Senin, 07 April 2008

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

OLEH:SAHRUDDIN

SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

MATERI PERTAMA PERKULIAHAN

PENGERTIAN NEGARA

1. SEJARAH

Apa yang disebur sekarang negara dahulu bias disebut kerajaan. Atau ada kalanya juga dsebut imperium.misalnya roman empire berarti kekusaan atau negara romawi, malahan aja juga yang mengatakan seolah-olah negara adalah raja. Misalnya Louis XIV pernah mengatakan L’etat L’ est Moi (Negara adalah aku).

Orang yangmengartikan negara itu sebagai suatu daerah mencampuradukkan perkataan negara dengan negeri. Negara mempunyai arti negeri. Dengan mengatakan negeri, kita memikirkan suatu daerah, semenatara negara kita memikirkan suatu susuan kekusaan daerah dengan segala seluk beluknya. Negeri adalah istilah ilmu bumu dan negara adalah istilah politik.

Pada masa lalu istilah negata state bersal dari kata polis yang dipakai untuk menamakan negara kota di Yunani, makanya Plato menamakan bukunya ”politeia” yang berarti soal-soal kenegaraan, dan satu lagi”politics” yangberarti ilmu kenegaraan, sementara pada abad XV orang romawi mempergunakan perkataan Stato yang menjadi asal kata Statt atau State yangberarti negara.

Beberapa teori terjadinya dan timbulnya suatu Negara sebagai berikut:

  1. Teori kenyataan: timbulnya suatu negara itu adalah soal kenyataan. Apabila pada suatu ketika telah terpenuhi unsur-unsur negara (daerah, rakyat, pemerintah yang berdaulat) maka pada saat itu juga negara itu sudah menjadi suatu kenyataan.
  2. Teori ketuhanan; timbulnya negara itu atas kehendak tuhan. Segala sesuatu tidak akan terjadi apabila tuhan tidak memperkenankannya. Seperti atas berkat tuhan, by the grace of god.
  3. Teori perjanjian: negera timbul dan terjadi atas perjanjian antara orang-orang yangtadinya bebas, hidup merdeka, terlepas satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diadakan supaya kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin, supaya orang-orangtidak menjadi buas dan menjadi ancaman bagi orang lain (homo homini lupus), perjanjian ini disebut perjanjian masyarakat oleh thomas hobbes. Dapat pula perjajian antara penjajah dengan rakyat seperti kemerdekataan filipina 1946 dan india tahun 1947.
  4. Teori penaklukan. Negara itu timbul karena menaklukkan daerah lain dan rombongan manusia lain. Agar rombangan atau daerah itu tetap dapat dikuasai maka dibentuklah suatu organisasi berupa negara.

Selain itu juga suatu negara dapat terjadi karena:

  1. Pemberontaan terhadap negara lain yangmenjajahnya. Misalnya amerika terhadap terhadap inggris pada tahun 1776-1783
  2. Peleburan (fusi) antara beberapa negara menjadi satu negara baru misalnya jerman bersatu
  3. Suatu daerah yang tadinya dikuasai dankemudian melepaskan diri dan menyatakan sebagai negara baru (proklamasi kemerdekaan indonesia pada tahun 1945).

2. BENTUK NEGARA

Menurut teori modern sekarangini, bentuk negara terpenting adalah:

  1. Negara kesatuan (unitarisme)

negara kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat dimana diseluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah.

Negara kesatuan dapat pula berbentuk

    1. negara kesatuan dalam bentuk sistem sentralisasi
    2. negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
  1. Negara serikat (federasi)

suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara, yang menjadi negara-negara bagian. Negara-negara bagian ini pada awalnya dalahnegara yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri. Kemudian mereka menggabungkan diri dalam suatu negara dan negara yang berdiri itu sendiri kemudianmenjadi negara bagian dalam suatu negara federal.

Kekusaaan dan kewenangan yang lebih besar ada pada negara bagian dan hanya beberapa kekuasaan yang diberikan kepada pemerintahan federal. Seperti amerika serikat dan malaysia

3. KEDAULATAN NEGARA

Kedaualatan itu adalah kekuasaan tertinggi dalam suatunegara yangberlaku terhadap seluruh wilayah dan segenap rakyat dalam negara itu. Kedaulatan juga adalah kekuasaan penuh untuk memgatur wilayah negara tanpa campur tangan dari pemerintahan negara lain.

Darimanakah pemerintah memperoleh kedaulaan itu? Pertanyaan ini telahmenimbulkan beberapa teori tentang kedaulatan. Ada beberapa teori kedaulatan yang dikenal.

  1. Teori kedaulatan tuhan (teokrasi)

teori ini mengajarkan, bahwa pemerintah/negara memperoleh kekusaaannya yang tertinggi dari tuhan. Para penganjur ini berpendapat dunia dan seisinya dalah ciptaan tuhan. Demikian pula kekuasaan/kedaulatan yang ada ditangan raja adalah milik tuhan. Oleh karena itu raja/pemerintah harus mempergunakan kedaulatan yang diperolehnya sesua denan kehendak tuhan. Pada masa lampai raja-raja menganggap dirinya tuhan. Mengangap dirinya sebagai perjemaan wisnu dan anak tuhan. Dimesir dulu orang mengakui Ra sebagai dewa dan Yunani percaya kepada Zeus

Penganjur fahan ini adalah augustinus. Thomas aguino

  1. Teori kedaulatan rakyat (demokrasi)

menurut teori ini, negara memperoleh kekusaaan dari rakyat bukan dari tuhan atau raja. Teori ini tidak sependapat dengan teori kedaulatan tuhan dan raja dengan alasan.

    1. raja yangh semestinya memerintah rakyat dengan adil, jujur dan baik hati (sesuai dengan kehendak tuhan) namun kenyataaannya raja0raja bertindak dengan sewenang-wenang terhadap rakyat, seperti pemerintahan Louis XIV di Perancis.
    2. apabila kedaulatan raja itu berasal dari tuhan, mengapa dalam suatu peperangan antara raja yang satu dengan raja yang lain memgakibatkan kalahnya salah satu raja.

Kenyataan ini menimbulkan danmebuktikan tidak benar kedaulatan tuhan dan raja. Para pengajur faham ini adalah Rousseua,Montequieu dan Jonh Locke

  1. Teori kedaulatan negara

menurut teori ini negara itu merupakankodrat alam. Begitu pula kekuasaan tertinggi yangada pada pemimpin negara. Kedaualatanitu sudah ada semsjak lahirnya suatu negara. Kedaulatan itu sudah timbul dan terbentuk ketika terjadi perjanjian diantara orang-orang yang membentuk negatra tersebut. Negara itu merupaka sumber kedaulatan danmerupakan sumber hukum tertinggi. Hukum itu mutlak karena yang demikian merupakan kehendak dari negara yangmempunyai kekusaan mutlak. Jadi kedaualatan negara itu merupakan himpunan segala kedaulatan, perseorangand dari warganya. Didalam negara. Kemerdekaaanasli orang hilang karena diserahkan kepada negara. (teori thoas hobbes)

penganjur teori ini adalah Paul Laband dan Geog Jellinek

  1. Teori kedaualatan hukum (supremacy of law)

teori ini mengajarkan bahwa pemerintah memperoleh kekuasaan bukan dari dari tuhan, raja taupun Negara tapi berdasarkan atas hokum. Yang berdaulat adalah hokum. Baik pemerintah memperoleh kekusaaan itu dari hokum.

Penganjur teori ini adalah Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant, Leon Duquit.

4. PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN

Prof Jennings membedakan antara pemisahan kekusaan dalam arti materiil dan dalam arti formil. Adapun yang dimaksud pemisahan kekusaan dalam arti materiil adalahh dimana pemisahankekusaaan itu dibagi secara tegas dalam tugas-tugas kenegaraan, yangmemperlihatkan secara jelas antara legislatif, yudikatif dan eksekutif, sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formil adalah pembagian kekusaan tuidak dipertahankan secara tegas.

Sementara Ismail Suny dalam bukunya Pergeseran Kekusaaan Eksekutif mengambil kesimpulan, bahwa pemisahan kekusaaan dalam arti meteriil sepantasnya disebut separation of power (pemisahan kekusaaan) diperaktekkan oleh amerika serikat sedangkan yangdalam arti formil sebaiknya disebut division of power (pembagian kekuasaan) diperaktekkan oleh inggris, unisoviet dan indonesia.

5. UNSUR-UNSUR NEGARA

Pada umumnya dapat lah dikatakan, bahwa seseatu negara itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. harus ada wilayahnya
  2. harus ada rakyatnya
  3. harus ada pemerintahannya, yangberkuasa terhadap seluruh daerah dan rakyatnya
  4. harus ada tujuannnya

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

MATERI PERKULIAH KEDUA

BENTUK PEMERINTAH

Dalam bidang ilmiah dibedakan antara pengertian pemerintah sebagai organ (alat) negara yang menjalankan tugas (fungsi) dan pengertian pemerintahan sebagai fungsi dari pemerintah.

Istilah pemerintahdalam arti organ dapat pula dibedakan antara pemerintah dalam arti luas dan pemerintah dalam arti sempit.

1. Pemerintah dalam arti sempit dalam hal ini bahwa pemerintah hanya diartikan eksekutif belaka. Hal ini tercantyum dalam konstitusi bahwa presiden adalah kepala negara yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri.

2. Pemerintah dalam arti luas ialah semua organ negara yang termasuk DPR, MA, MK, KY, DPA dan semua cabang kekusaaan yang lain.

Pada zaman orde baru pada tingkat pemerintahan daerah yang disebut pemerintah daerah tidak hanya jajaran bupati, wakil bupati beserta jajaran struktuktural yang ada di dalamnya tetpi DPRD dalam hal ini merupakan bagian dari pemerintah daerah. Tentunya hal ini kabur karena keberadaan DPRD yang merupakan bagian dari pemerintah daerah akan tidak sejalan dengan fungsi yang seharusnya diemban oleh DPRD, dimana fungsi oversight, legislating dan budgeting. Fungsi ini tentunya tidak berjalan dengan maksimal kalau mereka dikatagorikan/dimasukkan bagian dari eksekutif (pemerintah daera), bagaimana mereka bisa melakukan kontrol kalau mereka dijadikan bagian dari eksekutif. Sejak kelahiran UU NO. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka keberadaan DPRD kembali ke posisi yang semestinya yang terpisah dari eksekuitf dan harus melakukan kontrol terhadap Pemerintah Daerah.

Berkenaan dengan ksimpang siuran penggunaan bentuk pemerintah ataukah pemerintahan pada tanggal 3 September1957 komisi 3 konstituante di pimpin Suripto telah mengeluarkan pendapatnya yang antara lain sebagai berikut:

”........ kelompok petugas berpendapat bahwa penggunaan istilah ”bentuk pemerintahan” itu kurang tepat. Dalam bidang ilmiah ada perbedaan antara pengertian pemerintah sebagai organ dan pengertian Pemerintahan sebagai Fungsi.

Jadi kelompok petugas yang diketuai Suripto menganggap istilah bentuk pemerintahan lebih tepat menjadi bentuk pemerintah. Dalam hal ini pemerintahan berarti fungsi dan pemerintah dalam hal ini organ yang menjalankan fungsi.

Adapun istilah asing yang equivalent dengan istilah bentuk pemerintah ialah:

1. the form of government (inggris): tidak governing

2. la forme de gouverment (perancis), tidak gouverner

3. regeringsvorm (belanda) tidak Regerensvorm

penggunaan bentuk pemerintahan yang sudah lazim dipakai ditengah dimasyarakat merupakan sesuatu yang dianggap hal biasa karena ini sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Tentunya kita yang mengerti akan hal ini tidak ikut-ikutan dan kita memakai istilah yang benar.

BENTUK PEMERINTAH YANG TERKENAL ADALAH

1. Kerajaan (monarki) ialah yang dikepalai oleh seorang raja dan bersifat turun-temurun dan menjabat untuk seumur hidup. Selain raja juga kepala negara suatu monarkhi dapat berupa Kaisar atau Syah (kaisar kerajaan Jepang dan Syah)

Ada beberapa sistem monarkhi

a. Monarkhi Absolut : seluruh kekuasaan dan wewenang ridak terbatas (kekuasaan mutlak). Perintah raja merupakan undang-undang yang harus dilaksanakan. Kehendak raja addalah kehendak rakyat. Terkenal dengan ucapan Louis ke XIV dari Perancis ( L’Etat cest moi) negara adalah saya. (mungkin model pemerintahan yang seperti ini sudah tidak eksis dan ada lagi pada zaman modern sekarang ini karena setiap negara cenderung menjadi semakin demokratis dan dipengaruhi dan bergaul dlam lingkungan global).

b. Monarkhi Konstitusional: suatu monarkhi, dimana kekusaan raja itu dibatasi oleh konstitusi (UUD). Raja tidak bisa berbuat sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi dan segala perbuatannya harus berdasarkan dan sesuai dengan isi konstitusi. Mungkin hal ini lebih cocok dicontohkan kepada negara seperti Aran Saudi walaupun secara konstitusional produk hukum yang menjadfi panutan raja bisa dipertanyakan yang bisa jadi lahir berdasarkan kehendak raja sendiri untuk melangenggan kekuasaan. Kalau mau dikatagorisasi sistem monarki menjadi dua maka arab saudi merupakan monarkhi absolut dan yang lainnya adalah monarkhi konstitusional seperti inggris yang berbentuk parlementer.

c. Monarkhi Parlementer: suatu monarkhi dimana terdapat suatu Parlemen DPR, dan ada dewan menteri, baik perseorangan dan keseuruhan bertanggungjawab sepenuhnya. Inggris, malaysia merupakan contoh dari monarkhi parlementer.

Dalam sistem parlementer, raja selaku kepala negara itu merupakan lambang negara, yang tidak dapat diganggu gugat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan (the king can do not wrong). Yang bertanggunjawab atas kebijakan pemeritahan adalah dewan menteri.

2. Republik (berasal dari bahasa latin Res publica yang artinya kepentingan umum) ialah kepala negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala negara yang dipilih oleh masa jabatan tertentu (amerika setiap 4 tahun sekali, indonesia 5 tahun sekali). Biasanya presiden dapat dipilih kembali setelah masa jabatannya habis.

Ada beberapa sistem republik

a. Republik Mutlak (absolut);

b. Republik Konstitusional: suatu negara yang berbenttuk republik dimana kepala negara dipilih dalam masa jabatan tertentu. Seorang kepala negara harus tunduk pada konstitusi. Republik konstitusional adalah sistem pemerintahan yang bisa saja berbentuk presidensial seperti indonesia, dimana kepala negara sekaligus juga merupakan kepala pemerintahn begitu juga dengan amerika serikat dimana presiden sebagai kepala negara dan juga kepala pemerintahan.

c. Republik Parlementer. Dimana kepala negara dipilih secara periodik dimana kepala negara dipilih secara langsung, sementara yang memimpin pemerintahan adalah perdana menteri. Itali merupakan contoh dari republik yang bersifat parlementer dimana kedua-duanya dipilih dan mempunyai legitimasi yang kuat.

Kedalam pengertian bentuk pemerintahan termasuk juga pemerintahan diktatur, diktatur adalah negara yang diperintah oleh seoorang diktator dengan kekusaan mutlak. Diktator memperoleh kekuasaan yang tak terbatas bukan karena turun temurun (raja) melainkan karena revolusi yang dipimpinya. Ia memerintah selama ia dapat mepertahankan dirinya.

Ada beberapa pendapat dan pertentangan apakah pengkatagirisasian monarkhi dan repubik itu merupakan bentuk negara atau bentuk pemerintah. Seperti Machiavelli, Jellinek mengatakan bahwa itu merupakan bentuk negara, sementara Kranenburg mengatakan itu bentuk pemerintah.

Dimana bentuk pemerintah mestinya dibendakan dengan pengertian sistem pemerintahan yang berkutat pada persoalan yangmeliputi kabiner parlementer/presidensial, sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi dan lain-lain.

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

MATERI PERKULIAHAN KETIGA

PERGESERAN KAJIAN PEMERINTAHAN

Pada tahap awal studi politik dan pemerintahan mencurahkan perhatiaannya pada kajian negara atau lebih spesifiknya pada lembaga-lembaga formal (government) yang diakui sebagai konstitusi. Karenanya studi politik sangat dekat dengan ilmu tata negara, bahkan seringkali disamakan. Pendefenisian studi pemerintahan klasikal ini dengan dengan demikian adalah studi tentang lembaga-lembaga formal pemerintahan (government).

Pada perkembangannya cakupan studi politik dan pemerintahan mengalami perluasan, dimana fenomena kekuasaan yang menjadi obyek utama disiplin ini bisa lagi dipahami hanya dengan melihat bekerjanya institusi-institusi formal negara. Dinamika politik dan pemerintahan bisa dipahami secara lebih komprehensif dengan memasukkan dimensi masyarakat (society). Perkembangan ini ditandai dengan lahirnya konsep-konsep demokrasi modern dan maraknya kajian-kajian tentang civil society. Perluasan cakupan studi politik dan pemerintahan terus berlanjut dan periode awal 1990 –an menjadi saksi diwacanakannya konsep governance.

Governance mendefenisikan tiga ranah penting yang harus diperhatian dalam kajian politik dan pemerintahan yaitu: negara, masyarakar, pasar dan bagaimana relasi diantara ketiga ranah tersebut. Konsep ini merupakan formulasi Bank Dunia yang merupakan rekomendasi dari studi atas negara-negara di sub-sahara Afrika. Secara objektif, governance sekarang ini menjadi wacana dominan dalam kajian ilmu politik dan pemerintahan. Pertanyaannya bagaimana konsep governance ini dipahami dalam kaitannya dengan kajian ilmu politik, khususnya studi pemerintahan?

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TENTANG PEMERINTAHAN.

Sejak awal dekade 1990-an terjadi pergeseran pemikiran tentang bagaimana fenomena politik dan pemerintahan dipahami. Adanya pergeserab fokus kajian pemerintahan dari government ke governance. Governance bukan merupakan konsep tunggal dan statis, namun telah menjadi kajian yang menarik minat banyak orsang dan melahirkan banyak variasi pemikiran. Perdebatan konsep goverance dan pemetaan variasinya akan dipaparkan.

1. Dari Government ke Governance

Dalam studi pemerintahan, governance dipahami sebagai segala relasi kekuasaan yang bersinggunangan dengan persoalan urusan publik. Pengidentifikasian urusan publik bisa dilihat dari implikasi dan sifat externalitas-nya. Dari sisi implikasi, sesuatu bisa dikatagorikan dengan urusan publik ketika menimbulkan akibat kepada orang lan atau masyarakat luas. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang menabung pohong di halaman rumahnya, maka itu adalah urusan privat. Namun ketika rubuhnya pohon ditebang tersebut menimpa kabel saluran listrik dan telpon atau menutupi jalan raya, maka hal tersebutsudah menjadi urusan publik karena menimbulkan akibat bagi orang lain dan masyarakat luas. Urusan publik juga bisa diindentifikasi dari urusan ekternalitasnya. Dalam hal ini urusan publik tidak bisa di private kan, atau diserahkan kepada individu untuk dikelola. Pencemaran masalah udara misalnya, tidak bisa diselesaikan oleh individu, namun harus dikelola sebagai urusan publik.

Dalam studi pemerintahan, governance dengan demikian ditempatkan sebagai arena dimana relasi kekuasan yang berkaitan dengan urusan publik tersebut. Secara jelas, bagaimana relasi kekuasaan tersebut terjadi di masing-masing arena (negara, pasar dan masyarakat) dan juga bagaimana relasi kuasa diantara ketiga arena tersebut dalam kontestasi urusan publik. Negara misalnya tidak lagi dipahami urusan publik berlangsung. Kajian pemerintahan yang fokus pada persoalan urusan publik karenanya berada dalam kerangka dinamis, multi dimensi, multi arena dan multi level.

Governace yang dalam studi pemerintahan dimaknai sebagai arena berlangsung relasi kuasa yang berkaiitan denga urusan publik tersebut selama 15 tahun terakhir telah menjadi wacana dominan.popularitas governance sejak akhir tahun 1980 an, istilah governance mulai digunakan untuk pengertian yang berbeda. Takkala governance dipopulerkan pada akhir tahun 1980 an, istilah ini digunakan untuk menunjuk pergeseran kajian studi pemerintahan dari government yang melihat pada struktur formal pemerintahan yang hirarkis, ke governance yang melihat dinamika politik dan pemerintahan pada arena yang luas dan berkarakter nasional.

Pergeseran paradigma dari government ke governance tersebut lebih dimaksudkan untuk menunukkan gelombang baru reformasi pemerintahan. Istilah government reform, democarcy dan sejenisnya, dianggap telah banyak mengalami inflasi dan tidak mampu menarik perhatian untuk menggerakkan semangat reform. Oleh karena itu, diperlukan kemasan baru government reform kali ini adalah berbeda dengan reform yang ada sebelumnya. Penggunaan istilah governance digunakan untuk menegaskan perlunya arah dan semangat baru reformasi pemerintahan. Istilah governance telah digunakan untuk menegaskan signifikansi perlunya perubahan proses, metode dan capaian kepemerintahan.

Penggunaan istilah governance sebagai konsep yang berbeda dengan government, mulai dipopulerkan secara aktif oleh Bank Dunia sejak tahun 1989. Dalam laporannya yang sangat terkenal yang berjudul ’’ Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth’’. Dalam laporan ini, Bank Dunia (1989) mendefenisikan governance sebagai ‘’ exercise of political power to manage nation’’. Selanjutnya, laporan ini menekankan bahwa legitimasi politik dan consensus dan peran Negara tidak lagi bersifat regulative tetapi hanya sebatas fasilitatif. Oleh karena itu legitimacy politik and concencus yang menjadi pilar utama bagi good governance versi Bank Dunia dan pembangunan hanya bisa berjalan dengan bagus dengan pelibatan actor non Negara yang seluar-luasnya dan membatasi keterlibatan Negara (pemerintah).

Dengan merujuk pada kasus Afrika, argument di seluruh laporan ini menekankan pemerintah adalah sumber kegagalan pembangunan. Oleh karena itu, untuk membangun kepemerintahan yang baik, maka pemerintah harus dikurangi (less government). Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber dari pemerintahan yang buruk (bad governance). Kepemerintahan yang burukitu, dalam operasionalisasi Bank Dunia adalah pemerintahan yang tidak representative serta sistem non-pasar yang tidak efisien, yang dalam prakteknya menjadi sumber kegagalan pembangunan di Afrika. Laporan ini merupakan tonggak perubahan orientasi Bank Dunia dari penjelasan teknokratis terhadap pembangunan menjadi politik.

Wacana yang diinisiasi oleh Bank Dunia ini terus menggelinding, yang kemudian membuat good governance menjadi slogan yang popoler, termasuk di indonesia. Ide utama yang melihat pemerintah sebagai sumber masalah daripada sebagai solusi ini terus menambah, melahirkan pendefenisian governace yang lebih menekankan pada peran aktor-aktor di luar pemerintah.

Untuk menunjukkan perbedaan yang cukup tajam dengan defenisi diatas. Tokyo institute of technology menegaskan bahwa ’’ the concept of governance refers to the set of values, norms,processes and institutions by which society manages its development and resolves conflict, formally and informally’’. Dalam defenisi ini pengertian governance justru ditekankan pada perilaku dan kapasitas masyarakat untuk mengelola kepentingan bersama, termasuk kapasitas dalam memanfaatkan pemerintah dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan public.

Defenisi serupa bisa ditemukan dalam banyak literature, terutama dalam dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga internasional. Sebagai misal, UNDP melihat governance sebagai ’’ the exercise of economic,political and administrative authority to manage a contry’s affairs at all levels (which) comprises mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences’’. Kemudian UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik good governance yaitu: partisipasi, transparansi, akuntabel, efektif dan efisien, rule of law, responsive,consensus oriented, serta equity and inclusiveness.

Sementara itu Negara-negara besar yang tergabung dalam OECD mendefenisikan governance sebagai ‘’ the use of political authority and exercise of control in a society in relation to the management of its resources for social and economic development’’. Lebih spesifik, pemerintah inggris dalam hal ini ODA, menjelaskan karakteristik good governance mencakup legitimacy, accountability, competency, law enforcement and human right. World Bank mengemukakan characteristic good governance sebagai: predictable, executive yang dapat bertanggungjawab, professional bureaucracy and aturan yang jelas. Sementara itu, the commission on global governance mengertikal governance sebagai ‘’ the sum of many ways individuals and institutions,public and private, manage their common affairs’’. Dalam bahasa komisi ini, governance merupakan proses yang melalui mana perbedaan kepentingan diakomodasi dan diwujudkan dalam praktek.

Melihat rumusan-rumusan governance di atas, key word in the concept of governance is consencus by which perbedaan kepentingan can be accommodated, dan sinergi dapat di bangun. Selain mengharapkan bekerjannya institusi Negara secara baik, governance juga merujuk pada penguatan institusi-institusi pasar dan civil society untuk mengimbangin dominasi Negara yang sebelumnya menjadi sumber kegagalan pembagunan. Pertanyaannya kemudian, apa yang perlu dipermasalahkan dengan governance?

2. Memetakan Pemikiran Governance

Sebagai wacana dominant concept of governance telah memantik perdebatan seru dalam kajian ilmu politik dan pemerintahan.a sum of critics is addressed to the concept of governance yang sangat heavy markret, dan merupakan produk dari menguatnya kembali pasar yang terwujud dalam gerakan neo liberalism.

Konsep tersebut mendefenisikan secara tegas akan pemisahan ranah Negara, pasar dan masyarakat. Pembagian ranah tesebut telah menfasilitasi pasar sebagai pemegang kekuasaan terbesar, sementara kapasitas negara mengalami pelemahan dan masyarakat dan masyarakat diposisikan sebagai konsumen dalam logika pasar tersebut. Urusan-urusan publik dikelola dengan semangat pasar dan akibatnya pelayanan urusan publik pun hanya diakses oleh mereka yang menitik berartkan kekuatan untuk bertransaksi dengan pasar. Critic towards governance (kritik terhadap governance oleh diantara ketiga ranah tersebut, terutama apabila berkaitan dengan urusan-urusan untuk menempatkan citizenship sebagai muara dari semua proses relasi kekuasaan yang berkaitan dengan urusan publik.

On theoritical level, the critic towards governance that defining pemisahan ranah-ranah di atas telah melahirkan variasi konsep. Beberapa diantaranya adalah: community governance (sommerville 2003),, network governance (Sorensen 2002) dan new regulatory state (kanishka jayasuriya 2004).

a. Network Governance

Terjadinya transformasi besar dalam memahami sistem politik dan pemerintahan dari konsep government yang terorganisasi secara hirarkis dengan sistem kesatuan yang dilengkapi perangkat hokum, peraturan dan tata tertib menuju governance yang lebih horizontal dengan jaringan pengaturan yang madiri (self-regulating network). Transformasi tersebut terjadi dikarenakan, meningkatnya peran lembaga politik internasional, teknik administrasi baru yang mendukung pengaturan sendiri (self-regulating) yang terlembaga dalam sistem politik dan kerjasama yang insentif antara pemegang otoritas public dan actor private baik sebagai pasar maupun civil society.

Dalam beberapa hal network governance (NG) telah menghadirkan tantangan terhadap demokrasi liberal. Pertama, NG memandang rakyat bukan sesuatu yang given, namun merupakan hasil dari proses politik. Kedua, NG menghadirkan kritik terhadap model perwakilan. Konsep perwakilan hakekatnya bukanlah cermin masyarakat, tetapi dia adalah bagian ’masyarakat yang lain’. Hal ini merujuk pada pandangan elitisme perwakilan, partikularisme perwakilan dan perwakilan terbatas. NG juga mempertanyakan karakter otonom dari konsep perwakilan. Untuk itu NG menawarkan model partisipasi politik memberikan yang memberikan hak legitimasi kepada para aktor untuk merekontruksi indentitas yang diwakilinya dan membuat keputusan politik yang merujuk kepada indentitas kelompok yang diwakilinya. Meskipun mengajukan kritik terhadap governence yang berbasis pada logika pasar dan persaingan bebas, namum NG masih memberi ruang bagi logika tersebut dengan catatan harus tersedia akses bagi citizen yang memadai.

Ketiga,NG memandang administrasi tidak harus a-politis, karena pada kenyataannya sebenarnya administrasi memiliki pengaruh besar dalam proses policy, karena keterlibatannya yang langsung dan bahkan menentukan. Bahkan Lennart Lundquit (2000) memandang administrator publik memainkan fungsi sebagai catalist bagi proses kebijakan yang demokratis. Sedangkan politisi berada pada posisi mewakili kepentingan pemilih yang beragam. Persoalannya kemudian adalah bagaimana mengkonseptualisasikan dan melembagakan peran co-produser administrasi dalam proses interaksi kekuasaan ini. Keempat, NG melihat sistem politik dan sistem sosial tidak mesti separated karena pada dasarnya saling mendukung dalam membangun persamaan/keadilan politik dalam masyarakat plural. kapasitas sosial masyarakat bisa dikembangkan dengan dukungan akses (endowment) dan pemberdayaan (empowerment). Social capacity can be improved with endowment and empowerment.

b. New Regulatory State

Fokus dari New regulatory State (NRS) adalah outcomes atau produk kebijakan yang dihasilkan oleh negara. Specifically explaining two models in making policy, yaitu model atribut dan relitional. Model atribut menekankan transformasi kapasitas proses pembuatan kebijakan yang efisiens yang melibatkan actor-actor governance termasuk yang berada di luar garis batas Negara. Hal ini menekankan pentingnya pengaruh institusi politik beyond negara dalam proses kebijakan, ang terrefleksikan dalam multi layer governance (MLG). MLG sendiri merupakan alternative atas model westphalian, yang menarik garis batas secara tegas antara domestic dan internasional. European union (EU) dalam kaitanini merupakan model utama dari sistem politik beyond state yang berwujud multi layer of governance.

model proses kebijakan selanjutnya adalah relational, yangmelihat bagaimana governance meningkatkan kapasitasnya sebagai respon terhadap keniscayaan interaksi dengan aktor global. Proses policy dengan demikian berada dalam situasi yang dinamis. kekuatan global dan keterlibatan aktor-aktor di luar negara tidak berarti melemahkan eksekutif,melainkan meredefenisikan posisi kekuatan eksekutif dalam new regulatory state. eksekutif kemudian menjalankan apa yang di sebut sebagai governance of governance. karakter model relational diantaranya;

1. Keterlibatan publik yang luas dalam governance, misalnya civil society dan jaringan kebijakan global.

2. Melampaui batas negara ala weberian dan westphalian yang melihat sovereignty of state sebagai kekuatan absolut dan,

3. Transformasi governance ke dalam meta-governance yang ditandai dengan keterlibatan, legitimasi dan monitoring berbagai sumberdaya governance (actor) dan pengaturan.

Meta- governance ini mendelimitasi ranah-ranah partikulir governance yang selama initegas didefenisikan.

Community Governance

Visi utama dari community governance (CG) adalah untuk memperkuat kapasitas pemerintahan dan masyarakat pada aras local, melalui pemberdayaan pemerintahan yang partisipatif. pemerintahan partisipatif bias di dorong dengan cara meningkatkan kapasitas dari masyarakat dalam proses policy dan dengan meningkatkan kapasitas akuntabilitas dan transparansi dari sisi pemerintah. CG dengan demikian mempersyaratkan aliansi antar actor atau lebih mudahnya disebut sebagai kerjasama antar actor dalam satu komunitas.

Ada tiga perspektif community governance yang teridentifikasi: municipalist, network dan citizen. perspektif municipalist menekankan pada bentuk demokrasi asosiasif, dimana asosiasi-asosiasi sukarela menangani penyediaan/penyampaian jasa kepada masyarakat sipil. kasus keterlibatan asosiasi –asosiasi masyarakat di Denmark dalam prose penyedian pelayanan wefare adalah contoh yang bias menjelaskan bagaimana beekerjanya bentuk demokrasi asosiatif ini. perspektif network melihat bagaimane pemerintahan yang secara klasikal bersifat hirarkis dijalankan dengan pola baru yang menekankan pada aspek jaringan dan kerjasama yang melibatkan berbagai lembaga yang ada dalam komunitas, baik pasar maupun civil society. hubungan relasional antar ranah governance dengan demikian menjadi kata kunci atau lebih tegasnya perspektif ini berkontribusi dalam mengaburkan pengklausteran tegas yang didefenisikan dalm model govermant ala World Bank. sedangkan persepktif citizen menunjuk pada kemampuan komunitas untuk memgontrol lemebaga pemerintahannya, dengan asumsi bahwa komunitas tersebut dibangun dari basis pertentangan (neighbourhood).

Jika dipahami secara mendalam, tiga konsep diatas memiliki spirit yang sama, yaitu bagaimana keluar dari traping ranah atau kluster yang didefenisikan dalam governance untuk memahami segala bentuk relasi kekuasaan yang berhubungan dengan urusan public. sejumlah kata kunci bias disebutkan untuk menggambarkan upaya keluar dari traping tersebut diantaranya: citizenship, network governance, community governance, state capacity for regulating, multi arena, multy dimencyi, multi reality dan metagovernance.

Menjadikan governance sebagai bagian penting dari kajina studi pemerintahan oleh karena berada dalam spirit untuk memahani segala bentuk relasi kekuasaan dalam urusan publik dengan keluar dari jebakan klustering ranah yang sangat kuat diwacanakan dalm 15 tahun terakhir.

SISTEMPEMERINTAHAN INDONESIA

MATERI PERKULIAHAN KEEMPAT

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA

PROLOG

Mencari Sistem Pemerintahan Negara“ karena didorong oleh keprihatinan yang mendalam mengikuti perjalanan kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia setelah MPR-RI dalam waktu 4 tahun sejak 2001 telah mengadakan perubahan mendasar terhadap Undang Undang Dasar 1945.

Masalah Sistem Pemerintahan Negara perlu dipahami karena selama ini pemahaman praktisi dan teoritisi Indonesia tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang melandasi perubahan UUD 1945 terlalu didorong oleh semangat untukk menjungkirbalikkan Orde Baru dengan seluruh tatanannya dan sistemnya, tetapi kurang didukung oleh pengetahuan konseptual tentang sistem pemerintahan negara.

Sebagai warga bangsa kita menyaksikan dan merasakan berbagai perkembangan yang menghawatirkan dalam kehidupan kenegaraan setelah UUD hasil 4 kali amandemen dilaksanakan. Kekuasaan legislatif yang „too strong“ ternyata telah berkembang menjadi salah satu faktor penyebab lambannya pelaksanaan berbagai kebijakan dan program eksekutif yang pernah dijanjikan selama masa kampanye Calon Presiden dan Wakil Presiden. Posisi politik Presiden SBY yang amat lemah, karena diusung oleh partai minoritas, telah menyebabkan beliau haurs mengadakan akomodasi politik dengan partai politik yang berakibat Kabinet Indonesia Bersatu tidak didukung sepenuhnya oleh perofesional seperti yang semula diinginkan oleh Presiden. Pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) sempat mendominasi pemberitaan di berbagai media di tanah air pada akhir Oktober dan awal November, dan sempat menjadi ganjelan dalam hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden, seperti nampak dari wajah-wajah tegang beliau berdua ketika duduk berdampingan dalam kereta golf di halaman Istana Negara. Political gridlock atau kebuntuan politik seperti yang kita alami sekarang ini telah menjadi pertimbangan utama para Bapak Bangsa sehingga pada Rapat Badan Penyelidik Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 14 Juli 1945 ditetapkan Negara Republik Indonesia tidak akan menggunakan Sistem Parlementer dan Sistem Presidensial karena masing-masng mengandung kelemahan dan kekurangan.

Pada Sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 dengan pokok pembahasan Undang-Undang Dasar, Dr. Soekiman memprediksikan kalau Sistem Presidensial diterapkan dalam konteks politik multi partai, stabiliteit pemerintahan akan tidak tercapai apabila Presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan DPR dikuasai oleh partai mayoritas. Agar kondisi seperti itu tidak terjadi dalam penyelenggaraan Negara Repbulik Indonesia, beliau mengusulkan agar Indonesia menerapkan susunan pemerintahan „sistem sendiri“. Sebagai bangsa, kita nampaknya harus terus mencari sosok Sistem Pemerintahan Negara yang mampu menciptakan stabiliteit politik yang diperlukan sebagai landasan pembangunan nasional. Padahal tanpa pembangunan yang masih sangat memerlukan investasi modal dan teknologi dari luar negeri Pemerintah tidak mungkin dapat menciptkan kesejahteraan untuk seluruh bangsa Indonesia sebagaimana yang dicitacitakan

oleh para Pendiri Negara.

Sejak UUD 1945 diberlakukan pada 18 Agustus 1945, konstitusi pertama tersebut telah ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pemerintah yang menjalankannya. Antara 1945 sampai 1949 dan antara 1959 sampai 1966, UUD 1945 telah dilaksanakan dengan beberapa modifikasi dalam susunan pimpinan pemerintahan negara. Indonesia pernah menggunakan dual-executive sistem, dengan Presiden sebagai Kepala Negara dan perdana menteri sebagai Kepala Pemerintahan. UUD yang sama pernah ditafsirkan

sebagai single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal 4 sampai 15 dan Presiden menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala Pemerintahan. Antara 1966 sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan konsentrasi kekuasaan amat besar pada Presiden (too stong presidency). Sejak 2002, dengan berlakunya UUD hasil amandemen, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan keuasaan yang lebih besar (stong legislative). Antara 1949 sampai 1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahn yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu 4 tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999).

Apakah cita-cita para pendiri negara bangsa untuk membentuk pemerintahan negara konstitusional yang demokratis serta yag sesuai dengan corak hidup bangsa dapat tercapai apabila rel – UUD setiap bangsa dapat diibaratkan sebagai rel yang menuju ke tujuan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa – yang mengatur perjalanan pemerintahan bangsa tersebut setiap kali diubah arahnya dan dibelokkan? Kondisi seperti itulah yang sedang kita alami sebagai bangsa pada saat ini setelah MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di seluruh Indonesia, adalah upaya untuk mengadakan peataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidnag politik, ekonomi, hukum dan social. Menurut Imawan (Yogyakarta, UGM, 2004) tujuan utama gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan demokratisasi kehidupan politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan (distribution of power) yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemrintah pusat dan pemrintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam proses politik.

Sebetulnya Gerakan Reformasi tersebut merupakan momentum yang amat baik bagi MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi untu mengadakan amendemen UUD 1945 untuk menciptakan sistem pemerintahan negara yang lebih dapat menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis. Sayangnya peluang emas tersebut tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amandemen UUD telah menghasilkan sistem pemerintahan baru, sistem presidensial, yang menyimpang dari bentuk dan susunan negaara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats fundamentanorm sistem pemerintahan Indonesia.

Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 2002 hasil amandemen bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004).

Negara Kekeluargaan

Pembentukan negara-negara moderen tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya dua faham atau mazhab pemikiran tentang hubungan negara dengan warga negara.

Uraian lengkap tentang konsep Negara Kekeluargaan dapat dibaca dalam tulisan Dr. Bur Rsuanto, “Negara Kekeluargaan: Soepomo vs Hatta” dalam Kompas, 1999. Penindasan para raja – yang seringkali mempersonfikasikan diri sebagai negara, l’etat c’est moi -- selama berabad-abad di Eropah telah mendorong kelahiran Gerakan Renaissance, yang memberikan pengakuan hak individu dari setiap warganegara. Faham individualisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke. Jean Jacques

Rousseau, Herbert Spencer, dan H.J. Laski, telah mewarnai seluruh aspek kehidupan bangsa-bangsa Barat dan menjadi nilai dasar dari sistem politik demokrasi yang berkembang, setelah bangsa-bangsa tersebut mengalami penindasan oleh para penguasa absolut dalam negara monarki absolut. Menurut faham individualisme, negara ialah masyarakat hukum yang disusun atas dasar kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat (social contract).

Aliran kedua adalah faham kolektivisme, yang tidak mengakui hak-hak dan kebebasan individu, beranggapan persatuan yang dilandaskan pada ikatan kesamaan ideologi atau keunggulan ras sebagai dasar dalam penyusunan negara yang terdiri atas pimpinan atau partai sebagai suprastruktur dan masyarakat madani sebagai struktur.Faham kolektivisma kemudian cenderung berkembang menjadi pemerintah diktator totaliter seperti dialami bangsa Jerman di bawah Hitler, Uni Soviet di bawah pemerintahan komunis, Italia di bawah Mussolini, dan RRC di bawah pimpinan Mao Zedong.

Faham kolektivisme mempunyai beberapa cabang pemikiran, diantaranya yang dikenal sebagai teori kelas (class theory) yang dikembangkan oleh Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat oleh suatu kelas untuk menindas kelas yang lain. Negara ialah alat golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat untuk menindas golongan atau kelas ekonomi lemah. Negara kapitalistik adalah alat golongan bourgeoisi untuk menindas kaum buruh, oleh karena itu para Marxis menganjurkan revolusi politik kaum buruh dan kelompok tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan negara dan menggantikan kaum bourgeoisi. Cabang yang lain adalah seperti yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai teori integralistik.

Menurut pandangan teori ini, negara didirikan buknalaah untuk menjamin kepentingan individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan. Negara adalah suatu masyarkat yang integral, segala golongan, bagian dan anggotanya satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan masyarakat yang organis Yang terpenting dalam kehidupan bernegara menurut teori integral adalah kehidupan dan kesejahteraan bangsa seluruhnya.

Harus kita fahami, gerakan kemerdekaan Indonesia memandang faham individualisme yang dipeluk oleh bangsa-bangsa Barat adalah sumber dari kapitalisme, kolonialisme/imprealisme yang mereka tentang habis-habisan. Para founding fathers nampaknya mempunyai interpretasi yang berbeda tentang faham kekeluargaan. Bung Karno yang menangkap kekeluargaan bangsa Indonesia lebih dari dinamika dan semangatnya. Hatta memaknai kekeluargaan secara etis. Sedangkan Prof. Soepomo menafsirkan kekeluargaan lebih sebagai konsep organis-biologis. Hampiran metateoretikal yang berbeda tersebut menghasilkan interpretasi yang berbeda pula tentang konsep kekeluargaan. Bung Karno menginterpretasikan kekeluargaan sebagai semangat gotong royong, Bung Hatta memandang kekeluargaan secara etis sebagai interaksi sosial dan kegiatan produksi dalam kehidupan desa, yang bersifat tolong menolong antar sesama.

Dasar dan bentuk susunan susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa. Karena itulah setiap negara membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik, hukum dan struktur sosialnya. Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo dalam rapat BPUPK tanggal 31 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indnesia yang akan dibentuk “… harus berdasar atas aliran fikiran negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongangolongannya dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998: 55). Dalam negara yang integralistik tersebut, yang merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia, menurut Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya. Inilah interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut

oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong.

Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga. Hatta, berbeda dengan Sukarno dan Soepomo, menerjemahkan faham kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan Indonesia. Intinya adalah semangat tolong menolong atau gotong royong. Karena itu dalam pemikiran Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme a la Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama.

Jadi, kolektivisme oleh Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan Bintang, 138-144).

Demokrasi asli Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura, suatu forum untuk musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest, suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa. Negara kekeluargaan dalam versi Hatta, yang disebutnya Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks moderen (Rasuanto, Kompas, 1999). Pada negara moderen, lembaga syura ditransformasikan

menjadi majelis permusyawaratan rakyat dan badan perwakilan rakyat, tradisi massa protest merupakan landasan bagi kebebasan hak berserikat, hak berkumpul, dan hak menyatakan pendapat, dan kolektivisme diwujudkan dalam bentuk ekonomi nasional yang berasaskan kekeluargaan, dalam bentuk koperasi serta tanggungjawab pemerintah dalam menciptakan keadilan dalam kegiatan ekonomi rakyat.

Dalam perkembangan negara kekeluargaan tersebut, Hatta telah memprediksikan akan terjadinya tarikan kearah semangat individualisme yang semakin kuat dalam segala kehidupan rakyat, khususnya dalam ekonomi. Individualisme, menurut Hatta, jangan dilawan dengan kembali ke kolektivisma tua, melainkan dengan “mendudukkan cita-cita kolektivisma itu pada tingkat yang lebih tinggi dan moderen, yang lebih efektif dari individualisme“ (Hatta, Demokrasi Ekonomi, UI Press, 192, 147).

Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei - 1 Juli dan dari 10 - 17 Juli 1945, dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18-22 Agusutus 1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar negara (Setneg, 1998: 7-147). Bung Karno, bung Hatta dan Prof. Soepomo adalah tiga tokoh yang menyatakan pembentukan negara Repbulik Indonesia didasarkan atas corakhidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.

Sistem Pemerintahan Sendiri

Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.

Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab

kepada Presiden.

Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan membawa bangsa ini semakin dekat dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara? Apakah sistem pemerintahan negara yang tidak konsisten dengan harapan para perancang konstitusi seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan menjamin kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?

Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentangs sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang

Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap rapat-rapat BPUPK sekitar 11 – 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman pandangan para founding fathers tentang sistem pemerintahan negara. Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia.

Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan lagi di negara Eropah Barat.

Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.

Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat dbemokrasi. Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“ sesuai usulan Dr. Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil BPUPK. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.

Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial.

Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undangundang.

Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.

Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR. Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bikameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lwmbaga permusyawaratan perwakilan.

Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya

politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.

Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial. Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia.

Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi: “Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang

menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara ... Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan

legislatif ... „ Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.

Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasalpasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satusatunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum

dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen UUD 1945 dilakukan.

Mencari Sistem Pemerintahan

Sekarang semakin jelas prediksi para Bapak Bangsa dan Pendiri Negara yang meragukan kemampuan Sistem Presidensial dalam lingkongan politik yang terfragmentasi. Karena itu proses bagi bangsa Indonesia proses pencarian Sistem Pemerintahan Negara yang paling sesuai dalam arti paling mampu menciptakan stabilitas politik yang merupakan prasyarat utama dalam pembangunan sistem pemerintahan negara yang efektif dan mantap asih harus belum berakhir.

Proses pencarian itu pernah dan masih akan dialami oleh banyak bangsa di dunia. Amerika Serikat, yang dikenal sebagai contoh negara yang memiliki Sistem Presidensial yang paling mantap di dunia, telah mengalami dan menjalani proses pencarian tersebut sekitar 100 tahun setalah Sistem Presidensial diterapkan dalam lingkungan politik Amerika Serikat yang ketika itu memiliki 7 partai. Dari tulisan-tulisan Woodrow Wilson (1879 dan 1884), Alexander Hamilton (1787) dan James Madison (1787) yang dikenal dengan The Federalist Papers dapat diikuti diskursus nasional tentang Sistem Pemerintahan Negara. Wilson dalam beberapa tulisannya bahkan berusaha menyakinkan bangsanaya untuk menerapkan Sistem Pemerntahan Kabinet yang merupakan ciri Sistem Parlementer. Usulan Wilson tersebut ternyata kurang mendapat respons posisit dari para politisi Amerika Serikat. Sebagai bangsa besar yang amat menghargai jasa dan pemikiran founding fathers, rakyat Amerika memilih untuk tetap mempertahankan The Constitution of 1787 dan menyesuaikan dengan perkembangan bangsa dan negara secara bertahap melalui amandemen yang prosesnya tidak mudah. Selama 230 tahun Amerika Serikat telah mengadakan 27 kali amandemen, atau rata-rata 9 tahun setiap amandemen, sebagai tambahan atas Konstitusi yang asli.

Bagaimana Indonesia keluar dari kondisi political gridlock yang terjadi karenaCabang Eksekutif terdiri datas Presiden yang didukung oleh Partai minoritas dan Wakil Presiden yang secara riil politik lebih dominan kedudukannya, sementara Badan Legislatif dikuasai oleh 7 partai politik yang mempunyai agenda politik yang berbeda? Nampaknya ada dua strategi besar yang perlu ditempuh oleh bangsa ini. Yang pertama,

menciptakan lingkangan yang lebih dapat menjamin sistem presidensial dapat berfungsi dengan efektif melalui penataan partai-partai politik agar tercipta mayority rule. Sistem Presidensial yang efektif akan terjamin bila partai pemenang mempunyai posisi yang cukup dominan dalam Cabang Eksekutif dan Legislatif. Strategi kedua adalah menyesuaikan sistem pemerintahan negara dengan lingkungan politik. Untuk mengelola lingkungan politik terfragmentasi dapat dipilih salah satu dari bentuk sistem pemerintahan kolektif, diantaranya Sistem Parlementer seperti yang diuraikan oleh Wilson dalam tulisannya ”Cabinet Government in the United States” (1979) dan Sistem ’Cohabitation’ a la Prancis. Dalam lingkungan politik Indonesia yang amat terfragmentasi, Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang didukung oleh partai minoritas, walaupun mendapat dukungan dari 62 persen pemilih pada Pemilu 1999, menyiasati sikap ”kurang bersahabat” dari DPR yang memiliki kekuasaan politik amat besar melalui akomodasi politik dengan partai-partai mayoritas di DPR agar agenda pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu

dapat berjalan. Kedekatan hubungan ideologis antara para menteri yang menduduki posisi strategis dalam KIB dengan partai induknya di DPR diharapkan akan mampu memperlancar pelaksanaan berbagai agenda kerja Pemerintah. Sistem pemerintahan seperti tersebut dinamakan Sistem Kabinet oleh Woodrow Wilson, satu-satunya profesor ilmu politik yang pernah menduduki jabatan politik tertinggi di negarinya, Presiden Amerika Serikat ke 28 Amerika Serikat selama 2 periode berturut-turut (1913 – 1917 dan 1917 – 1921). Pilihan kedua, yang dapat ditempuh kalau seluruh bangsa sudah yakin betul bahwa Sistem Presidential adalah susunan pemerintahan negara yang terbaik bagi bangsa Indonesia, adalah adalah Sistem Pemerintahan Cohabitation seperti diterapkan dalam pemerintahan Prancis, dan pada abad 21 oleh negara Eropa Tumur seperti Lithuania dan Azerbaijan. Dalam Sistem Cohabitation ini Presiden sebagai Kepala Negara dipilih langsung oleh rakyat dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan dipilih oleh Parlemen. Sistem ini diterapkan di Prancis oleh Presiden De Gaulle dan Mitterand yang tidak mempunyai cukup dukungan di Parlemen. Pada Pemerintahan Presiden Chirac digunakan sistem semi-presidensial karena Presiden dan Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Parlemen berasal dari partai yang sama.

Forum Rektor Indonesia yang merupakan organisasi 2680 PT di seluruh Indonesia Konvensi Kampus ke III di Yogyakarta pada 11-12 Juni 2006 mengusulkan agar dilakukan kaji ulang terhadap UUD hasil amandemen setelah mengindentifkasi berbagai krisis sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi oleh bangsa sejak UUD terebut dilaksanakan. Usul tersebut nampaknya nmendapat sambutan yang cukup luas baik dari

Pemerintah, DPD, MPR serta dari berbagai kelompok masyarakat. Melihat realitas tersebut, nampaknya bangsa ini harus bekerja keras dalam pencariannya menemukan sistem pemerintahan negara yang memiliki kemampuan dalam merealisasikan cita-cita para pendiri bangsa yaitu suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Demikianlah ulasan saya tentang sistem pemerntahan negara yang sedang dicari oleh bagnsa Indonesia. Pemiiihan sistem pemerintahan negara erlu kita lakukan dengan amat hati-hati, harus dilakukan dengan niat luhur untuk mencari sistem yang terbaik bagi negara dan rakyat, serta selalu dalam kerangka upaya untuk merumuskan sistem pemerintahan negara yang paling sesuai dengan staatsfundamental norm atau landasan dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam perjalanan bangsa Indonesia selama 61 tahun telah beberapa kali dilakukan pergantian UUD yang telah menyebabkan perkembangan kurang positif

Tidak ada komentar: