Kamis, 03 April 2008

PERGESERAN KAJIAN PEMERINTAHAN

Oleh: Sahruddin Lubis

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

MATERI PERKULIAHAN KETIGA

PERGESERAN KAJIAN PEMERINTAHAN

Pada tahap awal studi politik dan pemerintahan mencurahkan perhatiaannya pada kajian negara atau lebih spesifiknya pada lembaga-lembaga formal (government) yang diakui sebagai konstitusi. Karenanya studi politik sangat dekat dengan ilmu tata negara, bahkan seringkali disamakan. Pendefenisian studi pemerintahan klasikal ini dengan dengan demikian adalah studi tentang lembaga-lembaga formal pemerintahan (government).

Pada perkembangannya cakupan studi politik dan pemerintahan mengalami perluasan, dimana fenomena kekuasaan yang menjadi obyek utama disiplin ini bisa lagi dipahami hanya dengan melihat bekerjanya institusi-institusi formal negara. Dinamika politik dan pemerintahan bisa dipahami secara lebih komprehensif dengan memasukkan dimensi masyarakat (society). Perkembangan ini ditandai dengan lahirnya konsep-konsep demokrasi modern dan maraknya kajian-kajian tentang civil society. Perluasan cakupan studi politik dan pemerintahan terus berlanjut dan periode awal 1990 –an menjadi saksi diwacanakannya konsep governance.

Governance mendefenisikan tiga ranah penting yang harus diperhatian dalam kajian politik dan pemerintahan yaitu: negara, masyarakar, pasar dan bagaimana relasi diantara ketiga ranah tersebut. Konsep ini merupakan formulasi Bank Dunia yang merupakan rekomendasi dari studi atas negara-negara di sub-sahara Afrika. Secara objektif, governance sekarang ini menjadi wacana dominan dalam kajian ilmu politik dan pemerintahan. Pertanyaannya bagaimana konsep governance ini dipahami dalam kaitannya dengan kajian ilmu politik, khususnya studi pemerintahan?

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TENTANG PEMERINTAHAN.

Sejak awal dekade 1990-an terjadi pergeseran pemikiran tentang bagaimana fenomena politik dan pemerintahan dipahami. Adanya pergeserab fokus kajian pemerintahan dari government ke governance. Governance bukan merupakan konsep tunggal dan statis, namun telah menjadi kajian yang menarik minat banyak orsang dan melahirkan banyak variasi pemikiran. Perdebatan konsep goverance dan pemetaan variasinya akan dipaparkan.

1. Dari Government ke Governance

Dalam studi pemerintahan, governance dipahami sebagai segala relasi kekuasaan yang bersinggunangan dengan persoalan urusan publik. Pengidentifikasian urusan publik bisa dilihat dari implikasi dan sifat externalitas-nya. Dari sisi implikasi, sesuatu bisa dikatagorikan dengan urusan publik ketika menimbulkan akibat kepada orang lan atau masyarakat luas. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang menabung pohong di halaman rumahnya, maka itu adalah urusan privat. Namun ketika rubuhnya pohon ditebang tersebut menimpa kabel saluran listrik dan telpon atau menutupi jalan raya, maka hal tersebutsudah menjadi urusan publik karena menimbulkan akibat bagi orang lain dan masyarakat luas. Urusan publik juga bisa diindentifikasi dari urusan ekternalitasnya. Dalam hal ini urusan publik tidak bisa di private kan, atau diserahkan kepada individu untuk dikelola. Pencemaran masalah udara misalnya, tidak bisa diselesaikan oleh individu, namun harus dikelola sebagai urusan publik.

Dalam studi pemerintahan, governance dengan demikian ditempatkan sebagai arena dimana relasi kekuasan yang berkaitan dengan urusan publik tersebut. Secara jelas, bagaimana relasi kekuasaan tersebut terjadi di masing-masing arena (negara, pasar dan masyarakat) dan juga bagaimana relasi kuasa diantara ketiga arena tersebut dalam kontestasi urusan publik. Negara misalnya tidak lagi dipahami urusan publik berlangsung. Kajian pemerintahan yang fokus pada persoalan urusan publik karenanya berada dalam kerangka dinamis, multi dimensi, multi arena dan multi level.

Governace yang dalam studi pemerintahan dimaknai sebagai arena berlangsung relasi kuasa yang berkaiitan denga urusan publik tersebut selama 15 tahun terakhir telah menjadi wacana dominan.popularitas governance sejak akhir tahun 1980 an, istilah governance mulai digunakan untuk pengertian yang berbeda. Takkala governance dipopulerkan pada akhir tahun 1980 an, istilah ini digunakan untuk menunjuk pergeseran kajian studi pemerintahan dari government yang melihat pada struktur formal pemerintahan yang hirarkis, ke governance yang melihat dinamika politik dan pemerintahan pada arena yang luas dan berkarakter nasional.

Pergeseran paradigma dari government ke governance tersebut lebih dimaksudkan untuk menunukkan gelombang baru reformasi pemerintahan. Istilah government reform, democarcy dan sejenisnya, dianggap telah banyak mengalami inflasi dan tidak mampu menarik perhatian untuk menggerakkan semangat reform. Oleh karena itu, diperlukan kemasan baru government reform kali ini adalah berbeda dengan reform yang ada sebelumnya. Penggunaan istilah governance digunakan untuk menegaskan perlunya arah dan semangat baru reformasi pemerintahan. Istilah governance telah digunakan untuk menegaskan signifikansi perlunya perubahan proses, metode dan capaian kepemerintahan.

Penggunaan istilah governance sebagai konsep yang berbeda dengan government, mulai dipopulerkan secara aktif oleh Bank Dunia sejak tahun 1989. Dalam laporannya yang sangat terkenal yang berjudul ’’ Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth’’. Dalam laporan ini, Bank Dunia (1989) mendefenisikan governance sebagai ‘’ exercise of political power to manage nation’’. Selanjutnya, laporan ini menekankan bahwa legitimasi politik dan consensus dan peran Negara tidak lagi bersifat regulative tetapi hanya sebatas fasilitatif. Oleh karena itu legitimacy politik and concencus yang menjadi pilar utama bagi good governance versi Bank Dunia dan pembangunan hanya bisa berjalan dengan bagus dengan pelibatan actor non Negara yang seluar-luasnya dan membatasi keterlibatan Negara (pemerintah).

Dengan merujuk pada kasus Afrika, argument di seluruh laporan ini menekankan pemerintah adalah sumber kegagalan pembangunan. Oleh karena itu, untuk membangun kepemerintahan yang baik, maka pemerintah harus dikurangi (less government). Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber dari pemerintahan yang buruk (bad governance). Kepemerintahan yang burukitu, dalam operasionalisasi Bank Dunia adalah pemerintahan yang tidak representative serta sistem non-pasar yang tidak efisien, yang dalam prakteknya menjadi sumber kegagalan pembangunan di Afrika. Laporan ini merupakan tonggak perubahan orientasi Bank Dunia dari penjelasan teknokratis terhadap pembangunan menjadi politik.

Wacana yang diinisiasi oleh Bank Dunia ini terus menggelinding, yang kemudian membuat good governance menjadi slogan yang popoler, termasuk di indonesia. Ide utama yang melihat pemerintah sebagai sumber masalah daripada sebagai solusi ini terus menambah, melahirkan pendefenisian governace yang lebih menekankan pada peran aktor-aktor di luar pemerintah.

Untuk menunjukkan perbedaan yang cukup tajam dengan defenisi diatas. Tokyo institute of technology menegaskan bahwa ’’ the concept of governance refers to the set of values, norms,processes and institutions by which society manages its development and resolves conflict, formally and informally’’. Dalam defenisi ini pengertian governance justru ditekankan pada perilaku dan kapasitas masyarakat untuk mengelola kepentingan bersama, termasuk kapasitas dalam memanfaatkan pemerintah dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan public.

Defenisi serupa bisa ditemukan dalam banyak literature, terutama dalam dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga internasional. Sebagai misal, UNDP melihat governance sebagai ’’ the exercise of economic,political and administrative authority to manage a contry’s affairs at all levels (which) comprises mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences’’. Kemudian UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik good governance yaitu: partisipasi, transparansi, akuntabel, efektif dan efisien, rule of law, responsive,consensus oriented, serta equity and inclusiveness.

Sementara itu Negara-negara besar yang tergabung dalam OECD mendefenisikan governance sebagai ‘’ the use of political authority and exercise of control in a society in relation to the management of its resources for social and economic development’’. Lebih spesifik, pemerintah inggris dalam hal ini ODA, menjelaskan karakteristik good governance mencakup legitimacy, accountability, competency, law enforcement and human right. World Bank mengemukakan characteristic good governance sebagai: predictable, executive yang dapat bertanggungjawab, professional bureaucracy and aturan yang jelas. Sementara itu, the commission on global governance mengertikal governance sebagai ‘’ the sum of many ways individuals and institutions,public and private, manage their common affairs’’. Dalam bahasa komisi ini, governance merupakan proses yang melalui mana perbedaan kepentingan diakomodasi dan diwujudkan dalam praktek.

