatan Psyco-social, dalam pendekatan ini dilihat dari sikap-sikap masyarakat akan berpengaruh terhadap sikap-sikap politik terbuka ataupun tertutup dari suatu perubahan yang datang, maka akan mempengaruhi terhadap sistem politik menjadi terbuka atau tertutup.
4. Pendekatan Filsafat, mengarahkan nilai-nilai seperti norma adat/istiadat, agama dan pola pikir masyarakat yang berpengaruh kepada proses politik disuatu negara atau masyarakat.
5. Pendekatan Ideologi, di dalam pendekatan ini suatu sistem politik dilihat dan dipelajari dari ideologi bangsa dan negara yang berlaku di dalam negara itu. Ideologi sebagai ajaran yang dihasilkan oleh pemikiran manusia tentang konsep-konsep politik tidak bisas lepas dari doktrin politik yang telah diterima oleh masyarakatnya.
6. Pendekatan Konstitusi Negara, pendekatan ini melihat UUD yang berlaku di negara tersebut, sehingga sistem politik tidak dapat lepas dari peran UUD dalam Negara itu.
Kemampuan Sistem Politik
Gabriel Alomnd
Buku :
Perbandingan Sistem Politik, 1988
Pengantar
Sebelum kita mempelajari Kemampuan atau Kapabilitas, perlu diketahui dasar pemikiran analisa struktural fungsional Gabriel Almond.
1. Setiap sistem politik memiliki struktur ata lembaga poltik, artinya masyarakat yang primitifpun memiliki struktur atau lembaga politik, seperti struktur hukum adat.
2. Semua sistem politik, yang moderen maupun yang primitif menjalankan fungsi-fungsi politik yang sama walaupun strukturnya berbeda.
3. Semua struktur politik baik yang modern maupun yang primitif tetap menjalankan fungsi-fungsi politiknya.
4. Terkadang struktur dan fungsi yang bersifat moderen maupun yang primitif, seringkali tercampur dalam suatu kebudayaan masyarakat.
Struktur Dan Fungsi
Di dalam suatu sistem politik, paling tidak terdapat enam struktur atau lembaga politik, terdiri dari :
1. Kelompok Kepentingan
2. Partai Politik
3. Badan Legislatif
4. Badan Eksekutif
5. Badan Yudikatif
6. Birokrasi
Dari struktur dan fungsi yang terdapat di dalam sistem politik, akan menunjukkan KEMAMPUAN SISTEM POLITIK dalam mengatasi pengaruh lingkungan domestik maupun internasional. Dengan mengetahui kemampuan sistem politik suatu Negara, maka kita akan memiliki informasi tentang stabilitas sistem politik di Negara tersebut. Disamping kita akan mengetahui, terjadinya perubahan-perubahan di dalam suatu masyarakat.
Ukuran dari suatu perubahan ditunjukan dengan adanya indikator naik turunnya kemampuan sistem politik. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan sistem politik, sebenarnya hanya dengan memperhatikan input atau pengaruh yang masuk kedalam sistem politik, baik yang berasal dari lingkungan domestik maupun internasional.
Gabriel Almond
Ada enam jenis kemampuan yang perlu dimiliki oleh setiap sistem politik, yaitu :
1. Kapabilitas Ekstraktif, kemampuan sistem politik mengelola sumber-sumber material dan manusiawi dari lingkungan domestik maupun internasional, misalnya SDA, Devisa Negara, Demografi, PMA, Perdagangan Internasional, Peran Negara disekitar lingkungannya.
2. Kapabilitas Regulatif (Pengaturan), kemampuan mengendalikan perilaku individu maupun kelompok individu di dalam sistem politik, dan alat pengendalinya berupa aturan-aturan atau hukum yang diterapkan, termasuk penetrasi kedalam sistem politik Negara Lain.
3. Kapabilitas Distributif, adalah kemampuan sistem politik mengalokasikan sumber-sumber material dan jasa-jasa, serta kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Ukurannya adalah kesejahteraan kehidupan masyarakat, termasuk dana hibah, pinjaman, bantuan teknologi.
4. Kapasitas Simbolis, meliputi nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, peringatan Hari Kemerdekaan dan hari-hari besar lainnya dan yang paling penting meningkatkan kepercayaan lindkungan sistem politik terhadap simbol-simbol politik yang terdapat dalam sistem politik
5. Kapabilitas Responsif, adalah kemampuan sistem politik untuk menanggapi tuntutan-tuntutan, tekanan-tekanan, dan dukungan-dukungan yang datang dari lingkungan dalam maupun lingkungan luar sistem politik, ukurannya adalah tingkat kepekaan sistem politik terhadap arus tuntutan, tekanan dan dukungan, karena jika sistem politik lambat merespon hal tersebut, maka kapabilitas sistem politik rendah dan sebaliknya bila responsif, maka kapabilitasnya tinggi, termasuk kebijakan Politik Luar Negeri.
6. Kapabilitas domestik dan internasional, ukurannya adalah adaptasi terhadap kemampuan ekstraktif internasional, regulatif internasional, kemampuan distributif internasional, simbolik internasional, dan kemampuan responsif internasional daripada sistem politik bersangkutan dengan perilaku adaptasi sistem politik.
Kelompok Kepentingan
Buku :
Perbandingan Sistem Politik, 1988
Mengenal Teori-Teori Politik, 2005
Pengantar
Setiap sistem politik demokrasi, sangat memperhatikan aspek-aspek keinginan rakyat, maka keberadaan kelompok masyarakat sangat menentukan eksistensi kepentingan masyarakat yang bersifat natural. Definisi kepentingan adalah minat atau aspurasi individu secara sadar tentang sesuatu hal, dan didasari oleh berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya.
Secara riil kepentingan itu sangat bervariasi dan jumlahnya sangat banyak, misal kepentingan menyelamatkan lingkungan hidup, kepentingan penciptaan sistem peradilan yang sehat, kepentingan perlindungan anak, dsb.
Kelompok kepentingan mengumpulkan dan mengubah kepentingan-kepentingan yang tercerai-berai dimasyarakat menjadi satu kesatuan untuk kemudian diperjuangkan untuk diubah menjadi kebijakan yang perlu diperjuangkan.
Peran aktifis kelompok kepenting selalu berhadapan secara langsung maupun tidak langsung dengan pemerintah, karena secara substansi gerakan mereka ditujukan bagi perubahan kondisi yang tertuang dalam kebijakan yang dibuat pemerintah sebagai pemegang otoritas publik. Kelompok-kelompok kepenting hanya tumbuh dan berkembang di dalam sebuah Negara Demokratis.
Konsep-Konsep Kelompo Kepentingan
David B. Truman, Interest group is a shared-attitud group that makes certain claims upon other groups in society, by acting through the institutions of government.
(Kelompok kepentingan adalah sebuah kelompok pembagi-sikap yang membuat klaim-klaim tertentu atas kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan tindakan-tindakan tertentu terhadap instansi-instansi pemerintah).
Ramlan Surbekti, Kelompok kepentingan adalah sejumlah orang yang memiliki kesamaan sifat, sikap, kepercayaan dan tujuan yang bersepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan berusaha mencapai tujuan.
Gabriel Almond, Kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah tanpa pada waktu yang sama, berkehendak memperoleh jabatan publik.
J. Denis Derbyshire, An interest group is, therefore, an organization set up to represent, promote, and defend a particular interest or set of interest. (sebuah kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang didirikan untuk mewakili, mempromosikan dan mempertahankan sebuah kepentingan tertentu atau sekumpulan kepentingan)
Kay Lawson, An interest group is an organization whose main purpose is ta affect the operation og government by persuading key persons in government to act in accordance with the group’s interest. (Kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang tujuan utamanya untuk mempengaruhi kegiatan pemerintah, dengan menyakinkan orang-orang yang memiliki posisi dalam pemerintahan agar bertindak sesuai kepentingan-kepentingan kelompok)
Fungsi Utama Kelompok Kepentingan
Menurut model sistem politik Gabriel Almond, yang menekankan pada aspek struktur dan fungsi, kelompok kepentingan sebagai salah satu dari struktur sistem, memiliki fungsi melakukan artikulasi kepentingan, yaitu kegiatan penggabungan berbagai kepentingan dan tuntutan dalam masyarakat, yang akan diubah menjadi alternatif-alternatif kebijakan. Kemudian artikulasi tersebut disampaikan kepada partai politik agar diperjuangkan ke tingkat suprastruktur/sistem politik untuk menjadi suatu kebijakan.
Strategi Kelompok Kepentingan
Menurut Gabriel Almond, ada empat strategi yang umumnya dipakai oleh kelompok kepentingan :
1. Demonstrasi dan Tindakan Kekerasan, merupakan cara yang biasa dilakukan oleh kelompok kepentingan anomik, namun bukan monopoli kelompok ini, dan tidak selalu legal dalam sistem politik.
2. Hubungan Pribadi, strategi ini biasanya berperan mempengaruhi pembuat kebijakan publik, yang dilakukan melalui hubungan informal, seperti hubungan keluarga, sekolah, kedaerahan, dsb. (non-asosional)
3. Perwakilan langsung, kelompok-kelompok kepentingan bisa memiliki wakil-wakilnya di dalam struktur formal untuk terlibat dalam proses politik, seperti parlemen dan eksekutif, hal ini dilakukan karena kelompok kepentingan memiliki akses yang cukup untuk terlibat langsung dalam proses politik, untuk mempermudah pencapaian tujuan.
4. Saluran Formal dan Institusional, saluran yang tidak kalah penting adalah media massa, partai politik, kabinet, birokrasi dan legislatif. Lembaga-lembaga ini menjadi perantara untuk pencapaian tujuan agar dapat mempengaruhi kebijakan. Contoh ; Media massa sangat efektif membentuk opini publik atau mengarahkan kepada satu tujuan kepentingan tertentu.
Legislatif
Buku : Mengenal Teori-Teori Politik
Pengantar
Dalam pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk tetap berlanjutnya demokrasi langsung (direct Democracy), pada kenyataannya sulit untuk dapat dipertahankan lagi. Faktor-faktor seperti luasnya wilayah satu negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya penanganan terhadap masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi adalah merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung seperti era globalisasi sekarang.
Sebagai ganti dari gagasan dan pandangan Rousseau ini lahirlah Demokrasi Tidak Langsung (Indirect Democracy) yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan nama PARLEMEN. Lembaga perwakilan atau parlemen ini tidak sama baik sebutannya maupun jenisnya, misalnya di Indonesia disebutnya Dewan Perwakilan Rakyat, yang dasarnya perwakilan.
Definisi-Definisi Perwakilan
Alfred de Grazia, Perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili.
Arend Lipjhart, unsur dari suatu negara demokrasi adalah adanya badan perwakilan rakyat, karena rakyat tidak dapat memerintah atau mengartikulasikan kepentingannya secara sendiri-sendiri, karenanya harus diwakili, sesuai dengan hal tersebut lembaga perwakilan banyak dibentuk dinegara-negara demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Hanna Penichel Pitkin, perwakilan politik dimaksudkan sebagai proses mewakili di mana wakil bertindak dalam rangka berekasi kepeda kepentingan terwakili.
International Commision of Jurist, merumuskan sistem politik yang demokratis sebagai suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat kebijakan atau keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih dalam Pemilu, dan lembaga ini merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat.
Tipe Perwakilan Politik
Tipe perwakilan politik berkaitan dengan peranan partai politik dan dibedakan menjadi empat :
1. Pandangan yang mengatakan wakil rakyat melaksanakan fungsinya sesuai dengan program partai.
2. Partai merupakan penghubung antara kepentingan lokal dan kepentingan nasional sehingga memilih partai tertentu berarti mendukung program nasional yang diperjuangkan oleh partai politik, artinya dengan menjalankan program partai, wakil rakyat melaksanakan kepentingan nasional. Misal peran Golkar dalam Rezim Orde Baru.
3. Apa yang diperjuangkan oleh suatu partai politik tidak selalu menyakut kepentinan nasional, oleh karena itu, wakil rakyat sebagian terkait pada program partai sebagian lagi terkait dengan kepentingan nasional.
4. Pandangan yang membedakan perwakilan rakyat dari segi kepentingan siapa yang diperjuangkan oleh wakil rakyat atau yang didahulukan oleh wakil rakyat, yakni kepentingan daerah (distrik) atau kepentingan nasional.
Sifat Lembaga Perwakilan
Jika seseorang duduk dalam lembaga perwakilan melalui pemilahan umum maka sifat perwakilannya disebut perwakilan politik (Political Representation), adapun tugas dan fungsinya dalam masyarakat kalau yang bersangkutan menjadi anggota lembaga perwakilan melalui pemilu maka yang bersangkutan disebut sebagai perwakilan politik.
Pada umumnya perwakilan politik ini mempunyai kelemahan, karena yang terpilih biasanya adalah orang yang populer karena reputasi politiknya, akan tetapi belum tentu mempunyai kemampuan serta menguasai masalah-masalah teknis pemerintahan dan perekonomian.
Sistem perwakilan pada dasarnya harus mencerminkan keterwakilan : Penduduk, Ruang/Daerah, Deskriptif yang dalam pemilu tidak terwakili.
Macam-Macam Lembaga Perwakilan
Dalam lembaga perwakilan hanya terdapat dua macam lembaga perwakilan baik negara federal maupun negara kesatuan yaitu sistem Unikameral dan Bikameral.
Dalam prakteknya, pilihan apakah suatu parlemen bersitem unikamera atau bikameral. Negara-negara federal hampir tanpa pengecualian memilih sistem bikameral dengan alasan struktur konstitusional atau UUD mereka, dan negara kesatuan lebih bebas memilih sistem yang mereka sukai.
Alasan dari begitu banyak yang memilih sistem unikameral beberapa kecenderungan yang penting melihat dari ukuran besar kecilnya wilayah suatu negara, kemungkinan besar mempunyai satu kamar daripada dua kamar, dan pertimbangannya adalah masalah keseimbangan kekuasaan politik. Sedangakan alasan penerapan sistem bikameral sangat dipengaruhi kepentingan untuk melindungi wilayah, etnis, kelompok minoritas dan berbagai kepentingan lainnya yang berhubungan langsung dengan masyarakat
Sistem Unikameral, tidak mengenal sistem dua badan yang terpisah seperti adanya DPR dan Senat, atau Majelis Tinggi atau Majelis Rendah. Dalam perkembangannya sistem unikameral inilah yang sesungguhnya lebih populer karena sebagian besar negara di dunia menggunakan sistem ini. Negara yang menganut sistem ini biasanya wilayahnya kecil, dengan alasan untuk keseimbangan kekuatan politik dan lebih mudah menyelesaikan konflik politik.
Sistem Bikameral, dalam sistem federal bikameral, susunan legislatif secara jelas mempunyai susunan, struktur dua tingkat, yaitu :
1. Kesatuan sebagai negara yang lengkap.
2. Terdapat dua kamar yang terpisah, pertama yang berasal dari rakyat secara keseluruhan dan kamar kedua yang dibuat dari anggota perwakilan dari tiap negara bagian.
Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan
Lembaga perwakilan atau parlemen umumnya mempunyai lima fungsi :
1. Fungsi perundang-undangan (legislasi), yang dimaksudkan membuat Undang-Undang dan ratifikasi perjanjian dengan luar negeri, untuk legislasi daerah membuat Perda.
2. Fungsi pengawasan (over sight) adalah fungsi yang dijalankan parlement untuk mengawasi eksekutif dalam pelaksanaan :
Undang-Undang, APBN dan Kebijakan Pemerintah. Untuk melaksanakan fungsi ini, parlemen memiliki beberapa hak :
2.1. Hak bertanya, anggota legislatif berhak mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai sesuatu hal.
2.2. Hak Interpelasi, hak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan di suatu bidang.
2.3. Hak angket, hak anggota legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri, dan untuk keperluan ini dapat dibentuk panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada Badan Legislatif yang selanjutnya merumuskan pendapatnya mengenai soal yang diselidiki dengan harapan menjadi perhatian pemerintah.
2.4. Hak mengajukan memorandum, fungsi badan ini memberi persetujuan hubungan diplomasi, selain itu bentuk komunikasi yang berisi saran, arahan dan penjelasan kepada badan eksekutif.
2.5. Hak Mosi, umumnya diangap bahwa hak mosi merupakan hak kontrol yang paling ampuh, biasanya pernyataan mosi tidak percaya parlemen/DPR terhadap pemerintah atau anggota kabinet/Menteri yang bersangkutan akan mengakibatkan mundurnya pemerintahan.
2.6. Hak mengajukan Rancangan Undang-Undang(RUU)/Hak Inisiatif, hak ini untuk pembentukan Undang-undang. Biasanya RUU datangnya dari Badan Eksekutif.
2.7. Hak mengadakan perubahan Undang-Undang atau Hak Amandemen, termasuk UUD
2.8. Hak Suepoena, hak mengajukan jabatan publik, seperti Hakim Agung, BPK, Gubernur BI, Kapolri, Panglima TNI, Para Kepala Staf, Direktur BUMN, Komisi-Komisi, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, dsb.
2.9. Hak anggaran, hak untuk mengajukan usul atas rancangan anggaran Negara.
2.10. Hak Protokoler, hak untuk mendapatkan fasilitas bagi anggota legislatif, seperti ; Rumah, Mobil, Laptop, Fax, dsb.
3. Fungsi Badgettary, badan legislatif berwenang mengajukan RAPBN dan RAPBD kepada badan eksekutif untuk dimasukan kedalam APBN dan APBD.
4.Fungsi Representatif (sarana Pendidikan Politik), rakyat dididik untuk mengetahui persoalan yang menyangkut kepentingan umum melalui pembahasan-pembahasan, pembicaraan - pembicaraan tentang kebijakan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan baik yang dimuat atau diulas oleh media massa, dan secara tidak langsung telah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dalam kerangka peningkatan kesadaran politik masyarakat.
5. Fungsi Institusional, untuk mendengarkan pengaduan-pengaduan masyarakat kepada DPR atau Legislatif, seperti Demonstrasi, surat pengaduan, dsb.
Alat Kelengkapan Legislatif/DPR
1. Pimpinan DPR terdiri dari satu orang ketua, dan beberapa wakil ketua yang dipilih langsung oleh anggota DPR.
2. Fraksi-Fraksi, adalah pengelompokan anggota DPR yang terdiri dari kekuatan sosial, politik serta mencerminkan susunan anggota dalam masyrakat. Tugas fraksi antara lain menetukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang menyangkut urusan masing-masing fraksi, serta meningkatkan kemampuan efektifitas kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya.
3. Komisi-Komisi, pengelompokan anggota DPR yang terdiri dari bidang keahlian dan tugas yang ditetapkan sendiri oleh DPR, dengan tugas melingkupi bidang : Membentuk UU dan APBN, Mengawasi Eksekutif, dan Menampung aspirasi rakyat. Dalam menjalankan tugasnya Komisi ini biasanya melakukan kegiatan dengar pendapat, rapat kerja, mengajukan pertanyaan, kunjungan kerja dan mengunjungi masyarakat.
Umumnya komisi dikenal dalam tiga bentuk yaitu;
1. Komisi Tetap, seperti nama komisi I, komisi II, dan seterusnya, komisi-komisi beroprasi berdasarkan tugasnya untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.
2. Komisi Khusus, dibentuk untuk menangani masalah tertentu diluar urusan komisi tetap, dengan masa tugas disesuaikan dengan penyelesaian masalah yang ditangani.
3. Komisi Gabungan, dibentuk menyangkut hubungan antara komisi, khususnya dalam kegiatan perancangan Undang-Undang.
4. Badan Kehormatan, merupakan alat kelengkapan DPR yang berpotensi memperbaiki perilaku menyimpang anggota DPR. Dalam pasal 58 tata tertib DPR menyatakan bahwa badan kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi terhadap anggota DPR karena :
a. Tidak dapat melakukan tugas secara berkelanjutan
b. Melanggar sumpah/janji
c. Melanggar kode etik
d. Tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR.
5. Badan Musyawarah, bertugas menetapkan acara-acara DPR dalam satu tahun atau dalam satu masa persidangan, memberikan pertimbangan kepada pimpinan, menetapkan pokok-pokok kebijakan DPR atau antarparlemen dan tugas-tugas lain yang diserahkan kepada badan ini.
6. Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), susunan anggota ditetapkan oleh rapat paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
Keanggotaan BURT ditetapkan pada permulaan tahun sidang dan tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan pimpinan komisi atau Badan Kerjasama Antar Parlemen, tugasnya antara lain :
1. Membantu pimpinan DPR dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPR termasuk kesejahteraan anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal DPR.
2. Membantu pimpinan DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPR baik atas penugasan dari pimpinan DPR maupun atas prakarsa sendiri.
7. Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP), susunan anggota ditetapkan oleh Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dan ditetapkan pada setiap tahun sidang. Pimpinan BKSAP terdiri dari satu ketua dan empat wakil yang dipilih dari anggota BKSAP.
8. Panitia, dibentuk apabila dipandang perlu dan bersifat sementara. Panitia yang dibentuk oleh DPR disebut Panitia Khusus, sedangkan yang dibentuk oleh alat kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja. Panitia Khusus dipimpin oleh seorang ketua dan empat wakil yang dipilih dari anggota, sedangkan Panitia Kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR.
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
(SAP)
Mata Kuliah Sistem Politik Indonesia
Kode Mata Kuliah IP 23209
Status Mata Kuliah Mata Kuliah Keahlian
Bobot 3 SKS
Mata Kuliah Prasyarat Pengantar Ilmu Politik
Ruang Kuliah 003/II
Dosen Awan Adhi Yahya Nasution
e-mail : awan_unas@yahoo.com
Contact : Hp. 081574947213
Esia. 02199559144
Struktural Wakil Kepala Badan Penjaminan Mutu
Universitas Nasional
Tujuan Pemberian Mata Kuliah
Memberikan pengetahuan dan pemahaman pada peserta didik atau mahasiswa bagian dari teori politik yaitu Teori Sistem Politik, yang dasar pengetahuannya berasal dari Ilmu Biologi. Hubungan sistem sosial dengan sistem politik perlu disampaikan kepada peserta didik atau mahasiswa sebagai Ilmu Pengetahuan Politik Moderen, karena jika peserta didik atau mahasiswa menguasai teori sistem diharapkan mampu memberikan analisa yang komprehensif dari hubungan dan/atau interaksi di dalam sistem politik, terutama dalam perpolitikan di Indonesia.
Sistem politik merupakan acuan dalam pengelolaan negara atau penyelenggaran pemerintahan. Mata kuliah ini disajikan sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana Sistem Politik Indonesia (SPI). Secara spesifik akan dikaji mengenai sistem politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta dinamika politik Indonesia kontemporter.
Pokok Bahasan : Pengertian Sistem Politik Indonesia Sejarah Sistem Politik Indonesia (zaman pra kolonial, kolonial, orde lama, orde baru, dan reformasi) Sistem Kepartaian Sistem Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu Legislatif)Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pemilu Presiden)Sistem Pemilihan Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) (UU Pilkada)Fungsi dan Kedudukan Eksekutif, Legislatif Fungsi, dan Yudikatif Fungsi dan Kedudukan Lembaga Negara masa Reformasi (Komisi Pemilihan Umum [KPU], Mahkamah Konstitusi [MK], Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK], Komisi Yudisial [KY], dll.
Referensi/Buku Literatur : Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1988 Arief Rahman, Sistem Politik Indonesia, Surabaya, Intelektual Club, 2001 Herberth Faith & Lance Castles, Indonesian Political Thinking 1945-1965, Cornell University Press, London, 1970.*
Metode Perkuliahan
Tatap Muka
Penugasan
Diskusi
Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester
Komponen Penilaian
Kehadiran 10 %
Tugas-Tugas 20 %
Ujian Tengah Semester 30 %
Ujian Akhir Semester 40 %
TAHAP-TAHAP PERKULIAHAN Paraf
Minggu Pertama
Pengantar Mata Kuliah, Mempelajari Sistem Politik berarti belajar tentang metodologi dan belajar tentang analisa fungsional. Seperti beberapa pendekatan dalam ilmu sosial, teori sistem berlaku secara umum. Teori sistem merupakan kejadian alamiah/natural dari fenomena-fenomena sosial dari bagian kehidupan sosial masyarakat. Penggunaan teori sistem dalam Ilmu politik, diawali oleh perkembangan asumsi-asumsi dari fenomena politik yang dapat dianalisa secara baik, sehingga menggambarkan cara kerja sistem secara keseluruhan.Secara umum, model dari suatu sistem bukan fenomena yang unik dalam ilmu sosial. Dalam filosofi politik Plato dan Aristotles yang digambarkan dalam Negara Kota (POLIS, jaman Yunani), bahwa sistem politik membuat INTER-RELATED ELEMENTS.
Buku Referensi :
1. Mengenal Teori-Teori Politik, 2005
2. Scope and methods of political science, 1981
Minggu Kedua
Analisa Sistem Politik, secara umum, teoritis yang terkenal dalam teori sistem politik adalah Gabriel Almond dan David Easton. Model sistem Politik yang mereka presentasi sangat membantu para analis politik, dosen, teoritis/ahli dan mahasiswa untuk menganalisa bekerjanya suatu sistem politik dan membantu melihat hubungan antara sub-sub sistem di dalam sebuah sistem politik, termasuk peran sistem politik suatu negara dalam lingkungan Internasional.
Model Sistem Politik David Easton
Buku Referensi :
1. Perbandingan Sistem Politik, 2000
2. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik, 1988
Minggu Ketiga
Pendekatan Struktur Dan Fungsi, Berbeda dengan David Easton, Gabriel Almond menyebut teorinya PENDEKATAN STRUKTURAL - FUNGSIONAL, definisinya adalah sistem politik merupakan sistem interaksi atau sistem EKOLOGIS. Gabriel Almond mempertegas konsep ekologis sebagai bentuk organisasi yang berinteraksi dengan lingkungan dan saling mempengaruhi.
Model Sistem Politk Gabriel Almond
Minggu Keempat
Kemampuan Sistem Politik, sebelum kita mempelajari kemampuan atau kapabilitas, perlu diketahui dasar pemikiran analisa struktural fungsional Gabriel Almond, bahwa setiap sistem politik memiliki struktur atau lembaga poltik, artinya dalam masyarakat yang primitif/tradisional sekalipun memiliki struktur atau lembaga politik, seperti struktur hukum adat. Sistem politik, moderen maupun primitif/tradisional menjalankan fungsi-fungsi politik yang sama walaupun strukturnya berbeda. Semua struktur politik baik modern maupun primitif/tradisional tetap menjalankan fungsi-fungsi politiknya. Terkadang struktur dan fungsi yang bersifat moderen maupun yang primitif/tradisional, seringkali tercampur dalam suatu kebudayaan masyarakat.
Minggu Kelima
Kelompok Kepentingan, setiap sistem politik demokrasi, sangat memperhatikan aspek-aspek keinginan rakyat, maka keberadaan kelompok masyarakat sangat menentukan eksistensi kepentingan masyarakat yang bersifat natural. Definisi Kepentingan adalah minat atau aspirasi individu secara sadar tentang sesuatu hal, dan didasari oleh berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya. Secara riil kepentingan itu sangat bervariasi dan jumlahnya sangat banyak, misal kepentingan menyelamatkan lingkungan hidup, kepentingan penciptaan sistem peradilan yang sehat, kepentingan perlindungan anak, dsb. Kelompok kepentingan mengumpulkan dan mengubah kepentingan-kepentingan yang tercerai-berai di masyarakat menjadi satu kesatuan untuk kemudian diperjuangkan untuk diubah menjadi kebijakan yang perlu diperjuangkan. Peran aktifis kelompok kepentingan selalu berhadapan secara langsung maupun tidak langsung dengan pemerintah, karena secara substansi gerakan mereka ditujukan bagi perubahan kondisi yang tertuang dalam kebijakan yang dibuat pemerintah sebagai pemegang otoritas publik. Kelompok-kelompok kepenting hanya tumbuh dan berkembang di dalam sebuah Negara Demokratis.
Minggu Keenam
Proses Pembelajaran Nilai-Nilai Kepada Masyarakat, seperti proses sosialisasi, pembentukan kebudayaan politik dan bentuk partisipasi politik masyarakat, secara umum dibentuk melalui proses pembelajaran nilai-nilai politik dan merupakan komponen penting bagi kita memahami dan menganalisas sistem politik suatu negara. Proses ini berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi sistem politik dengan lingkungannya. Gabriel Almond, menjelaskan ada 3 konsep penting dalam proses pembelajaran nilai-nilai tersebut, yaitu : Sosialisasi, Kebudayaan dan Partisipasi Politik.
Minggu Ketujuh
Midsemester/Ujian Tengah Semester
Minggu Kedelapan
Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia, Pemilu adalah satu-satunya metode demokratis untuk memilih wakil rakyat. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilu sering dianggap sebagai penghubungan antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktek pemerintahan oleh sejumlah elite politik. Setiap warga negara yang telah dianggap dewasa dan memenuhi persyaratan menurut Undang-undang dapat memilih wakilnya di parlemen, termasuk pemerintahan. Pelaksanaan pemilu diatur oleh sebuah sistem pemilu, menurut Theodore, sistem pemilihan umum adalah rangkaian aturan yang mengekspresikan preferensi politik mereka dan suara pemilih diterjemahkan dengan kursi, menurut Giovanni Sartori, sistem pemilihan umum adalah sebuah bagian yang paling esensial dari kerja sistem politik. Sistem pemilu bukan hanya instrumen politik untuk membentuk sistem kepartaian dalam spektrum representatif. Menurut Arend Lipjhart, sistem pemilu merupakan elemen penting dan paling mendasar dari demokrasi perwakilan, karena sistem pemilu mempengaruhi perilaku pemilih dan hasil pemilu juga mempengaruhi representasi politik dan sistem kepartaian di dalam sebuah sistem politik. Sistem pemilu juga merepresentasikan kehendak rakyat secara utuh walau sering terjadi manipulasi.
Minggu Kesembilan
Peran Partai Politik, Partai politik pertama kali lahir di negara-negara barat, dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupaka faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang moderen atau dalam proses modernisasi untuk menjadikan partai politik sebagai lembaga politik yang moderen. Menurut Maurice Duverger, ada tiga krisis yang mendorong munculnya partai politik. 1. Krisis Legitimasi, seiring terjadinya modernisasi, maka terjadi perubahan besar atas otorisasi Kerajaan/Feodalisme di Eropa. Kelompok masyarakat kelas menengah dan bourjuis, memandang tidak ada lagi legitimasi atas kerajaan, maka partai didirikan untuk mencari pemimpin legitimate rakyat. 2. Krisis Integrasi, Modernisasi di Eropa, juga menghasilkan ancaman berupa disintegrasi wilayah, oleh karenanya partai politik dibentuk untuk mengatasi krisis integrasi terutama apabila partai politik harus memiliki kantor atau perwakilan wilayah lintas. 3. Krisis Partisipasi, Modernisasi yang membawa perubahan-perubahan besar dibidang sosial, ekonomi dan terbukanya stratifikasi, kekuasaan yang kehilangan legitimasi rakyat membutuhkan partai politik untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam menentukan kebijakan negara.
Minggu Kesepuluh
Fungsi dan Peran Lembaga Legislatif, Dalam pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk tetap berlanjutnya demokrasi langsung (direct Democracy), pada kenyataannya sulit untuk dapat dipertahankan lagi. Faktor-faktor seperti luasnya wilayah satu negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya penanganan terhadap masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi adalah merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung seperti era globalisasi sekarang. Sebagai ganti dari gagasan dan pandangan Rousseau ini lahirlah Demokrasi Tidak Langsung (Indirect Democracy) yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan nama PARLEMEN. Lembaga perwakilan atau parlemen ini tidak sama baik sebutannya maupun jenisnya, misalnya di Indonesia disebutnya Dewan Perwakilan Rakyat, yang dasarnya perwakilan.
Minggu Kesebelas
Peran dan Fungsi Lembaga Eksekutif, Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif, di negara demokratis badan eksekutif adalah Presiden atau Perdana Menteri bahkan ada juga yang dipegang Raja sebagai Kepala Negara, beserta menteri-menterinya, bahkan badan ini dalam arti luas termasuk Pegawai Negeri atau Birokrasi dan Militer, dan dalam sistem presidensiil hanya Presiden dan Menterinya. Dalam sistem presidensiil, menteri merupakan pembantu Presiden, sedangkan dalam sistem parlementer menteri dipimpin oleh Perdana Menteri, sedangakan raja sebagi bagian dari badan eksekutif, namun kedudukannya tetap dan tidak dapat diganggu gugat (the King can do Wrong). Jumlah anggota badan eksekutif lebih sedikit dari jumlah anggota badan legislatif, yang disesuaikan dengan kebutuhan Presiden atau Perdana Menteri.
Minggu Keduabelas
Peran dan Fungsi Birokrasi, Dalam memahami birokrasi diperlukan pemahaman objek kajian ilmu pengetahuan sejak munculnya Revolusi Perancis pada abad ke 18 (1760). Menurut Albrow istilah birokrasi diperkenalkan oleh filosof Perancis Baron de Grimm dari asal kata BUREAU yang berati MEJA TULIS dimana para pejabat bekerja dibelakangnya. Menurut Budi Setiono, Birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan, mainstream pemikiran ini menyebutkan bahwa penguasa yang kuat harus dilayani oleh para pembantu (aparat) yang cerdas dan dapat dipercaya (loyal). Konsep pemikiran ini sangat diilhami oleh pemikiran politik Niccolo Machiavelli, yaitu apabila penguasa ingin kekuasaannya bersifat efektif, maka ia harus memiliki organ aparatur yang solid, kuat, profesional dan kokoh. Teori Birokrasi Max Weber, dipercaya oleh sebagian besar ahli politik dan pemerintahan sebagai teori utama birokrasi. Teori Max Weber tentang BIROKRASI RASIONAL dianut hampir sebagian pemerintahan baik yang demokratis maupun yang otoriter.
Minggu Ketigabelas
Peran Dan Fungsi Militer Di Indonesia, Kehadiran militer telah muncul sejak abad 27 sm di dalam kekaisaran Mesir Kuno, dengan mengemban tugas pertahanan negara termasuk ekspansi teritorial. Kemudian fungsi militer bertambah kompleks dan memasuki ruang-ruang sipil. Diakhir abad ke 18, tidak ada satu negarapun yang memiliki power tanpa kehadiran militer disampingnya. Perkembangan militer yang modern terjadi di negara-negara Eropa Kontinental dan Amerika Anglo-Saxon, dan ketika institusi militer berdiri kokoh dan memegang kekuasaan, maka sebagian rezim pemerintahan yang dikuasai militer mengeser kontrak sosial yang awalnya untuk melindungi rakyat bergeser kearah otoritas pemerintahan militer. Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di negara-negara berkembang akibat penjajahan dan efek perang dunia kedua. Ada kesimpulan pendapat para ahli yang menjelaskan alasan kenapa militer memasuki ruang-ruang sipil.
Pertama, Militer berbasis karateristik organisasi militer profesional barat dengan kuatnya garis komando sentralistik, hirarkhi, disiplin dan kohesif. Fungsi militer terkait dengan Management of Violence. Kedua, aliran pemikiran yang lebih menekankan intervensi militer sebagai hasil kondisi masyarakat yang rendah dalam kaitan budaya politik dan partisipasi politik dalam kehidupan infrastruktur sistem politik. Ketiga, menitikberatkan pada kepentingan internal militer. Sikap dan orientasi nilai-nilai politik militer dalam interaksi sistem politik yang menjelaskan peran dan fungsi militer secara struktur dan fungsinya di dalam sistem politik, terutama nilai-nilai kepemimpinan untuk mengontrol partisipasi politik masyarakat dalam bidang politik atau depolitisasi. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh militer karena memiliki organisasi yang ramping dan solid.
Minggu Keempatbelas
Final Test / Ujian Akhir Semester
Perwakilan Mahasiswa
5 Maret 2008
Sign , Name
1……………………….., ( )
2……………………….., ( )
Dosen Pengasuh Mata Kuliah
5 Maret 2008
Sign , Name
1………………………, ( )
2……………………..,., ( )
Partai Politik
Pengantar
Partai politik pertama kali lahir di negara-negara barat, dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah.
Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang modern atau dalam proses modernisasi untuk menjadikan partai politik sebagai lembaga politik yang modern.
Menurut Maurice Duverger, ada tiga krisis yang mendorong munculnya partai politik,
1. Krisis Legitimasi, seiring terjadinya modernisasi, maka terjadi perubahan besar atas otorisasi Kerajaan/Feodalisme di Eropa. Kelompok masyarakat kelas menengah dan bourjuis, memandang tidak ada lagi legitimasi atas kerajaan, maka partai didirikan untuk mencari pemimpin legitimate rakyat.
2. Krisis Integrasi, Modernisasi di Eropa, juga menghasilkan ancaman berupa disitegrasi wilayah, oleh karenanya partai politik dibentuk untuk mengatasi krisis integrasi terutama apabila partai politik harus memiliki kantor atau perwakilan wilayah lintas.
3. Krisis Partisipasi, Modernisasi yang membawa perubahan-perubahan besar dibidang sosial, ekonomi dan terbukanya stratifikasi, kekuasaan yang kehilangan legitimasi rakyat membutuhkan partai politik untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam menentukan kebijakan negara.
Definisi Partai Politik
Carl J. Friedrich, Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idea maupun materil.
David E. Apter, Partai politik merupakan prantara tunggal terpenting untuk politik, daya saing, tawar-menawar, dan negosiasi. Partai memungkinkan para politisi tetap dekat dengan publik di satu pihak dan ketika memperoleh jabatan, para politisi diharapkan mampu berdiri di atas berbagai kepentingan publik.
R.H. Soltau, Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sevagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaanya untuk memilih dan bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum.
Roy C. Macridis, Partai politik adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan untuk memerintah.
Sigmund Neumann, Partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan bersaing untuk memperoleh dukungan masyarakat, dengan menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat.
Ciri Dan Fungsi Partai Politik
Menurut Meriam Budiardjo, partai politik menjalankan fungsi sebagai berikut :
1. Penyampai arus informasi, dua arah berjalan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, dan posisi partai politik menjadi jembatan antara yang memerintah (The Rulers) dan yang diperintah (The Ruled).
2. Artikulasi Kepentingan, di dalam suatu masyarakat modern, apa lagi wilayah yang luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau sekelompok orang akan hilang tak berbekas apabila tidak ditampung dan disalurkan, pendapat dan sikap yang bermacam-macam itu perlu diolah dan dirumuskan dan proses ini dinamakan artikulasi kepentingan.
3. Agregasi Kepentingan, Sikap-sikap dan tuntutan-tuntutan dari berbagai-bagai kelompok yang sedikit-banyak menyangkut hal yang sama digabung menjadi satu, proses pengabungan ini dinamakan agregasi kepentingan. Artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan dalam suatu sistem politik merupakan input yang disampaikan kedalam sistem untuk menghasilkan suatu kebijakan.
4. Sosialisasi Politik, proses di mana seseorang memperoleh pandangan, orientasi dan nilai-nilai dari masyarakat di mana ia berada, dan proses itu juga mencakup proses di mana masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
5. Rekrutmen, proses melalui mana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
6. Pengatur Konflik, dalam negara demokratis yang masyarakatnya bersifat terbuka adanya perbedaan dan persaingan pendapat sudah merupakan hal yang wajar, namun bila perbedaan pendapat ini berdasarkan etnis, status sosial, ekonomi atau agama, maka mudah sekali terjadi konflik dan untuk menghidari dampak negatif dari konflik tersebut, peran partai politik sangat dominan melalui kemampuan manajemen konfliknya.
Model Partai Politik
Menurut Maurice Duverger, ada beberapa model Partai Politik, yaitu:
1. Model Partai Pluralis, dalam sistem ini terdapat dua sistem kepartaian, yaitu :
a. Sistem Dwi Partai, dalam sistem ini ada dua partai, yaitu Partai pemenang pemilu dan Partai oposisi, sehingga jelas dimana letak tanggungjawabnya, dan peran ini dapat bertukar posisi tergantung pada posisi pemenang pemilu.
b. Sistem Multipartai, umumnya didasari oleh keanekaragaman atau heterogenitas masyarakat. Perbedaan ras, etnik, suku dan agama sangat kuat munculnya multipartai, karena masyarakat cenderung menyalurkan aspirasinya melalui pengelompokan diatas atau ikatan-ikatan primodial.
2. Sistem Partai Tunggal, satu-satunya partai yang mempunyai kedudukan dominan dalam suatu negara. Biasanya terdapat dalam negara berideologi komunis atau sosialis. Sistem kepartaian tunggal sangat menghindari kompetisi, dan posisi masyarakat dipaksa homogen,
Menurut Haryanto, partai politik secara umum dibagi dua, yaitu :
1. Partai Massa, dengan ciri utamanya adalag jumlah anggota atau pendukungnya banyak. Meskipun demikian, partai jenis ini memiliki program agak kabur dan terlapau umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok yang tergabung dalam partai kepentingannya tidak terakomodasi.
2. Partai Kader, kebalikan dari partai massa, partai kader menggandalkan kader-kadernya untuk loyal. Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan Ideologi partai harus tetap terjamin kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng akan di berhentikan.
Partai Politik berdasarkan Ideologi
1. Partai Fasis
2. Partai Radikal Kanan
3. Partai Konservatif
4. Partai Liberal
5. Partai Sosial-Demokrat
6. Partai Sosialis
7. Partai Komunis
8. Partai Ekologis
9. Partai Berorientasi Religius
10. Partai Berorientasi Etnik
Sistem Pemilhan Umum
Buku : Mengenal Teori-Teori Politik
Pengantar
Pemilu adalah satu-satunya metode demokratik untuk memilih wakil rakyat. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilu sering dianggap sebagai penghubungan antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktek pemerintahan oleh sejumlah elite politik. Setiap warga negara yang telah dianggap dewasa dan memenuhi persyaratan menurut Undang-undang dapat memilih wakilnya di parlemen, termasuk pemerintahan.
Pelaksanaan pemilu diatur oleh sebuah sistem pemilu, menurut Theodore, sistem pemilihan umum adalah rangkaian aturan yang mengekspresikan preferensi politik mereka dan suara pemilih diterjemahkan dengan kursi, menurut Giovanni Sartori, sistem pemilihan umum adalah sebuah bagian yang paling esensial dari kerja sistem politik. Sistem pemilu bukan hanya instrumen politik untuk membentuk sistem kepartaian dalam spektrum representatif.
Menurut Arend Lipjhart, sistem pemilu merupakan elemen penting dan paling mendasar dari demokrasi perwakilan, karena sistem pemilu mempengaruhi perilaku pemilih dan hasil pemilu juga mempengaruhi representasi politik dan sistem kepartaian di dalam sebuah sistem politik. Sistem pemilu juga merepresentasikan kehendak rakyat secara utuh walau sering terjadi manipulasi.
Definisi Pemilihan Umum
Samuel Huntington, pemilu sebagai media pembangunan partisipasi politik rakyat dalam Negara Modern. Partisipasi politik merupakan arena seleksi bagi rakyat untuk mendapatkan jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan.
Kemudian, Huntington mendefinisikan Negara Modern adalah negara demokratis yang memberi ruang khusus bagi keterlibatan rakyat dalam jabatan-jabatan publik. Setiap jabatan publik ini merupakan arena kompetisi yang diperebutkan secara wajar dan melibatkan setiap warga negara tanpa diskriminasi RAS yang meminimalkan partisipasi politik setiap warga negara.
Lawrence Le Duc, Pemilu adalah sebuah lembaga politik yang mendorong (leads) dan mencerminkan banyak kecenderungan sosial, politik dan ekonomi. Meski pemilihan dan demokrasi bukan konsep yang sinonim, namun adanya pemilihan yang bebas dan kompetitif tidak pelak lagi di pandang sebagai salah satu ciri kritis yang menetapkan suatu bangsa sebagai bangsa yang demokratis.
Elemen Pemilihan Umum
Menurut Kantaprawira, elemen pemilu ada sembilan item :
1. Adanya Integritas (integration);
2. Adanya Keteraturan (regularity);
3. Adanya Keutuhan (wholeness);
4. Adanya Organisasi (organization);
5. Koherensi (coherence);
6. Keterhubungan (connectedness);
7. Kebergantungan (interdepence);
8. Kemerangkuman (comprehensiveness);
9. Adanya batasan-batasan (existance of boundaries) dari setiap elemen.
Prinsip Pelaksanaan Pemilu
Menurut Daniel Saparringa dan J. Kristiadi ada tujuh prinsip :
1. Tersedianya kesempatan bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi;
2. Memungkinan setiap pemilih dapat menentukan pilihannya tanpa ada intimidasi;
3. Mampu menyediakan mekanisme di mana partai-partai berkompetisi secara sehat dan adil;
4. Mengadakan pemilu sebagai sarana damai untuk mengadakan suatu perubahan;
5. Diselenggarakan secara reguler;
6.Diselenggarakan oleh lembaga independen, diluar kekuasaan pemerintah atau dominasi satu parpol;
7. Parpol memiliki kesempatan yang sama untuk membangun komunikasi langsung dengan masyarakat.
Fungsi Pemilihan Umum
Menurut Aurel Croissant :
1. Pemilu harus mewakili rakyat dan kehendak politik pemilih.
2. Pemilu harus dapat mengintegrasikan rakyat.
3. Keputusan mayoritas untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan kemampuan untuk memerintah (governabilitas)
Menurut Arbi Sanit :
1. Legitimasi Politik
2. Terciptanya perwakilan politik
3. Sirkulasi elit politik
4. Pendidikan politik
Menurut J. Kristiadi :
1. Merupakan institusi dan instrumen mengendalikan konflik
2. Sebagai media penganti pemerintahan secara damai dan wajar
3. Merupakan sarana untuk membangun basis legitimasi politik yang konstitusional bagi kekuasaan yang akan dibangun
4. Kemantapan budaya politik nasional
5. Kampanye pemilu memberikan banyak informasi kepada masyarakat.
Asas Pemilihan Umum
1. Berkala (teratur);
2. Langsung
3. Umum
4. Bebas
5. Rahasia
6. Jujur
7. Adil
Tipe-Tipe Sistem Pemilu
Sistem Pemilihan Organisi, menurut G.Y Wolhoff dalam sistem organisme ini, rakyat dipandang sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama-sama dalam keanekawarnaan persekutuan yang hidup, seperti genealogi (rumah tangga), teritorial (desa/wilayah), pelapisan sosial masyarakat (buruh, tani, PNS, dsb) atau lembaga sosial seperti universitas.
Masyarakat dipandang sebagai suatu organisasi yang terdiri dari organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totaliter organisasi yaitu persekutuan hidup inilah sebagai pengendali hak pilih atau mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat. Dan yang terpenting adalah bagian dari persekutuan mengirim wakilnya ke lembaga perwakilan politik.
Sistem Pemilihan Mekanis, menurut G.Y. Wolhoff, rakyat dipandang sebagai massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih aktif dan masing-masing mengeluarkan suara dalam tiap pemilihan untuk lembaga perwakilan. Dalam sistem mekanis, partai politi dan organisasi politik mengorganisir pemilih, kehidupan partai politik disesuaikan dengan sistem kepartaian di wilayah tersebut, seperti, sistem satu partai, dwi partai maupun multipartai.
Lembaga perwakilan rakyat yang terbentuk bersifat lembaga perwakilan kepentingan rakyat dan menghasilkan satu parlemen yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sistem pemilihan mekanis biasanya dilaksanakan dengan dua sistem, yaitu :
1. Sistem Distrik
2. Sistem Proporsional
Sistem Distrik
Distrik adalah wilayah geografis suatu negara yang batasan-batasannya dihasilkan melalui suatu pembagian untuk tujuan pemilihan umum. Luas sebuah distrik dapat sama besarnya dengan wilayah administrasi pemerintahan dan dapat pula berbeda. Yang dimaksud besar distrik adalah berupa banyaknya anggota badan perwakilan yang akan dipilih dalam satu distrik pemilihan.
Besar distrik bukan berarti sama dengan jumlah pemilih yang ada dalam satu distrik, berdasarkan pengertian tersebut sistem pemilihan distrik di dalam suatu wilayah suatu negara dipakai untuk memilih wakil diparlemen atas pembagian distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi di parlemen. Dalam setiap distrik dapat mengirim satu atau lebih dari satu anggota parlemen sesuai dengan kuota kursi yang diberikan kepada distrik tersebut.
Kelebihan Sistem Distrik
1. Distrik wilayahnya lebih kecil, maka pemilih dapat mengenali calon-calon wakil rakyat yang akan dipilih didistriknya;
2. Tokoh yang terpilih biasanya tokoh kharismatik atau yang populer, kandidat langsung bertanggungjawab kepada pemilihnya (kosituen);
3. Kandidat tidak bergantung pada eksistensi Partai, namun hubungan sibiosismutualitis terjadi.
4. Terjadi tawar menawar politik antara kandidat dengan pemilih;
5. Lebih memudahkan Partai merebut kursi mayoritas di parlemen, memperkecil peluang koalisi partai;
6. Mempermudah tercapainya stabilitas politik;
7. Mendorong kearah kerjasama atau integrasi partai-partai di dalam parlemen;
8. Fragmentasi kearah penyederhanaan partai politik secara alamiah tanpa paksaan.
Kelemahan Sistem Distrik
1. Adanya distorsi yang tidak menguntungkan bagi partai kecil dan golongan minoritas.
2. Keputusan politik seringkali tidak politis, karena kandidat menyakinkan para pemilih melalui jaringan, keanggotaan keluarga, dan menampilkan kepopulerannya.
3. Wakil-wakil yang terpilih lebih cenderung memperhatikan kepentingan daerahnya/distriknya dibandingkan kepentingan nasional.
4. Sistem ini dianggap kurang mengakomodasi berbagai kelompok dalam suatu masyarakat yang heterogen dan pluralis.
5. Sistem ini memperkecil representatif partai politik yang ada dalam satu distrik, dan hanya ada satu partai mayoritas dalam distrik tersebut.
Sistem Representasi Proporsional
Sistem pemilihan ini di sebut juga sebagai sistem pemilihan multi member constituency atau sistem perwakilan berimbang, dengan menggunakan perhitungan suara yang representatif dari presentasi suara sah yang diperoleh partai atau kandidat peserta pemilu. Sistem pemilihan ini, memperhitungkan tersedianya kursi diparlemen pusat untuk diperebutkan dalam satu PEMILU, dimana jatah kursi tersebut dibagikan kepada partai politik atau golongan politik yang ikut PEMILU untuk perimbangan suara atau kursi di parlemen.
Kelebihan Sistem Proporsional
1. Provinsi sebagai daerah pemilihan;
2. Terdapat lebih dari satu wakil dalam setiap wilayah pemilihan;
3. Keterwakilan partai politik di parlemen mencapai komposisi proporsional di dalam parlemen;
4. Sistem ini dianggap representatif karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilu;
5. Sistem proporsional mengarah terbentuknya pemerintahan koalisi dan demokratis.
Kelemahan Sistem Proporsional
1. Pemilih tidak memiliki pengaruh terhadap wakilnya;
2. Memberi kedudukan kuat pada pemimpin partai untuk menentukan wakilnya diparlemen melalui list daftar calon anggota parlemen;
3. Partai memiliki pengaruh kuat terhadap kandidat bahkan cenderung menekan, sehingga tidak menjamin keterwakilan politk di parlemen.
Proses Pembelajaran Nilai-Nilai Kepada Masyarakat
Buku :
Perbandingan Sistem Politik, 1988
Proses pembelajaran nilai-nilai masyarakat merupakan komponen penting bagi kita memahami sistem politik suatu negara. Proses ini berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi sistem politik dengan lingkungannya.
Gabriel Almond, menjelaskan ada 3 konsep penting dalam proses pembelajaran nilai-nilai tersebut, yaitu : Sosialisasi, Kebudayaan dan Partisipasi Politik.
Sosialisasi
Merupakan cara bagaimana masyarakat dikenalkan kepada nilai-nilai dan sikap-sikap yang dianut oleh masyarakat itu sendiri dan peran apa yang mereka jalankan.
Sosialisasi Politik, bagian dari proses sosialisasi yang membentuk nilai-nilai politik dan menunjukkan bagaimana seharusnya anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya.
Sosialisasi Politik, menunjukkan pada proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola tingkah laku politik. Sosialisasi politik, juga merupakan sarana bagi generasi untuk mewariskan nilai-nilai atau keyakinan politik kepada generasi sesudahnya atau terjadinya proses Transmisi Kebudayaan.
Ada dua hal yang perlu perhatian mengenai proses sosialisasi politik :
Pertama, proses sosialisasi terus menerus berjalan selama hidup seseorang, misal pengaruh keluarga semasa kanak-kanak akan mempengaruhi orientasi, sikap, dan perilaku seseorang. Namun peran pendidikan di sekolah, pengalaman bekerja dan pengaruh pergaulan, mungkin saja merubah nilai yang sudah dimiliki seseorang.
Kedua, sosialisasi politik dapat berujud transmisi dan pengajaran yang langsung maupun tak-langsung. Sosialisasi Langsung, melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara eksplisit/tegas, bentuknya seperti pemberian pelajaran mengenai Kewarganegaraan, Pendidikan Pancasila, dsb.
Sosialisasi Politik Tidak Langsung, sangat kuat berlangsung di masa kanak-kanak, sejalan dengan berkembangnya sikap penurut atau sikap pembangkang seorang anak kepada orang-tua, guru dan teman, sikap-sikap seperti ini berpengaruh kepada pengalaman seorang anak dimana dewasanya, seperti sikap anti-pemerintah.
Efektifitas kegiatan sosialisasi dapat mempertahankan atau merubah sebuah kebudayaan politik suatu masyarakat.
Sarana Sosialisasi Politik
Keluarga, pengaruh kehidupan keluarga baik yang langsung maupun yang tidak langsung merupakan struktur sosialisasi pertama yang dialami seseorang, berpengaruh kuat dan kekal, terutama dalam hal pembentukan sikap seseorang. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di dalam lingkungan keluarga, memberikan pengalaman kepada seseorang dan dapat meningkatkan kompetensi politik, memberikan interaksi politik, serta mendorong berpartisipasi lebih aktif dalam sistem politik.
Keluarga juga membentuk sikap-sikap politik seseorang dan dapat membentuk ikatan-ikatan etnik, religius, dan kelas sosial dan memperkuat nilai-nilai kultural melalui pendidikan yang mengarahkan pada aspirasi politik dilingkungan keluarga.
Sekolah, Orang yang terpelajar lebih sadar akan pengaruh pemerintah terhadap kehidupan mereka, lebih memperhatikan kehidupan politik, lebih banyak memperoleh informasi tentang proses-proses politik dan lebih kompeten dalam tingkahlaku politiknya. Sekolah memberikan pengetahuan kepada kaum muda tentang dunia politik dan peran mereka di dalamnya. Sekolah memberi pandangan yang lebih kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Sekolah juga merupakan saluran pewaris nilai-nilai dan sikap-sikap masyarakatnya. Sekolah memegang peran penting dalam pembentukan sikap-sikap politik The Rule of The Political Game.
Sekolah dapat mempertebal kesetiaan terhadap sistem politik dan memberikan simbol-simbol untuk menunjukan yang ekspresif terhadap sistem politik, seperti Bendera Nasional, Teks Proklamasi, Teks Pancasila, yang dapat memperkuat kesetiaan kepada sistem politik.
Kelompok Pergaulan, meskipun sekolah dan keluarga merupakan sarana yang paling jelas terlibat dalam proses sosialisasi ada juga beberapa unit sosial lain yang dapat membentuk sikap-sikap politik seseorang, salah satunya adalah kelompok pergaulan, termasuk kelompok bermain di masa kanak-kanak, kelompok persahabatan, dan kelompok kerja yang kecil, dimana setia individu dalam kelompok itu menyesuaikan pergaulannya dengan rasa hormat. Jadi kelompok pergaulan mensosialisasikan anggota-anggotanya dengan cara mendorong dan mendesak anggota-anggotanya menyesuaikan sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok tersebut.
Pekerjaan, Pekerjaan dan organisasi formal maupun non-formal yang dibentuk berdasarkan lingkungan pekerjaan, seperti serikat buruh, klub-klub sosial dan semacamnya, merupakan saluran komunikasi informasi yang sangat efektif. Individu-individu mengidentifikasi diri dengan suatu kelompok tertentu seperti serikat buruh dan menggunakan kelompok itu sebagai acuan (referensi) dalam kehidupan politik. Nilai-nilai kelompok tersebut menjadi sensitif juga terjadi konflik-konflik kepentingan.
Media Massa,Masyarakat modern tidak dapat hidup tanpa komunikasi yang luas, dan cepat. Infomasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dimana saja menjadi sumber pengetahuan umum kepada masyarakat. Masyarakat moderen sangat membutuhkan akses informasi yang cepat terutama tentang peristiwa-peristawa yang terjadi termasuk peristiwa politik. Nilai-nilai utama yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat dapat berubah karena pengaruh informasi, oleh karenanya peran media massa mampu mengendali nilai-nilai masyarakat.
Kontak-Kontak Politik Langsung, Tidak peduli betapa posistif pandangan terhadap sistem politik yang telah ditanamkan oleh keluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang diabaikan oleh partainya, ditipu oleh politisi/polisi, kelaparan tanpa ditolong, dipaksa masuk wajib militer dan pandangannya terhadap dunia politik sangat mudah berubah. Partai politik, kampanye pemilihan umum, krisis-krisis politik luar negeri dan perang dan daya tanggap badan-badan pemerintah terhadap tuntutan-tuntutan individu dan kelompok-kelompok dapat mempengaruhi kesetiaan dan kesediaan untuk mematuhi aturan.
Kebudayaan Politik
Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan politik yang dimiliki dapat menggolongkan orientasi-orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan pemerintahan negaranya, atau dapat digolongkan berdasarkan identitas kebudayaan politik.
Secara umum, budaya politik dibagi dalam tiga bentuk kebudayaan polittik,
Pertama, budaya politik Partisipan, adalah orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, paling tidak dalam kegiatan pemberian suara, dan memperoleh informasi cukup banyak tentang kehidupan politik.
Kedua, budaya politik Subyektif, orang-orang yang secara pasif patuh pada undang-undang atau pejabat-pejabat pemerintahan tetapi tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik apapun.
Ketiga, budaya politik Parokial, orang-orang yang sama sekali tidak menyadari
atau mengabaikan adanya pemerintah dan politik (apatis). Budaya politik ini terbuntuk bukan hanya terjadi dengan sengaja, tapi juga terjadi akibat anggota masyarakat buta huruf, tinggal desa terpencil atau mungkin nenek-nenek tua yang tidak tanggap terhadap hak pilih atau mengungkung diri dari perubahan.
Berdasarkan proporsi ketiga golongan diatas, dapat digolongkan dalam tiga model kebudayaan, yaitu :
Pertama, model Demokratik Indusrial dimana jumlah partisipan mencapai angka 40 % - 60 % dengan tingkat kesadaran politik bukan paksaan. Dalam model ini terdapat cukup banyak aktivis untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan terlibat aktif dalam pemilu secara sadar, dan terlibat aktif dalam diskusi-diskusi politik untuk mempengaruhi pembuat keputusan atau kebijakan.
Kedua, sistem otoriter hanya sebagian dari unsur industrial dan moderen, dimana organisasi politik seperti mahasiswa atau intelektual sebagai kelompok partisipan tetap agresif dan melakukan tindakan persuasif dalam kegiatan lobby, sedangkan kelompok subyek, tetap bersikap pasif dan patuh kepada pemerintah dan aturan-aturannya. Dan Kelompok parokial yang biasa terdiri dari kelompok buruh atau petani, hanya sedikit memiliki kontak dengan sistem politik.
Ketiga, model sistem demokratis pra-industrial, seperti Negara Dominika, sebahagian besar penduduknya miskin dan buta huruf. Dengan kondisi demikian sedikit sekali kelompok partisipan, sehingga perubahan-perubahan yang diharapkan sedikit sekali pencapaiannya.
Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah keterlibatan individu dalam kegiatan politik. Keterlibatan individu dipengaruhi oleh tingkat kesadaraan dan/atau paksaan.
Kecenderungan partisipasi rakyat kearah yang lebih luas dimulai pada masa renaissance abad 15. Efeknya kebeberapa negara berbeda-beda dan sangat bergantung pada perubahan budaya politik masyarakat tersebut.
Bentuk-bentuk Partisipasi Warga Negara Dalam Proses-Proses Politik, (Hutington & Nelson) :
1. Kegiatan Pemilihan Umum, Presiden, Legislatif dan Pemilihan Kepala Daerah, pada tingkat pemberian suara, kampanye, petugas PPS, Panwaslu, KPU/KPUD, dsb.
2. Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi keputusan politik.
3. Kegiatan Organisasi, partisipasi sebagai anggota LSM, ORMAS, ORPOL dan Parpol, yang secara eksplisit mempengaruhi keputusan.
4. Mencari Koneksi, merupakan tindakan perorangan atau individu untuk mempengaruhi para pejabat politik atau center of power untuk memperoleh keuntungan-keuntangan tertentu.
5. Tindakan Kekerasan (Violence), merupakan usaha untuk saling mempengaruhi melalui bentuk tindakan kekerasan. Tujuannya merubah pimpinan politik atau kudeta, pemberontakan, atau revolusi.
Menurut Myron Weiner paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbuknya gerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik :
1. Modernisasi terjadi akibat adanya komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi, pendidikan, dan media massa.
2. Perubahan Struktur Sosial, klas-klas sosial didalam masyarakat berubah akibat proses industrialisasi dan modernisasi dan mendorong perubahan pola partisipasi.
3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa, perubahan pola partisipasi politik masyarakat di dorong oleh konsep-konsep politik dari kaum intelektual, seperti konsep egalitarian, nasionalisme yang membangkitkan partisipasi masyarakat yang luas dalam sistem politik, melalui konsep-konsep ini mampu merubah sikap dan tingka laku dari klas sosial masyarakat.
4. Konflik atau kompetisi diantara kelompok-kelompok pemimpin politik, selalu mencari dukungan masyarakat dan biasanya mengerakan partisipasi masyarakat kearah perjuangan klas sosial.
5. Keterlibatan pemerintah dalam perluasan kebijakan ekonomi, sosial, dan kebudayaan, oleh karena itu kebijakan yang diambil pemerintah dapat mendorong masyarakat berpartisipasi secara luas, baik menentang ataupun mendukung kebijakan tersebut
Tugas Mata Kuliah Periode Tanggal Ditugaskan
Sistem Politik Indonesia Minggu Pertama 12 Maret 2008
Tanggal Diserahkan via Emali : 19 Maret 2008
SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN DI TIMUR TENGAH
Sistem Politik, Struktur Kekuasaan Tradisional Pra-Islam Di Timur Tengah
Berdasarkan karakteristik daratannya, penduduk semenanjung Arab terbagi ke dalam dua kelompok utama; orang-orang desa (badui) yang nomad dan masyarakat perkotaan. Orang-orang badui bukan masyarakat gipsi yang mengembara tanpa arah demi pengembaraan semata. Mereka mewakili bentuk adaptasi terhadap kondisi gurun. Dimana ada dataran hijau, mereka menggiring ternaknya ke sana.
Unsur terpenting dalam kehidupan masyarakat badui:
1. unta
2. pohon kurma
3. gurun
Karakteristik masyarakat badui
1. keteguhan dan kesabaran -> mampu bertahan di gurun
2. kepasifan -> menanggung beban, daripada mengubah
3. individualistis -> enggan mendahulukan kepentingan umum
4. egaliter -> berkedudukan setara
5. aristrokrat -> merasa sebagai perwujudan dari pola penciptaan unggulan, Bangsa Arab adalah bangsa yang terbaik
fondasi masyarakat badui
1. setiap tenda mewakili sebuah keluarga
2. wilayah yang ditempati tenda-tenda membentuk sebuah hayy
3. semua anggota hayy membentuk sebuah klan /qaum yang dipimpin oleh kepala klan yang biasanya dipimpin oleh anggota tertua / syaikh
4. sejumlah klan yang sedarah bersama-sama membentuk suku / qabilah
5. kelayakan seseorang menjadi syaikh dilihat dari senioritas usia, kualifikasi individu, jabatannya selama dikehendaki oleh para anggota suku
6. dalam persoalan hukum, militer dan kepentingan bersama, syaikh berkonsultasi dengan dewan suku yang terdiri dari para kepala keluarga.
musibah paling besar adalah putusnya keanggotaaan dalam kesukuan
terhadap komunitas non Arab, ada dua perlakuan agar dapat diterima dalam suatu suku:
1. bagi mantan budak, maka untuk mendapatkan statusnya, ia menjadi mawla (karib)
2. bagi seorang pendatang maka menjadi dakhil (orang yang dilindungi)
kuatnya semangat dan ikatan kesukuan memunculkan semangat yang dikenal sebagai semangat kesukuan ashobiyah. Yaitu loyalitas sukarela dan tanpa syarat kepada anggota klannya.
Kekhalifahan Sebagai Lembaga Politik
Salah satu kekayaan pranata politik Islam yang belum ada tandingannya dalam sejarah umat manusia kapanpun adalah sistem kekhalifahan (Khilafah). Sistem ini telah terbukti mampu membangun hegemoni politik dan budaya yang sangat luas dan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang pernah dicapai bangsa-bangsa Eropa. Diktator Jerman, Adolf Hitler, dengan pasukan Nazi-nya yang ditakuti dalam perang dunia II hanya pernah “melamun” untuk membuat bangsa Jerman, sebagai bangsa Aria yang dianggapnya memiliki ras unggul, sebagai bangsa penguasa Eropa. Inggris, Belanda, Perancis dan negara-negara imperialis kolonialis lainnya pernah memiliki daerah koloninya di wilayah-wilayah tertentu di Asia dan Amerika Latin. Tetapi, selain terbilang “relatif kecil” –yaitu hanya terdiri dari beberapa negara yang terpisah-pisah—wilayah kekuasaan bangsa-bangsa tersebut didapatkan atas paradigma kerakusan ekonomi dan kekuasaan dengan metode penjajahan, kolonialisasi dan penaklukkan. Kaum Muslimin, di pihak lain, pernah memiliki suatu daerah kekuasaan yang sangat luas membentang dari Iran di Timur sampai Spanyol di Barat, dan dari Ethiopia di Selatan sampai Turki di Utara. Wilayah ini meng-cover tiga wilayah benua sekaligus : Asia, Afrika dan Eropa. Berbeda dengan motif-motif ekonomi dan nafsu kekuasaan yang menjadi ruh kolonialisasi oleh negara-negara Eropa, perluasan wilayah Islam digerakkan oleh semangat tauhid dan disemangati oleh ruh spiritual dimana umat Islam menyebarkan agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Khilafah sebagaimana definisi gerakan Islam Sunni adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim yang bertujuan untuk menerapkan hukum syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Itu merupakan peninggalan Khilafah Islam yang suatu ketika pernah terbentang dari Indonesia hingga ke Spanyol selama 1400 tahun. Khilafah bukanlah sistem monarchi, demokrasi, autoritarianisme, juga bukan pemerintahan teokrasi, tetapi transaksi kepemimpinan antara khalifah yang terpilih dengan umat dalam rangka menerapkan hukum-hukum Islam dalam politik di dalam maupun di luar negeri.
Perbedaan antara kelompok (aliran) Sunni dan Syi’ah adalah, bahwa kelompok Sunni bisa menerima kembalinya pemerintahan Islam yang diperintah oleh tiap Muslim yang mempunyai sebagian kualifikasi tertentu, sementara Syi’ah mensyaratkan agar orang yang memegang kekuasaan untuk menerapkan pemerintahan Islam harus berasal dari keluarga Rasul Muhammad saw. Karena keturunan Rasul saw. telah berakhir, setelah hilangnya atau tidak ditemukannya Imam Keduabelas tahun 941 M, maka memulai kembali penerapan pemerintahan Islam itu mustahil, kecuali kalau Imam Keduabelas ini muncul kembali. Karena itu, Revolusi Iran tidak pernah memproklamirkan atau tidak pernah diterima sebagai khilafah oleh mayoritas Sunni maupun Syi’ah di dunia Islam.
Pilar-Pilar Pemerintahan Islam
Sistem pemerintahan Islam dibangun atas empat pilar: Pertama, kedaulatan di tangan syara’ bukan di tangan rakyat. Kedua, kekuasaan adalah milik umat. Ketiga, mengangkat satu Khalifah hukumnya wajib bagi seluruh kaum muslimin. Dan keempat, hanya Khalifah yang berhak melakukan tabbani (adopsi) terhadap hukum-hukum syara’.
[1] Masalah Kedaulatan
Islam memerintahkan kepada kaum Muslimin dan negara hanya tunduk kepada hukum syariat Islam. Kehendak seorang muslim atau umat, tidak diatur oleh dirinya sendiri atau umat, melainkan diatur oleh Allah swt dengan seluruh perintah dan laranganNya
[2] Kekuasaan di tangan umat
Kekuasaan atau pemerintahan di tangan umat, berdasarkan tatacara yang telah ditentukan oleh syara’ dalam mengangkat khalifah yang dipilih oleh kaum muslimin, yaitu dengan cara baiat. Umatlah yang berhak memilih penguasa, apakah secara langsung atau melalui ahlul halli wal aqdi. Tidak seorangpun dapat menjadi penguasa kecuali telah dikehendaki umat, yang ditunjukkan dengan baiat. Hanya saja, kekuasaan yang diberikan itu hanyalah untuk menjalankan syariat Islam (kedaulatan Allah) semata.
Dalam praktek pada masa kekhilafahan, Islam telah menyerahkan hak ini kepada kepala negara (khalifah) yang terpilih dalam pemilihan umum. Kepala negara diangkat oleh umat. Oleh karena itu, di dalam Islam kekuasaan berada di tangan umat. Siapapun yang terpilih, maka ia berhak menduduki jabatan sebagai kepala negara.
[3]. Khalifah yang dipilih dan dibaiat rakyat haruslah satu orang saja dan ini merupakan kewajiban bagi kaum muslimin.
Berkaitan dengan masalah pemerintahan, kekuasaan dan ketaatan kepada ulil amri, serta keterkaitannya dengan hukum syara’ dan penolakan terhadap hukum thagut (kufur), maka ada dua hal yang penting untuk dikaji. Masalah pertama, kewajiban mengangkat seorang pemimpin (kepala negara). Kaum Muslimin wajib mengangkat seorang ulil amri dan mentaatinya.
Ulil amri adalah penguasa yang mempunyai kedudukan paling tinggi dalam kepemimpinan Islam. Ia adalah khalifah (Imam Al A’dzam) yang mengatur seluruh urusan umat Islam (Wali Al Amri). Oleh karena itu, taat kepada khilafah adalah suatu kewajiban syar’i atas kaum Muslimin. Dalil di atas adalah sekaligus sebagai kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mewujudkan adanya Khalifah (Wali Al Amri). Masalah Kedua, semua hal selalu terkait dengan hukum syara’.
Dalam pembahasan sistem kekhilafahan ini, memang Al Quraan tidak menjelaskan secara tegas apakah di dunia ini boleh ada lebih dari satu kepemimpinan Islam. Masalah ini menjadi penting bagi seluruh kaum Muslimin semenjak tercetusnya ide “Pan Islamisme” oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh.
[4]. Khalifah berhak mentabani hukum.
khalifah sajalah satu-satunya yang berhak untuk menetapkan hukum
Pengaruh Penjajah Terhadap Sistem Politik Pemerintah Di Timur Tengah
Renaisance yang terjadi di Eropa membawa perubahan besar bagi konstelasi dunia. Perlahan bangsa-bangsa Eropa mulai bersinar di kancah dunia. Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris mulai menjadi negara-negara yang berpengaruh dikancah politik dunia, menandingi hegemoni dari khilafah Turki Utsmani, pewaris kekhilafahan Islam. Perlahan tapi pasti terjadi penjelajahan dunia yang berujung kepada imperialisme dan kolonialisme. Dan proses ini bersentuhan juga dengan kawasan Timur Tengah.
Beberapa faktor yang mendukung proses kolonialisasi di kawasan Timur Tengah, beberapanya adalah:
1. jarak yang dekat dengan Eropa Selatan
2. jarak yang jauh dari pusat dan jantung Islam di Asia Barat
3. lemahnya tradisi Islam
4. proporsi keturunan Berber dan Eropa yang lebih banyak membuat penduduk lebih bertindak mandiri
Di daratan Arab, wilayah Afrika Utara merupakan wilayah yang pertama lepas dari kekhilafahan Turki Utsmani. Aljazair merupakan negeri yang pertama kali lepas ketika tahun 1830, pasukan Prancis mendarat dan 18 tahun kemudian negeri itu dideklarasikan sebagai bagian dari wilayah Prancis. Tahun 1881, Prancis menguasai Tunisia, dan seperti Aljazair diberikan status negara protektorat. Tahun 1901 Prancis menaklukan Maroko. Tripolitania direbut oleh Italia dan menjadi negara Libya tahun 1934.
Kolonialisme tentunya melahirkan pemikiran baru dalam khazanah perpolitikan negara jajahan. Sistem politik Islam mendapatkan bandingan dari sistem politik yang dianut negara penjajahnya. Setidaknya ada 2 respon yang muncul;
1. menolak, dengan anggapan sistem Islam sudah final. Dan sikap ini melahirkan perlawanan secara total kepada negara penjajahnya.
2. menerima, tentunya berkat proses edukasi yang dilakukan negara penjajah terhadap warga pribumi. Dan penerimaan ini bisa bersifat total, sampai mengadopsi penuh sistem politik yang diterapkan negara penjajah. Juga dapat berupa penyesuaian dengan sisa-sisa pemikiran Islam yang masih tinggal.
Lahirlah model sistem pemerintahan Republik, Kerajaan, dengan berbagai variannya.
Perbandingan Sistem Pemerintahan
Perbedaan Dengan Theokrasi
Theokrasi berasal dari bahasa Yunani Theos (Tuhan) dan kratos (kekuasaan). Istilah theokrasi biasa digunakan untuk menyebut sistem politik yang didasarkan atas kekuasaan Tuhan yang diwakili oleh kekuasaan spiritual sekaligus menguasai kekuasaan politik (Dr. Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi, hal 369).
Menurut Ensiklopedi Indonesia (Hassan Sadily, dkk.) theokrasi digunakan oleh kerajaan-kerajaan kuno yang mengaku mendapatkan legitimasi kekuasaan dari dewa atau Tuhan, misalnya kekaisaran Jepang. Disamping legitimasi kekuasaan dari Tuhan yang tak bisa diganggu-gugat, dalam negara theokrasi para pemimpin negara dianggap mendapatkan wewenang untuk membuat hukum dan sekaligus menariknya kembali kapan saja tanpa koreksi dari yang lain.
Menurut Syibly Al Isamy, negara theokrasi adalah negara di tangan para pemimpin gereja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka batasi di dunia, tentu dibatasi pula di langit. Tak seorang pun manusia boleh berkata kepada para pemimpin gereja itu, “Engkau telah berbuat buruk, engkau telah berbuat salah”. Sebab dengan perkataannya itu berarti telah menentang Tuhan yang telah mewakilkan kepadanya (Al-Qardhawy, 1999:81).
Bahkan kesucian pemimpin alias penguasa (Imam) itu menurut Imam Khomeini, berada pada martabat yang sangat tinggi, yang tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat. (lihat Al Imam Al Khomeini, Al Hukumah Al Islamiyah, hal 52).
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa dalam negara theokrasi, kekuasaan dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan legitimasi dari Tuhan bukan dari rakyat. Oleh karena itu rakyat tidak berwenang untuk mencabutnya dari kursi kekuasaan. Disamping itu, tatkala penguasa membuat hukum, dia berkedudukan sebagai wakil Tuhan yang berwenang mengatur kehidupan di muka bumi. Dengan demikian berarti kedaulatan (as siyadah/sovereignty) dan kekuasaan (as sulthon/autority) berada di tangan seorang atau beberapa orang penguasa negara theokrasi itu sendiri.
Setidaknya ada empat perbedaan antara sistem khilafah dengan sistem theokrasi; Pertama, legitimasi kekuasaan para penguasa dalam sistem theokrasi berasal dari Allah atau Tuhan atau Dewa. Mereka mengaku wakil Tuhan dan rakyat cukup hanya menerima pengakuan mereka Dalam sistem khilafah, legitimasi kekuasaan diperoleh oleh seorang khalifah dari umat karena khalifah dipilih oleh umat rakyat secara keseluruhan atau mayoritasnya, baik secara langsung atau melalui perwakilan mereka (majelis umat/syuro). Khalifah bukanlah wakil Allah, melainkan wakil umat. Kesimpulannya, sumber kekuasaan dalam sistem khilafah adalah umat (As Sulthan lil Ummah). Lalu umat menyerahkan pelaksanaan pemerintahan itu kepada seseorang yang mereka bai’at menjadi khalifah untuk mewakili mereka. Muhammad Saw. dan para khulafaur Rasyidin mendapatkan baiat dari kaum muslimin untuk menjalankan kekuasaan guna menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. (An Nabhani, 1997:40)
Kedua, hukum yang diterapkan dalam sistem theokrasi adalah hukum yang dibuat sendiri oleh para penguasa yang mengklaim telah mendapatkan legitimasi dan wewenang dari Tuhan untuk membuat hukum sesuka mereka. Sedangkan dalam sistem khilafah, khalifah yang telah dibai’at oleh umat Islam hanyalah bertugas untuk melaksanakan hukum Allah yang terdapat dalam al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan, dalam negara theokrasi, para pemimpin/penguasa membuat hukum sendiri dengan segala kelemahan pengetahuannya sebagai manusia.
Ketiga, dalam negara theokrasi, penguasa sebagai wakil Tuhan di muka bumi diklaim tidak bisa berbuat salah. Penguasa ma’shum, dijaga oleh oleh Tuhan dari kesalahan dan dosa. Dalam sistem khilafah, penguasa justru tidak ma’shum.
Keempat, karena kemaksuman dalam poin ketiga, maka penguasa dalam sistem theokrasi tidak bisa dikritik dan dikoreksi. Sedangkan dalam sistem khilafah, kritik dan koreksi (muhasabah) adalah hak kaum muslimin sekaligus kewajiban mereka sebagai rakyat yang mewakilkan kekuasaan melaksanakan hukum Allah SWT kepada khalifah. Sebab, khalifah sebagaimana umat adalah manusia yang di dalam melaksanakan hukum Allah SWT mungkin melakukan kekeliruan. Dan pelanggaran hukum Allah SWT atau kemungkaran, apabila dilakukan penguasa, bisa menjadi sebuah bencana yang besar.
Karena itu, negara khilafah merupakan negara manusiawi —yang dipimpin manusia serta memerintah manusia biasa— bukan negara ilahiyah (theokrasi) —dimana penguasanya adalah wakil tuhan yang tidak pernah salah. (An Nabhani, 1997:157)
Perbedaan Dengan Kerajaan (Monarki)
Sistem monarki adalah bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja. Sistem ini kadangkala mengalami perubahan dari sisi pembuat hukum dan pola pengangkatan raja sehingga ada di antara para pakar politik, antara lain Leon Duguit, yang membagi sistem ini ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Monarki dengan sistem pemerintahan yang absolut
2. Monarki terbatas
3. Monarki konstitusionil
Tanpa perlu memandang perbedaan bentuk monarki itu sendiri, secara substansial ada beberapa hal yang harus dicermati dalam sistem pemerintahan monarki ini, yaitu:
Sistem pemerintahannya menerapkan sistem waris, di mana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya; seperti saat mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem khilafah tidak mengenal sistem waris. Sistem Islam telah menjadikan kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khalifah. Pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibaiat oleh umat dengan penuh ridha dan kebebasan memilih. Umar bin Khatab r.a. pernah berkata: “Siapa saja yang menyerahkan kepemimpinan kepada seseorang karena pertimbangan sanak-kerabat atau sahabatnya, padahal ia tahu bahwa di antara kaum muslimin ada yang lebih baik ketimbang dia, maka Allah dan Rasul-Nya benar-benar telah menjadikan seluruh kaum muslimin terhina”. (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukmi Fiil Islam: 91)
Sistem khilafah tidak berbentuk monarchi. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarchi, maupun yang sejenis dengan sistem monarchi. Dalam Islam, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibai’at oleh umat dengan penuh ridla dan kebebasan memilih. (An Nabhani, 1997:31)
Disamping itu, dalam sistem khilafah tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak memperoleh pemerintahan dengan cara waris. Dimana Islam telah menentukan cara memperoleh pemerintahan, dengan bai’at dari umat kepada Khalifah atau imam, dengan penuh ridla dan kebebasan memilih. (An Nabhani, 1997:32)
Dalam praktiknya, sistem pewarisan kekuasaan yang ternyata menjadi salah satu faktor yang mempercepat runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah. Juga pada masa Umayyah, sistem putra mahkota yang dipelopori oleh Khalifah Muawiyyah karena telah merampas hak-hak politik rakyat yang sudah ditetapkan dalam Islam.
Selain itu pola pewarisan jabatan menyebabkan Khilafah diperintah oleh orang-orang yang kurang matang dan tidak berpengalaman. Sepuluh orang Khalifah pertama pada masa Utsmaniyyah (sampai era Sulaiman The Magnificent, 1520-1566) adalah orang-orang yang matang. Tetapi para Khalifah sesudahnya (kecuali Murad IV, Mustafa III, dan Abdul Hamid II) adalah orang-orang yang kurang matang bahkan ada yang berada di bawah pengaruh ibunya (Sultan Osman II, 1618-1622). Selain itu nepotisme yang merebak di beberapa wilayah telah menyebabkan upaya-upaya pemisahan diri yang menguras konsentrasi Khalifah sehingga menghambat upaya konsolidasi internal.
Adanya hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, secara pribadi raja memiliki kekebalan hukum. Raja, kadang kala hanya merupakan simbol bagi umat, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, seperti raja-raja di Eropa. Atau kadang kala menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya, seperti raja di Saudi, Maroko, dan Yordania. (An Nabhani, 1997:31)
Hal ini tampak pada konsep Divine Right of Kings (Hak Suci Raja) yang muncul dalam masa 1500-1700 M, yang digunakan antara lain oleh Raja Spanyol Isabella dan Ferdinand (1479-1516), Raja-raja Bourboun di Perancis, Charles I dan Charles II di Inggris (1588-1679).
Hal ini bertolak belakang dengan sistem khilafah yang tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah atau imam dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus, karena kedaulatan sepenuhnya ada pada hukum syara’ (hukum Tuhan). Khalifah memiliki hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Tidak ada perbedaan dalam penerapan aturan dan keharusan untuk diatur oleh hukum syara’, sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat memperhatikan harta rakyatnya sampai beliau tidak mau mendapatkan uang santunan sebesar dua dirham dari baitul mal. Begitu pula beliau memerintahkan pada keluarga Marwan (sanak keluarganya sendiri) untuk mengembalikan harta yang tidak sah kepada baitul mal atau kepada pemiliknya (Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam: 287).
Raja, kadangkala hanya merupakan simbol bagi umat dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, atau bahkan berkuasa penuh bahkan menjadi sumber hukum sehingga raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya sesuka hati. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi umat, yang menjadi Khalifah namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Disamping Khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Namun, Khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka bai’at dengan penuh ridla agar menerapkan syariat Allah atas diri mereka. Sehingga Khalifah juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum serta pelayanannya terhadap kepentingan umat. (An Nabhani, 1997:31-32)
Perbedaan Dengan Republik
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik berdiri di atas pilar demokrasi, yang kedaulatannya ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta merubahnya.
Dalam sistem pemerintahan ini, perlu dicermati hal-hal berikut:
Istilah demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat dan kratos/ kratein berarti kekuasaan/berkuasa. Singkatnya demokrasi diartikan “rakyat berkuasa”, atau “government or rule by the people” (Prof. Miriam Budiardjo, idem). Gagasan ini memang bermula dari negara kota (city state) Yunani kuno abad 6 sampai 3 sebelum masehi, yang berbentuk direct democracy. Hak membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Ini dapat diselenggarakan efektif karena kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas serta jumlah penduduk pun masih sedikit. Tentu ini akan berbeda dengan kondisi negara modern seperti sekarang dimana kompleksitas masalah yang luas, dan populasi rakyat sangat besar.
Ketika memasuki abad pertengahan dengan ciri struktur sosial feodal (hubungan antara vassal dan lord), gagasan ini boleh dibilang hilang dari Eropa. Muncul kemudian monarki-monarki absolut pada masa 1500-1700 M, dimana para raja menganggap dirinya berhak atas tahta berdasar konsep devine rights of kings (hak suci raja). Eksploitasi dan penindasan rakyat atas nama agama oleh para raja tadi menimbulkan berbagai ketidakpuasan. Naiknya golongan menengah yang memiliki kedudukan ekonomi kuat dan berpendidikan, menyuarakan kecaman-kecaman terhadap model absolutisme. Akhirnya mereka mendobrak kedudukan raja-raja absolut dengan mengedepankan teori rasionalitas atau kemudian dikenal sebagai social contract. Salah satu asas gagasan ini adalah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal, artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia. Hukum ini kemudian dinamakan natural law (hukum alam). Para filusuf pencetus gagasan ini John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu, filusuf Prancis yang hidup antara tahun 1689-1755. Menurut mereka hak-hak politik mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak milik (life, liberty, property). Kemudian disusunlah suatu sistem politik yang sangat terkenal, trias politica. Berbagai revolusi sosial kemudian bergolak disulut oleh ide-ide tadi di Eropa, seperti yang terjadi di Prancis (akhir abad 18) dan revolusi Amerika atas Inggris. Baru pada akhir abad ke-19 lah gagasan-gagasan demokrasi mendapat wujud yang kongkrit sebagai program dan sistem politik. Meski pada tahap awal hanya mendasarkan pada asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage). Kini demokrasi menjadi barang dagangan yang dijajakan Barat (baca: Amerika) ke seluruh dunia dengan gencar, termasuk ke negeri-negeri muslim. Ide ini disambut gempita oleh rakyat, terlebih bila di tengah-tengah mereka berlangsung alam kehidupan yang cenderung absolut dan represif dari penguasa.
Demokrasi sebagai asas penegakkannya bertentangan dengan Islam karena dalam sistem demokrasi kedaulatan sepenuhnya berada pada tangan rakyat, sementara sistem Islam yang pilar penegaknya adalah aqidah Islam dan hukum syara’ (hukum Tuhan), memberikan kedaulatan berada pada hukum syara’, artinya yang berhak membuat aturan hanya Allah SWT, tidak ada campur tangan manusia. Khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum yang akan dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak memecat Khalifah, karena yang berhak hanyalah hukum syara’, dalam arti bahwa ketika ia tidak dapat menjaga dan penerapan aturan-aturan Allah, maka ia wajib dipecat. Akan tetapi, umat tetap berhak untuk mengangkat khalifah. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi wakil mereka dalam memberlakukan dan melaksanakan aturan Allah SWT. (An Nabhani, 1997:32)
Beberapa prinsip mendasar sistem demokrasi, antara lain:
Demokrasi adalah buatan akal manusia dan bukan berasal dari Tuhan. Demokrasi tidak bersandar pada wahyu dan tidak memiliki hubungan dengan agama (Islam) yang diturunkan Allah SWT. Hal ini disebabkan demokrasi berasal dari sejarah gelap Eropa pada masa Aufklarung (pencerahan pemikiran).
Demokrasi lahir dari aqidah faslud diin ‘anil hayah (pemisahan agama dari realita kehidupan), yang selanjutnya berimpliksi pada pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.
Asas demokrasi berlandaskan dua ide dasarnya, yaitu kedaulatan yang tertinggi di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota lembaga legislatif diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Hal ini berimplikasi pada semua keputusan dalam lembga-lembaga legislatif tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.
Demokrasi bertumpu pada empat macam kebebasan yang harus dijamin bagi setiap individu, yaitu: Kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berprilaku (personal freedom).
Dalam sistem republik dengan bentuk presidensilnya, seorang presiden memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri, sementara yang ada hanya para menteri, semisal presiden Amerika. Sedangkan dalam sistem republik dengan bentuk parlementernya, terdapat seorang presiden sekaligus dengan perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahannya dipegang oleh perdana menteri, bukan presiden, misalnya Republik Prancis dan Jerman Barat. (An Nabhani, 1997:32-33)
Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri maupun kementerian bersama seorang Khalifah sebagaimana dalam konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam sistem khilafah hanyalah para mu’awin (pembantu Khalifah) yang senantiasa dimintai bantuan oleh Khalifah. Tugas mereka adalah membantu Khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana. Ketika Khalifah memimpin mereka, maka Khalifah memimpin mereka bukan dengan kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara. Sebab dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu Khalifah dengan memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu’awin tetap hanyalah pembantu Khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.
Selain dua bentuk tersebut, baik presidensil maupun parlementer dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab di depan rakyat atau yang mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.
Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan, karena seorang amirul mukminin (Khalifah), sekalipun bertanggung jawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk memberhentikannya. Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara’ dengan penyimpangan yang menyebabkan harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah hanya mahkamah madzalim. (An Nabhani, 1997:33)
Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menteri) dalam sistem republik, baik yang menganut presidensil maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih menerapkan hukum syara’ ataukah tidak. Karena itu, selama Khalifah masih melaksanakan hukum syara’, dengan cara menerapkan hukum-hukum tersebut kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka dia tetap menjadi Khalifah, sekalipun masa jabatannya panjang dan lama. Dan apabila dia telah meninggalkan hukum syara’ serta menjauhkan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan. (An Nabhani, 1997:33-34)
Dalam sistem demokrasi memang ada kritik dan koreksi, dan ini biasanya dilakukan oleh pihak oposisi untuk kepentingan politik dari pihak oposisi, misalnya memenangkan pemilu berikutnya, bahkan menjatuhkan kekuasaan. Dalam sistem khilafah, kritik dan koreksi dilakukan oleh partai politik maupun perorangan (ulama) untuk meluruskan jalannya pemerintahan tanpa kepentingan politik, karena partai dalam sistem politik Islam tidak melakukan aktivitas pemerintahan maupun oposisi. Partai dalam sistem Islam hanya amar ma’ruf nahi mungkar.
Juga dalam sistem demokrasi, kritik dan koreksi itu menggunakan standar hukum-hukum kufur yang diadopsi oleh sistem demokrasi. Sedangkan dalam sistem khilafah, standar kritik dan koreksi adalah hukum Allah SWT. Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi tidak ada amar makruf nahi munkar. Sebab, standar amar makruf nahi mungkar itu adalah hukum syari’at Islam yang justru tidak diinginkan berlakunya oleh sistem demokrasi.
Perbedaan Dengan Kekaisaran
Sistem kekaisaran adalah sistem pemerintahan yang membedakan antara ras satu dengan yang lainnya dalam hal memberlakukan hukum di dalam wilayah kekaisaran seperti yang pernah terjadi pada kekaisaran Romawi Kuno yang menggunakan sistem divide et impera untuk menguasai dan mengembangkan wilayah kolonialnya (lihat Soehino, Ilmu Negara: 43). Sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran amat jauh dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam, sekalipun ras dan sukunya berbeda serta dalam masalah pemerintahan, menganut sistem sentralisasi pada pemerintah pusat, tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh dengan sistem kekaisaran tersebut. (An Nabhani, 1997:34)
Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. (Lihat Al Mughni jilid V hal 516, Ibnu Qudamah) Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat, apapun madzhabnya, yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. (An Nabhani, 1997:34-35)
Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan sistem kekaisaran. Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan eksploitasi serta lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wiilayah pusat. Karena wilayah-wilayah tersebut tetap dianggap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah yang satu dengan ibukota daulah Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabat pemerintahannya, sistem serta perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain. (An Nabhani, 1997:35)
Perbedaan Dengan Federasi
Sistem pemerintahan federasi adalah sistem yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum (Budihardjo, 1998:138-146).
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dengan otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Sebagaimana yang pernah dikenal dengan sebutan mudiriyatul fuyum (semacam kabupaten) ketika ibukota Islam berada di Kairo.
Kekayaan seluruh negeri Islam dianggap satu. Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. kalau seandainya ada wilayah yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka daulah Islam tidak akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya, ataupun tidak. (An Nabhani, 1997:35)
Sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun yang besar. Daulah Islam juga tidak akan sekali-kali mentolelir terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima, wali, dan amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat para qadli di setiap wilayahnya. Negara juga yang mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat pemerintahan (hakim). Disamping negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri. (An Nabhani, 1997:36)
Referensi
Buku Teks
Abdurrahman, Hafidz. 1998. Islam: Politik dan Spiritual. Singapore: Lisan Ul-Haq
Al-Bahnawasi, Salim Ali. 1995. Wawasan Sistem Politik Islam. terjemahan Mustolah Maufur. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Al-Maududi, Abul A’la. 1990. Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan
____________________. 1996. Al-Khilafah wa Al-Mulk. terjemahan Muhammad Al-Baqir. Bandung: Mizan.
Al-Qardhawy, Yusuf. 1999. Min Fiqhid Daulah Fil Islam. terjemahan Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al Kautsar
An Nabhani, Taqiyuddin. 1995. al-Khilafah. terjemahan Muhammad Al Khaththath. Jakarta: Khazanah Islam
____________________. 1997. Nidhamul Hukmi fil Islam. terjemahan Moh Maghfur Wachid. Bangil: Al Izzah
Anonim. 1997. Miitsaaqul Ummah. terjemahan Abu Afif dan M. Maghfur. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Az Zain, Samih Athif. 1981. al-Islam Khuthuthun ‘Aridhah: al-Iqtishad – al-Hukm – al-Ijtima’. terjemahan Mudzakir As. Bandung: Husaini
Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Rais, M. Amien. 1991. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan
Edward Gibbon, The Decline and Fall of the Roman Empire, tt,Volume three, Modern Library.
Philip K. Hitti, History of the Arabs, Tenth Edition, Macmillan Student Edition, 1970.
QUOTATION
Tidak ada komentar:
Posting Komentar