Melihat rumusan-rumusan governance di atas, key word in the concept of governance is consencus by which perbedaan kepentingan can be accommodated, dan sinergi dapat di bangun. Selain mengharapkan bekerjannya institusi Negara secara baik, governance juga merujuk pada penguatan institusi-institusi pasar dan civil society untuk mengimbangin dominasi Negara yang sebelumnya menjadi sumber kegagalan pembagunan. Pertanyaannya kemudian, apa yang perlu dipermasalahkan dengan governance?

2. Memetakan Pemikiran Governance

Sebagai wacana dominant concept of governance telah memantik perdebatan seru dalam kajian ilmu politik dan pemerintahan.a sum of critics is addressed to the concept of governance yang sangat heavy markret, dan merupakan produk dari menguatnya kembali pasar yang terwujud dalam gerakan neo liberalism.

Konsep tersebut mendefenisikan secara tegas akan pemisahan ranah Negara, pasar dan masyarakat. Pembagian ranah tesebut telah menfasilitasi pasar sebagai pemegang kekuasaan terbesar, sementara kapasitas negara mengalami pelemahan dan masyarakat dan masyarakat diposisikan sebagai konsumen dalam logika pasar tersebut. Urusan-urusan publik dikelola dengan semangat pasar dan akibatnya pelayanan urusan publik pun hanya diakses oleh mereka yang menitik berartkan kekuatan untuk bertransaksi dengan pasar. Critic towards governance (kritik terhadap governance oleh diantara ketiga ranah tersebut, terutama apabila berkaitan dengan urusan-urusan untuk menempatkan citizenship sebagai muara dari semua proses relasi kekuasaan yang berkaitan dengan urusan publik.

On theoritical level, the critic towards governance that defining pemisahan ranah-ranah di atas telah melahirkan variasi konsep. Beberapa diantaranya adalah: community governance (sommerville 2003),, network governance (Sorensen 2002) dan new regulatory state (kanishka jayasuriya 2004).

a. Network Governance

Terjadinya transformasi besar dalam memahami sistem politik dan pemerintahan dari konsep government yang terorganisasi secara hirarkis dengan sistem kesatuan yang dilengkapi perangkat hokum, peraturan dan tata tertib menuju governance yang lebih horizontal dengan jaringan pengaturan yang madiri (self-regulating network). Transformasi tersebut terjadi dikarenakan, meningkatnya peran lembaga politik internasional, teknik administrasi baru yang mendukung pengaturan sendiri (self-regulating) yang terlembaga dalam sistem politik dan kerjasama yang insentif antara pemegang otoritas public dan actor private baik sebagai pasar maupun civil society.

Dalam beberapa hal network governance (NG) telah menghadirkan tantangan terhadap demokrasi liberal. Pertama, NG memandang rakyat bukan sesuatu yang given, namun merupakan hasil dari proses politik. Kedua, NG menghadirkan kritik terhadap model perwakilan. Konsep perwakilan hakekatnya bukanlah cermin masyarakat, tetapi dia adalah bagian ’masyarakat yang lain’. Hal ini merujuk pada pandangan elitisme perwakilan, partikularisme perwakilan dan perwakilan terbatas. NG juga mempertanyakan karakter otonom dari konsep perwakilan. Untuk itu NG menawarkan model partisipasi politik memberikan yang memberikan hak legitimasi kepada para aktor untuk merekontruksi indentitas yang diwakilinya dan membuat keputusan politik yang merujuk kepada indentitas kelompok yang diwakilinya. Meskipun mengajukan kritik terhadap governence yang berbasis pada logika pasar dan persaingan bebas, namum NG masih memberi ruang bagi logika tersebut dengan catatan harus tersedia akses bagi citizen yang memadai.

Ketiga,NG memandang administrasi tidak harus a-politis, karena pada kenyataannya sebenarnya administrasi memiliki pengaruh besar dalam proses policy, karena keterlibatannya yang langsung dan bahkan menentukan. Bahkan Lennart Lundquit (2000) memandang administrator publik memainkan fungsi sebagai catalist bagi proses kebijakan yang demokratis. Sedangkan politisi berada pada posisi mewakili kepentingan pemilih yang beragam. Persoalannya kemudian adalah bagaimana mengkonseptualisasikan dan melembagakan peran co-produser administrasi dalam proses interaksi kekuasaan ini. Keempat, NG melihat sistem politik dan sistem sosial tidak mesti separated karena pada dasarnya saling mendukung dalam membangun persamaan/keadilan politik dalam masyarakat plural. kapasitas sosial masyarakat bisa dikembangkan dengan dukungan akses (endowment) dan pemberdayaan (empowerment). Social capacity can be improved with endowment and empowerment.

b. New Regulatory State

Fokus dari New regulatory State (NRS) adalah outcomes atau produk kebijakan yang dihasilkan oleh negara. Specifically explaining two models in making policy, yaitu model atribut dan relitional. Model atribut menekankan transformasi kapasitas proses pembuatan kebijakan yang efisiens yang melibatkan actor-actor governance termasuk yang berada di luar garis batas Negara. Hal ini menekankan pentingnya pengaruh institusi politik beyond negara dalam proses kebijakan, ang terrefleksikan dalam multi layer governance (MLG). MLG sendiri merupakan alternative atas model westphalian, yang menarik garis batas secara tegas antara domestic dan internasional. European union (EU) dalam kaitanini merupakan model utama dari sistem politik beyond state yang berwujud multi layer of governance.

model proses kebijakan selanjutnya adalah relational, yangmelihat bagaimana governance meningkatkan kapasitasnya sebagai respon terhadap keniscayaan interaksi dengan aktor global. Proses policy dengan demikian berada dalam situasi yang dinamis. kekuatan global dan keterlibatan aktor-aktor di luar negara tidak berarti melemahkan eksekutif,melainkan meredefenisikan posisi kekuatan eksekutif dalam new regulatory state. eksekutif kemudian menjalankan apa yang di sebut sebagai governance of governance. karakter model relational diantaranya;

1. Keterlibatan publik yang luas dalam governance, misalnya civil society dan jaringan kebijakan global.

2. Melampaui batas negara ala weberian dan westphalian yang melihat sovereignty of state sebagai kekuatan absolut dan,

3. Transformasi governance ke dalam meta-governance yang ditandai dengan keterlibatan, legitimasi dan monitoring berbagai sumberdaya governance (actor) dan pengaturan.

Meta- governance ini mendelimitasi ranah-ranah partikulir governance yang selama initegas didefenisikan.

Community Governance

Visi utama dari community governance (CG) adalah untuk memperkuat kapasitas pemerintahan dan masyarakat pada aras local, melalui pemberdayaan pemerintahan yang partisipatif. pemerintahan partisipatif bias di dorong dengan cara meningkatkan kapasitas dari masyarakat dalam proses policy dan dengan meningkatkan kapasitas akuntabilitas dan transparansi dari sisi pemerintah. CG dengan demikian mempersyaratkan aliansi antar actor atau lebih mudahnya disebut sebagai kerjasama antar actor dalam satu komunitas.

Ada tiga perspektif community governance yang teridentifikasi: municipalist, network dan citizen. perspektif municipalist menekankan pada bentuk demokrasi asosiasif, dimana asosiasi-asosiasi sukarela menangani penyediaan/penyampaian jasa kepada masyarakat sipil. kasus keterlibatan asosiasi –asosiasi masyarakat di Denmark dalam prose penyedian pelayanan wefare adalah contoh yang bias menjelaskan bagaimana beekerjanya bentuk demokrasi asosiatif ini. perspektif network melihat bagaimane pemerintahan yang secara klasikal bersifat hirarkis dijalankan dengan pola baru yang menekankan pada aspek jaringan dan kerjasama yang melibatkan berbagai lembaga yang ada dalam komunitas, baik pasar maupun civil society. hubungan relasional antar ranah governance dengan demikian menjadi kata kunci atau lebih tegasnya perspektif ini berkontribusi dalam mengaburkan pengklausteran tegas yang didefenisikan dalm model govermant ala World Bank. sedangkan persepktif citizen menunjuk pada kemampuan komunitas untuk memgontrol lemebaga pemerintahannya, dengan asumsi bahwa komunitas tersebut dibangun dari basis pertentangan (neighbourhood).

Jika dipahami secara mendalam, tiga konsep diatas memiliki spirit yang sama, yaitu bagaimana keluar dari traping ranah atau kluster yang didefenisikan dalam governance untuk memahami segala bentuk relasi kekuasaan yang berhubungan dengan urusan public. sejumlah kata kunci bias disebutkan untuk menggambarkan upaya keluar dari traping tersebut diantaranya: citizenship, network governance, community governance, state capacity for regulating, multi arena, multy dimencyi, multi reality dan metagovernance.

Menjadikan governance sebagai bagian penting dari kajina studi pemerintahan oleh karena berada dalam spirit untuk memahani segala bentuk relasi kekuasaan dalam urusan publik dengan keluar dari jebakan klustering ranah yang sangat kuat diwacanakan dalm 15 tahun terakhir.

Tidak ada komentar: